Jurnal Ilmiah

Panduan SOS

Prog. SOS FAI

Prog. SOS FAI
Sistem Informasi Akademik Mahasiswa FAI Berbasis Online

Popular Posts

Followers

CELEBRITY

Tamu-nya FAI

Oleh : Maskuri Bakri

Sebuah ilmu (teori) tidak bisa dijustifikasi Islami atau non-Islami berdasarakan al-Qur’an dan al-Hadits, tetapi ilmu itu berdasarkan prosedur-prosedur ilmiah tanpa harus melihat ideologi seseorang, walaupun kebijakan yang diambil tidak lepas dari nilai-nilai ideologis. Dalam konteks ilmu, pendidikan tinggi Islam harus terbuka untuk menguji dan mengambil teori dari mana saja. Tidak boleh ada satu pun teori yang menjadi dominan karena setiap teori adalah perspektif, bahkan ketika sebuh teori diinspirasi atau diturunkan secara langsung dari al-Quran sekalipun.



Abstrak : Keyword: Islamic University, Islamization of knowledge, curriculum.

Pendahuluan
Persoalan “ilmu” termasuk ilmu Islam adalah merupakan salah satu sumber belajar dalam proses pembelajaran. Memperbincangkan masalah status ilmu baik dari sisi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dilihat dari kaca mata Islam memang cukup menarik. Di tengah tarik ulur antara kelompok yang getol melakukan “Islamization of knowledge” yang di hembuskan pertama kali oleh Ismail Razi Al-Faruqi (1989) dalam Abdurrahmansyah (2002) yang meletakkan prinsip unity of Allah (tauhid) sebagai prinsip pertama dalam membangun sebuah paradigma pendidikan, di samping prinsip kesatuan ciptaan, kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup dan kesatuan kemanusiaan, kemudian Syed Naquib Al-Attas dengan konsep “desekularisasi ilmunya”. Dan kelompok yang membiarkan ilmu untuk memenuhi kodratnya sendiri belum berakhir hingga saat ini, Persoalan ini muncul berkaitan dengan hasrat peneguhan identitas “Islam” pada pendidikan tinggi Islam (PTI). Ketika PTI membuka kajian-kajian keilmuan yang selama ini dikenal dengan istilah Islamic studies, tidak terdengar apapun dikalangan para ilmuan. Tapi, ketika PTI membuka ranah kebijakan keilmuan yang selama ini dianggap sekuler, identitas Islam tiba-tiba menjadi kebutuhan yang hampir tak terhindarkan. Tidak mengherankan jika kemudian muncul gugatan-gugatan dengan nada bertanya, apa bedanya sosiaologi, psikologi, antropologi, ekonomi, teknik dan lain sebagainya di PTI dengan PTU? Gugatan-gugatan ini memang terasa sangat mengganggu “kita” yang berhasrat setiap detail aktivitas kita selalu Islami.
Kalau melihat sedikit dari sejarang panjang yang telah kita lalui bersama, bahwa kajian ilmu-ilmu sekuler sebetulnya bukan hal baru. Sejauh ilmu-ilmu sekuler ini dimaknai sebagai ilmu-ilmu yang tidak termasuk di dalam rumpun ilmu-ilmu keislaman, seperti al-Qur’an-Hadits, fiqh, aliran modern dalam Islam, studi Islam dan sebagainya. Namun dulu pernah kita dapatkan di PTI, terutama di IAIN yang memiliki Jurusan Tadris (mempelajari matematika dan bahasa Inggris) tetapi saat itu rasanya Islamization of konowledge tidak menjadi isu dalam dunia pendidikan.
Paling tidak ada tiga persoalan yang memicu munculnya Islamization of knowledge ; Pertama, dalam perspektif ke Indonesiaan bahwa adanya dua departemen yang mengurus pendidikan, yakni departemen pendidikan nasional yang seakan-akan paling berhak mengurus pendidikan dalam ilmu-ilmu sekuler dan di satu sisi departemen agama yang mengklaim paling berhak mengurus pendidikan agama, sehingga dalam dunia pendidikan terkesan muncul adanya dikotomi. Kedua, bahwa sebuah konstruksi keilmuan tidak bisa dilepaskan dari muatan ideologis individu atau kelompok yang membangunnya, seprti yang diungkapkan oleh Anderson dalam Islamy (2003) bahwa kebijakan itu tidak lepas dari nlai-nilai ideologis (ideological values) seperti agama, nasionalisme dan lain sebagainya. Sebuah ilmu yang dikonstruksi oleh individu atau kelompok yang tidak menjadikan al-Quran sebagai pedoman hidup bisa dipastikan mengandung unsur-unsur jahili yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Qur’ani. Karena ilmu pengetahuan selama ini dihasilkan oleh orang-orang Barat yang sekuler, maka ilmu tersebut hampir dipastikan membawa bangunan ideologis yang bertentangan dengan Islam. Untuk itu upaya mengislamkan ilmu adalah sebuah keniscayaan (Bagir, 2002). Ketiga, merupakan konsekuensi dari poin kedua, yaitu menjadikan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai landasan keilmuan. Ini berangkat dari anggapan bahwa al-Quran dan al-Hadits sebagai sumber ilmu pengetahuan yang selama ini telah diabaikan dalam perburuan pencarian kebenaran oleh kalangan akademis Muslim. Karena posisi al-Qur’an diletakkan sebagai sumber ilmu pengetahuan, maka konsekuensi berikutnya adalah meletakkan al-Quran sebagai basis seluruh bangunan ilmu jika sebuah ilmu tersebut menginginkan dirinya dianggap sebagai ilmu Islam atau Islami, dan konsep ini diteguhkan melalui Organisasi Konferensi Islam sedunia di Makkah pada 1977, sehingga melahirkan International Islamic University (IIU) di Malaysia (1983) dan International Islamic University (IIU) Islamabad di Pakistan (1980) yang kurikulumnya didasarkan pada integrasi ilmu dan agama dan fakultas-fakultas yang ada semuanya dilabeli dengan label Islam, misalnya kulliyah al-iqtishad (fakultas ekonomi), kulliyah al-zira’ah (fakultas pertanian) dan lain sebagainya.
Inilah sketsa umum yang mewarnai Islamization of knowledge, yang semangatnya dibangun di atas semboyan ‘kembali kepada al-Quran dan al-Hadits. Jadi, kalau sajian penelitian ini salah satunya mengkritisi tentang Islamization of knowledge, maka Islamization of knowledge dipahami oleh peneliti dalam sketsa besar tersebut, sekalipun mungkin sasaran kritik tidak secara langsung dan tegas menyebut dirinya atau rumusan-rumusannya berpretensi untuk melakukan Islamization of knowledge. Kajian ini lebih diarahkan pada asumsi-asumsi epistemologis pada persoalan tersebut dengan cara mendudukkan secara proporsional di mana posisi kita sebagai seorang Muslim dan pada saat yang sama sebagai insan akademik yang harus tetap bersikap inklusif.

PTI dan Kegamangan Intelektual
Dalam mengkaji ilmu Islam, menurut Fazlurrahman (1985) dalam Hamdi (2004) sebaiknya harus dibedakan antara Islam sebagai objek kajian keilmuan dan Islam sebagai landasan etis. Sebagai objek kajian keilmuan Islam harus tunduk dan patuh terhadap prosedur-prosedur keilmuan. Sebagai contoh, al-Qur’an sebagai teks, maka ia bisa dikaji oleh siapa saja, tidak peduli apakah orang itu mempercayai al-Qur’an sebagai wahyu yang datang dari Tuhan atau tidak. Inilah yang dikatakan Fazlur Rahman bahwa orang non-Muslim pun bisa mengkaji al-Qur’an dan hasilnya memiliki derajat yang sama dengan tafsir yang disusun oleh seorang Muslim. Kedua tafsir tersebut sama-sama memiliki derajat relatif dalam perspektif ilmu.
Oleh sebab itu, al-Qur’an sebagai teks harus terbuka untuk dikaji melalui teori-teori teks sebagaimana teori-teori tersebut digunakan untuk mengkaji teks-teks sekuler non-ilahi (Abu Zaid, 1998). Temuan-temuan baru dalam semiotika dan hermeneutika, misalnya, harus bisa diaplikasikan untuk mengkaji al-Qur’an. Sebagaimana yang dinyatakan Hasan Hanafi bahwa sebagaimana teks-teks lain, al-Qur’an juga harus menerima perlakuan yang sama untuk dikaji oleh siapapun. Karena ia menjadi objek interpretasi maka harus tunduk pada aturan aturan interpretasi yang sama dengan yang dikenakan pada secular text (Hanafi, 1995). Di sisi lain, Islam sebagai landasan etis, ia menjadi pedoman pemeluknya untuk bertindak arif dalam hidup, seperti sikap amanah, adil, tasamuh, tawasuth, tawazun dan lain sebagainya. Ini pun dalam operasionalisasi teknisnya harus tunduk pada ruang dan waktu yang melingkupinya. Namun, bila Islam dipandang sebagai landasan etis, seharusnya dalam proses pembelajaran pendidikan agama bukan hanya dijadikan sebagai “pelajaran atau pengetahuan” tentang ilmu agama, tetapi seharusnya dilakukan dengan cara penanaman nilai-nilai luhur dan bentuk keteladanan dan pengalaman akan lebih efektif ketimbang internalisasi nilai melalui ucapan dan ceramah seperti yang selama ini terjadi di tiga PTI tersebut. Adanya sosok pendidik yang menjadi figur panutan akan lebih besar pengaruhnya dari pada berkali-kali menyelenggarakan presentasi ilmiah tanpa ada figur yang diteladani. Keberhasilan Nabi Muhammad SAW. dalam mendidik keluarga dan sahabat-sahabat dan umatnya tidak lain karena adanya keseimbangan antara “mauidhah hasanah” dengan “uswatun hasanah” nya (Q.S. An-Nahl, 125; Al-Ahzab, 21).
Dalam kasus Islam sebagai objek kajian keilmuan, hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa rumpun ilmu-ilmu keislaman hanyalah menjadi bagian kecil dari kegiatan keilmuan secara umum di PTI. Ilmu-ilmu yang dikaji di fakultas agama (jurusan syariah dan tarbiyah) adalah bagian kecil dari anggota ilmu-ilmu non-eksakta pada PTI. Menyadari hal ini terdapat konsekuensi, bahwa kalau selama ini animo masyarakat untuk melanjutkan studi ke PTI relatif kecil dibanding dengan ke PTU, hal ini tidak semata-mata mutu PTI lebih jelek dibanding PTU, akan tetapi karena mereka tidak ingin menjadi ahli agama yang sebenarnya dalam PTI juga terdapat fakultas-fakultas umum. Image inilah yang sampai sekarang masih melekat pada pola pikir masyarakat, sehingga PTI harus bekerja keras untuk mensosialisasikan bahwa PTI juga ikut mempersiapkan lulusan calon teknolog, birokrat, politisi dan lain sebagianya bukan semata-mata ahli agama. PTI bukan identik dengan Fakultas agama, tetapi fakultas agama adalah bagian dari sekian jumlah fakultas yang ada di PTI. Sedangkan pada PTU hanyalah terdapat fakultas-fakultas umum dan tidak satupun terdapat fakultas agama.
Eksistensi sebagian PTI, dengan simbol “Islam”nya kemudian muncul adanya kegamangan (baca memadu sains dan agama UIN Malang, 2004). Kegamangan itu bertumpu pada hasrat agar ilmu-ilmu yang terlanjur dicap sekuler tersebut mendapatkan identitas Islam dalam proses pembelajaran. Di titik inilah kemudian semangat Integrasi ilmu dan agama menemukan momentumnya. Maka, segera muncullah psikologi Islam, ekonomi Islam, sains Islam dan seterusnya. Bahkan, ada yang sebegitu menggebunya melakukan islamisasi ilmu pengetahuan, sampai ilmu murni seperti matematika harus bersandar pada al-Qur’an. Dalam konteks ini, disusunlah struktur keilmuan dengan meletakkan al-Quran dan al-Sunnah sebagai sumbernya. Arahnya jelas, struktur keilmuan ini digunakan untuk mengidentifikasi mana ilmu Islami dan mana yang non-Islami.
Kondisi ini bisa saja akan menuai nasib seperti para filosof Muslim. Sebegitu kuat obsesinya untuk membuktikan bahwa antara filsafat Yunani dengan ajaran Islam tidak bertentangan, hampir seluruh sejarah filsafat Islam dipenuhi dengan rumusan-rumusan apologetik untuk membuktikan itu. Ini tidak semata-mata bisa dijelaskan secara klise bahwa para filosof tersebut adalah orang-orang Islam yang taat, tentu saja ini bisa dibenarkan, tapi yang terjadi adalah besarnya penentangan kalangan ortodoks untuk menolak filsafat hanya karena ia diadopsi dari Yunani, dan tidak diturunkan dari al-Qur’an dan al-Hadits atau tidak sesuai dengan pandangan keislaman kalangan ortodoks tersebut (Rahman, 1996).

Islamization of Konowledge dalam Perspektif Epistemologis
Sebagaimana disinggung di atas, Islamization of knowledge selalu mengambil semangat kembali kepada al-Quran (dan al-Hadits) dengan meletakkan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Alasannya adalah di samping al-Quran sebagai pedoman hidup kaum Muslimin, di dalamnya juga ditemukan banyak ayat yang berbicara tentang fenomena alam dan manusia. Berkaitan dengan pembagian ilmu menjadi ilmu eksakta dan non-eksakta, maka rasanya tinggal selangkah saja untuk mengakui bahwa al-Quran memang benar-benar menyediakan dirinya untuk menjadi sumber ilmu pengetahuan. Paling tidak, ada dua tawaran terkait dengan peletakan al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan. Pertama, meletakkan al-Quran sebagai konsep dasar (atau inspirasi) yang kemudian dikembangan melalui berbagai riset ilmiah (lihat Suprayogo, 2005) seperti gambar berikut.























Kedua, meletakkan al-Quran (fenomena naqliyah) dan alam (fenomena kawniyah) menjadi dua sumber yang “kurang lebih” setara bagi bangunan ilmu pengetahuan, dan digambarkan sebagai berikut.




















Gambar 2: Ilmu yang tidak Dikotomik (UIN Malang, 2005)
Pada gambar pertama, mucul sebuah pertanyaan, apa yang dimaksud dengan al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahun? Kalau yang dimaksud adalah al-Quran sebagai buku ilmu pengetahuan hal ini sangat bahaya. Cara berpikir seperti inilah yang disebut Ziauddin Sardar sebagai salah seorang penyeru Islamization of konowledge, dengan Buchailisme yang sangat membahayakan. Membuktikan kebenaran al-Qur’an dengan capaian ilmu pengetahuan sangat berbahaya karena begitu pengetahuan tersebut ditumbangkan oleh teori baru, al-Qur’an menjadi ambruk juga (Bagir dalam Hamdi, 2004).
Kalau al-Quran dijadikan sebagai sumber inspirasi, pertanyaan berikutnya adalah apakah seorang ilmuwan yang menggagas teorinya dari inspirasi yang muncul tiba-tiba ketika dia merenung-renung tentang fenomena di sekitarnya, tidak atau kurang Islami teorinya dari teori seorang ilmuwan yang mendapat inspirasi langsungnya dari al-Qur’an? Kalau dikatakan “ya”, pertanyaan berikutnya adalah dengan ukuran apa sebuah teori dikatakan Islami dan tidak Islami? Apakah sebuah teori Islami semata-mata didasarkan atas sumber inspirasinya ataukah kejujuran ilmiah yang diemban oleh seorang ilmuwan sekalipun dia tidak memperoleh inspirasinya dari al-Qur’an, atau bahkan mungkin dia tidak bisa membaca al-Qur’an? Kalau di dalam salah satu ayat al-Qur’an ditemukan istilah dharrah yang selama ini dijadikan pembenar atas teori atom, maka pertanyaannya adalah apakah itu bersifat justifikatif ataukah inspiratif, jika faktanya adalah bahwa Niels Bohr menemukan atom tidak terinspirasi oleh ayat al-Qur’an. Jika faktanya hanyalah justifikatif-seringkali aplikasi praktis Islamisasi ilmu pengetahuan adalah upaya mencari ayat atau hadits untuk menjustifikasi pengetahuan tertentu yang dianggap Islami, maka gugurlah klaim al-Quran sebagai sumber inspirasi ilmu pengetahuan. Kalau kemudian dikatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dari proses riset ilmiah atas fakta empiris, lalu apa makna statemen al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan tersebut?
Di sisi lain pada gambar kedua, sejauh peletakan posisi al-Qur’an dan Hadits di sebelah kanan memiliki konsekuensi pengutamaannya atas sebelah kiri (alam), yang penjelasannya kurang lebih sama dengan bagan pertama, maka seluruh problem bagan pertama bisa dikenakan padanya. Kalaupun keduanya berposisi sejajar, ia sama sekali tidak menjelaskan bagaimana al-Quran dan alam dipahami. Oleh sebab itu, ada sekian banyak problem epistemologis yang terkait dengan dua hal tersebut. Cara pandang yang berbeda akan menghasilkan rumusan pengetahuan yang berbeda, baik mengenai alam maupun al-Qur’an. Seorang empiris radikal macam David Hume tidak mengakui hukum kausalitas karena fakta empiris kausalitas tidak bisa diserap oleh indra. Apakah kemudian kita menyepakati Hume karena Asy’ari juga berpendapat sama sekalipun dengan alasan yang berbeda, yaitu bahwa pengakuan atas hukum kausalitas akan berarti mengurangi kemahamutlakan Tuhan? Kalau pandangan Hume dan Asy’ari adalah representasi dari dua ragam ilmu pengetahuan dilihat dari sumbernya (alam dan al-Quran), maka harus diingat bahwa kedua pandangan tersebut melahirkan penolakan atau persetujuan dari para ilmuwan.
Realitas keilmuan seperti ini semakin memperlihatkan bahwa aktivitas ilmiah adalah aktivitas ilmiah, dia tidak bisa disekat berdasarkan keyakinan-keyakinan religius apapun. Seorang ahli fisika, secara keilmuan, tidak harus bisa membaca al-Qur’an. Hasil-hasil rumusannya, sejauh ia menggunakan prosedur-prosedur keilmuan yang benar, bisa “diterima”, dan ini sama sekali tidak memiliki konsekuensi teologis Islam atau non-Islam. Sejauh ilmu-ilmu keislaman, seperti tafsir, dipahami sebagai satu ilmu, maka keharusan bagi seseorang untuk mengerti ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu mantiq, ilmu balaghah, ilmu ma’ani ataupun bahasa Arab, dan berbagai perangkat rumpun ilmu-ilmu keislaman yang lain bukan sebagai keharusan teologis, tapi keharusan ilmiah, bahwa seseorang bisa mempelajari tafsir kalau dia memahami kaidah-kaidah bahasa Arab dan beberapa ilmu pendukungnya.
Jika kita menggagas suatu teori ilmiah yang dianggap berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, maka itu hanyalah salah satu varian dari sekian banyak pandangan yang berbeda-beda. Sebuah ayat tidak bisa memberi priveles apapun terhadap teori kita atas teori lain yang tidak ada ayatnya (Russel, 1991). Bahkan menurut Hamdi (2004) ketika ada dua orang ilmuwan yang mendapatkan inspirasinya dari al-Quran, bisa jadi dia akan mengkonstruksi teori yang berbeda. Hal ini karena inspirasi Qur’ani lahir bukan sebagai sesuatu yang given, tapi disebabkan oleh cara seseorang memandang dan membaca al-Quran. Lalu, teori manakah yang lebih Islami? Kalau teori keduanya bersifat Islami, lalu apa bedanya dengan kegiatan ilmiah biasa yang di antara para ilmuwan bisa saling berbeda pendapat? Salah satu reasoning yang biasa diajukan untuk mendukung Islamization of knowledge adalah bahwa kebenaran wahyu bersifat mutlak, sedang kebenaran rasio bersifat relatif, sehingga rasio harus tunduk pada wahyu. Cara berpikir ini tentu kurang logis. Statement ini memang terasa indah tetapi sebetulnya problematik, seakan-akan mengandaikan bahwa al-Quran bisa mengungkapkan dirinya sendiri sehingga manusia hanyalah agen pasif yang begitu saja menerima pengetahuan dari al-Qur’an. Faktanya, al-Quran tidak pernah berbicara dengan dan atas nama dirinya sendiri. Suara al-Quran selalu sesuai dengan suara orang yang membacanya. Al-Quran menyediakan dirinya untuk menjadi pembela kapitalisme, sosialisme bahkan komunisme akan tergantung pada ideologi yang menjadi stand point seorang reader. Karena itu, mengandaikan bahwa al-Quran menyediakan pengetahuan begitu saja berarti mengabaikan problem hermeneutis.
Oleh sebab itu, kita tidak bisa menghindar dari masalah-masalah hermeneutis, yaitu hubungan antara dunia teks dan dunia reader. Sejauh al-Quran dipandang sebagai teks, dan memang demikian adanya maka makna selalu dibangun atas dasar pemaknaan reader atas teks. Mengakui the death of author atau tidak, faktanya yang ada di depan kita adalah teks yang terbuka. Tidak ada pondasi kebenaran fixed yang bisa dirujuk dengan pretensi pembedaan antara self (Islami) dan other (tidak Islami). Oleh karena itu, gradasi kebenaran antara wahyu dan rasio yang menjadi tumpuan dari seluruh program Islamization of knowledge tidak lebih dari wajah lain otoritarianisme wacana. Pendek kata bahwa pengetahuan manusia disusun berdasarkan pengalaman dan penalaran. Hal ini memang berbau Kantian, tetapi sejauh menyangkut pengetahuan manusiawi maka dua hal itulah sumbernya. Berdasarkan dua sumber itu, maka alat yang digunakan manusia untuk mendapatkan pengetahuan adalah indra dan akal. Dengan alat ini, seluruh fenomena alam dapat dipahami memalui eksperimen dan pengujian-pengujian ilmiah yang kemudian memunculkan teori. Akan tetapi harus diingat bahwa seluruh makna yang terangkum dalam kesimpulan-kesimpulan pengetahuan tentangnya hanyalah bersifat perspektif. Fenomena itu dibangun dari sudut pandang seseorang dan tergantung pada pendekatan yang digunakannya.
Fenomena inilah yang dimaksud Popper dalam Hamdi (2004) ketika dia menyalahkan asumsi kalangan realis bahwa pengetahuan manusia diturunkan secara langsung dari observasi. Menurut Popper, setiap observer memiliki ekspektasi tertentu atas realitas yang diserapnya. Ekspektasi yang ada dalam diri manusia ketika manusia mendekati realitas muncul dari sumber yang sangat beragam termasuk terkaan dan dugaan. Observasi tidak datang mendahuluinya, sebagai sesuatu dari mana pengetahuan diturunkan, tapi setelah itu. Menurut pandangan ini, manusia tidak pernah memiliki pengetahuan yang fixed kecuali dugaan (melaui ijtihad), dan ini adalah produk dari pikiran bukan dari pengindraan manusia. Beranjak dari fakta ini, maka manusia sebetulnya tidak pernah memiliki landasan kepada kepastian. Kepastian tidak pernah disediakan bagi manusia. Kodrat realitas selamanya adalah tersembunyi dari manusia. Realitas bukanlah sesuatu yang secara langsung dapat diketahui (Magee, 1994).
Bila dipertanyakan di mana posisi al-Qur’an dan al-Hadits maka jawabannya adalah ia merupakan salah satu dari realitas yang dipahami tersebut. Tanpa menghilangkan nilai kewahyuan al-Qur’an, al-Qur’an bisa dianggap sebagai realitas manusia yang dibedakan dengan realitas alam fisik, sejauh ia tersusun dalam format bahasa manusia yang kita baca dan pahami darinya adalah susunan bahasa manusia, bukan al-Qur’an dalam pengertian esensinya la harf wa la shawt. Ia merupakan satu dari sekian teks semiotika menyatakan bahwa seluruh fenomena adalah teks (Meuleman, 1994) yang dibaca, dicerap dan dipahami sebagaimana yang dinyatakan Popper di atas bahwa realitas (teks) tidak menyodorkan dirinya secara telanjang, di mana pengetahuan muncul darinya secara langsung. Fenomena adalah entitas yang diam, di mana maknanya ditentukan oleh sudut pandang termasuk kepentingan seseorang yang melihatnya. Begitu juga dengan al-Qur’an, sejauh ia sebagai teks yang dikaji dalam konteks pengembangan keilmuan, maka dia adalah teks yang diam, yang suaranya ditentukan oleh orang yang membacanya. Berbagai asumsi awal, sudut pandang, estimasi, prasangka dan harapan pembaca akan menentukan maknanya. Gadamer, seorang hermeneutik kontemporer menyatakan bahwa makna teks dilahirkan dari fusi antara the horizon of reader dan the horizon of text. Sehingga, interpretasi tidak semata-mata merekonstruksi makna, tapi juga memproduksi makna (Gadamer, 1975).
Menurut McLean (1999), ia menjelaskan maksud Gadamer bahwa jika manusia memperhatikan waktu dan tradisi dengan serius, maka manusia akan memahami bahwa manusia disituasikan dalam sebuah tradisi dan waktu tertentu. Waktu dan tradisi ini merupakan horizon seseorang. Akan tetapi, waktu dan tradisi tersebut tidak boleh dipersepsi sebagai batas mutlak yang tidak memungkinkan seseorang untuk memperluas batas-batas tersebut. Jika posisi manusia secara mutlak ditentukan oleh situasi tersebut dan bersifat tertutup, maka horizon tersebut akan mati karena ia lebih bersifat paksaan daripada sebagai kreasi bebas. Oleh karena itu, manusia butuh bertemu dengan horizon lain, tidak semata-mata menambah informasi tetapi lebih dari itu, yakni menguji asumsi-asumsi dasar manusia sehingga dimungkinkan untuk melakukan penyelidikan secara mendalam. Inilah yang secara klasik disebut dengan lingkar hermeneutik (circle hermeneutics). Dalam proses inilah makna dimunculkan, makna al-Qur’an selalu constructed, bukan given. Dan setiap pemaknaan tidak absah mendaku dirinya sebagai representasi total dari “kebenaran” al-Quran.
Oleh sebab itu, tidak pernah ada satu landasan fixed yang menopang pengetahuan manusia, tidak juga kitab al-Qur’an. Dari realitas, dimunculkan teori pengetahuan yang beragam dengan disiplin keilmuan yang beragam pula. Ilmu-ilmu keislaman yang selama ini dikembangkan di PTI merupakan sebagian dari keragaman disiplin keimuan yang di dalamnya mengandung berbagai teori kebenarannya masing-masing. Kalau rumpun keilmuan terbagi menjadi dua, eksakta dan non-eksakta, maka ilmu-ilmu keislaman tersebut merupakan bagian dari rumpun non-eksakta, di samping psikologi, sosiologi, antropologi, bahasa dan sebagainya. Masing-masing disiplin ini memiliki berbagai teori yang sangat beragam. Dan ketika ada satu teori yang memberi lisensi kebenaran tunggal pada dirinya hanya karena ia terinspirasi atau yang langsung diturunkan dari premis-premis al-Qur’an, maka ini tidak absah atas dasar uraian di atas. Konsekuensi berikutnya adalah tidak absah untuk menciptakan definisi oposisional antara ilmu Islami dan non-Islami atas dasar peletakan al-Quran sebagai sumber pengetahuan atau sumber inspirasi. Kalau ada orang yang menggagas sebuah teori dalam disiplin ilmu apa saja berdasarkan inspirasinya dari al-Quran atau diturunkan dari premis-premis al-Quran, maka teori tersebut hanyalah menjadi salah satu teori dengan derajat yang sama persis dengan teori-teori lainnya.
Al-Quran sendiri tidak bisa mengelak dari kondrat proses konstruksi pengetahuan seperti ini. Sehingga al-Qur’an sama sekali tidak menjadi sumber ilmu pengetahuan secara umum, dari mana seluruh konstruksi keilmuan diturunkan secara deduktif darinya, baik bersifat inspiratif maupun dari premis-premis langsung. Kalaupun al-Quran bisa dipandang menjadi sumber ilmu pengetahuan, maka itu hanya terkait dengan disiplin ilmu tertentu, misalnya, tauhid, fiqh, akhlak, tafsir, sebagaimana alam fisik menjadi basis bagi konstruksi ilmu fisika, kimia, biologi dan sosialitas manusia menjadi basis ilmu sosiologi atau antropologi. Al-Qur’an juga bisa menjadi sumber inspirasi ilmu pengetahuan, tapi posisinya sama dengan fenomena lain yang juga secara potensial bisa menjadi sumber inspirasi.

Hedroginitas Pemikiran Sebagai Spirit Pengembangan Keilmuan di PTI
Di PTI telah muncul sebuah fenomena yang sangat menyedihkan bahwa ternyata ilmu-ilmu keislaman tidak pernah beranjak dari posisinya sejak ia dirumuskan. Ironisnya, dirinya mengklaim sebagai pusat orang-orang cerdik pandai. Begitu bekunya sampai ada yang mengatakan bahwa PTI menjadi sarang konservatisme. Sehingga bisa disebutkan di sini berbagai indikasi “konservatisme keilmun” di PTI, misalnya wacana fiqh di PTI tidak pernah beranjak dari persoalan thaharoh? Mengapa ilmu kalam tidak pernah bergeser dari perdebatan-perdebatan klasik untuk membela Tuhan? Dengan pertanyaan sebaliknya, mengapa wacana-wacana baru keislaman justru diintrodusir dari individu atau insitutusi di luar PTI? Mengapa wacana fiqh sosial atau teologi transformatif tidak muncul dari PTI? Dan sebagainya. Kondisi ini suka atau tidak suka, inilah faktanya. Ada seorang akademisi yang tidak mau mengakomodasi wacana-wacana baru keislaman ke dalam struktur keilmuan PTI karena menganggapnya telah menyalahi tradisi keilmuan yang sudah baku. Ini tidak semata-mata gambar dari kebekuan nalar akademis di PTI, tetapi merupakan pengkhianatan atas kodrat ilmu.
Persoalan yang muncul di PTI terutama pada kurikulum agama sungguh belum dapat terselesaikan, sehingga muncul adanya jebakan ketika peletakan al-Qur’an sebagai sumber (inspirasi) ilmu pengetahuan (lihat Prayogo, 2005). Dikatakan jebakan karena bisa jadi akan menjadi titik rawan ketertutupan semangat akademis. Karena, garis pembatas pendefinisian antara ilmu Islami (berdasarkan al-Quran dan al-Hadits) dan ilmu sekuler-non Islami, tanpa disadari akan “menyortir” sebuah teori bukan berdasarkan isinya tetapi ada ayat-haditsnya atau tidak.
Untuk itu, kesadaran yang harus dibangun adalah hedroginitas pemikiran, sehingga dapat dijadikan sebagai pintu gerbang bagi program pengembangan keilmuan di perguruan tinggi. Program apapun yang dicanangkan, aktivitas apapun yang dilakukan dan strategi apapun yang digagas, jika spirit keragaman wacana tidak diakui dalam kerangka besar pengembangan keilmuan di PTI, maka hasilnya hanyalah pengulangan dan imitasi yang terus-menerus. Diskusi, seminar, lokakarya dan sarasehan tanpa pengakuan atas keragaman wacana tidak menghasilkan apapun, bahkan akan semakin menumbuhkan koservatisme baru. Apa yang bisa diharapkan jika di kepala masing-masing orang telah terskematisasi oleh satu teori yang dianggap benar dan Islami, kemudian termanisfestasikan dalam struktur kurikulum yang disampaikan ke mahasiswa. Apa jadinya proses pembelajaran yang seperti ini.
Sikap inklusif terhadap keragaman wacana berarti memperlakukan secara sama terhadap seluruh teori yang ada. Tidak ada priveles apapun teori satu atas teori lain sebagaimana tidak ada penolakan secara apriori atas sebuah teori. Sebuah teori yang digagas seorang Muslim tidak memiliki status unggul dibanding teori yang digagas oleh orang non-Muslim sebelum ia diuji secara detail dan fair. Tidak ada teori yang diunggulkan hanya karena memiliki rujukan ayat atau hadits atas sebuah teori yang tidak ada ayat atau haditsnya sebelum teori tersebut dinilai secara sungguh-sungguh. Seluruh teori, dari mana dan oleh siapa saja dia dilahirkan harus diperlakukan sama untuk diuji dan dinilai, ditolak maupun diterima. Hal Ini berlaku untuk seluruh disiplin ilmu, termasuk ilmu-ilmu yang yang dalam kategori Islamic studies. Sehingga tidak ada lagi penolakan terhadap sebuah teori semata-mata karena ia dirumuskan oleh seorang orientalis non-Muslim misalnya. Karena, tidak ada penolakan dan penerimanaan yang absah dalam konteks keilmuan kecuali berdasarkan prosedur-prosedur keilmuan secara ilmiah.
PTI seharusnya menjadi lahan subur bagi penyemaian pikiran-pikiran “seliar” apapun. Menurut Hamdi (2004) bahwa setiap teori bisa dipelajari, diperdebatkan dan diuji tanpa rasa takut. PTI akan menjadi sebuah kontinum keilmuan yang terentang mulai dari yang sangat kiri sampai yang yang sangat kanan. Tidak ada pelarangan untuk mempelajari buku-buku kiri hanya karena ia kiri, begitu pula sebaliknya bahwa tidak ada pengkultusan buku-buku kanan hanya karena ia kanan. Dalam konteks keilmuan, semua bisa dipelajari untuk diterima, ditolak atau dikritisi. Sehingga wacana-wacana baru keislaman tidak sekedar menjadi selingan kecil pada momen-momen seminar, sementara kurikulum yang menjadi penopang utama pengembangan keilmuan tetap tidak terjamah. Oleh sebab itu, bila tombol pengembangan keilmuan adalah kurikulum, tenaga pengajar dan kondisi akademik, maka spirit keragaman wacana adalah tombol utamanya. Kurikulum harus tidak menjadi kaca mata kuda yang menyempitkan pemahaman mahasiswa; dosen harus terbuka terhadap setiap gagasan tanpa sikap apriori jika menginginkan mahasiswanya memiliki kejujuran ilmiah, dan kampus harus menyediakan suasana akademis yang kondusif untuk mempelajari dan mendiskusikan teori apapun. Jangan sampai terjadi sebaliknya, kurikulum, dosen dan kampus menjadi penjara panopticon, di mana setiap saat orang disempitkan pikirannya dan ditakut-takuti.
Bila pemikiran-pemikiran liar itu dibiarkan, maka setiap gagasan akan saling “beradu”. Gagasan psikologi Islam misalnya, haruslah menjadi salah satu dari sekian gagasan teoritis dalam disiplin psikologi. Biarkan setiap gagasan saling bertemu untuk secara kreatif membuka ruang-ruang baru dan titik-titik penyempurnaan. Begitu juga dengan ekonomi Islam dan berbagai ilmu yang mengklaim atau diklaim Islam hanyalah salah satu gagasan dalam bangunan besar keilmuan. Wujud integrasi tidak ditentukan pada langkah awal, tapi hasil yang terbuka dari pergulatan panjang pencarian. Tidak hanya antar-teori dalam disiplin ilmu yang sama dan bisa saling berjumpa antar disiplin, bisa saling menopang dan mengkritisi (Angger, 2000).
Kemudian di mana posisi al-Qur’an? Menurut Hamdi (2004) Al-Qur’an bisa menjadi sumber inspirasi atau sumber ilmu pengetahuan tanpa harus terjebak pada penciptaan dinding pemisah antara ilmu Islami dan non-Islami. Sangat mungkin ada satu disiplin ilmu yang bisa diturunkan secara langsung maupun terinspirasi dari ayat-ayat al-Qur’an, tapi itu tidak kemudian menjadikan al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan. Ini sama dengan disiplin ilmu fiqh yang dirumuskan melalui istimbat al-hukm dari al-Qur’an maupun al-Hadits dan tidak kemudian menjadikan keduanya sebagai kitab hukum. Maka al-Quran lebih tepat untuk diletakkan sebagai basis etis kehidupan manusia. Al-Quran tidak terkait dengan program-program riset ilmiah tentang penemuan atom maupun pembelahan-pembelahan atom, tapi al-Quran menyediakan basis etis tentang perdamaian yang harus ditegakkan dalam tata pergaulan antarumat manusia. Dalam konteks fiqh, al-Qur’an harus diletakkan sebagai basis etis bagi rumusan-rumusan hukum yang dibangun oleh fuqaha’. Jadi al-Qur’an menjadi basis etis yang mengisi ruang aksiologis pengembangan keilmuan. Di sini nilai-nilai kemanusian, tasamuh, tawazun, tawassuth, al-‘adl, al-haq, amanah harus dijunjung tinggi sebagai pondasi etis bagi seluruh aktivitas keilmuan masyarakat kampus. Kalau situasi akademis yang hendak dikembangkan harus berwajah Islami, maka itu lebih pada sisi etis dari pada kesempitan dan kenaifan ilmiah. Kondisi akademik yang Islami tidak harus menghilangkan pikiran-pikiran “liar” orang-orang di dalamnya. Di titik ini, seorang ilmuwan Muslim bisa berdiskusi secara hangat dan akrab dengan seorang humanis-sekuler-atheis tanpa dirisaukan dengan keyakinan Ke-Tuhanan masing-masing. Andaikan ini dapat dilakukan, maka tidak lagi terdengar kisah mahasiswa yang dimarahi oleh dosen ketika mengutip pendapat Karl Marx semata-mata karena Marx pernah mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat, agama keluhan makhluk yang tertindas, agama merupakan kesadaran diri sebagian manusia sebelum menemukan jati dirinya, manusia ditentukan oleh dirinya sendiri sehingga agama harus ditekan karena nilai tertinggi adalah materi sedangkan manusia adalah materi. Wacana-wacana seperti ini biar berkembang secara liar dan bersedia diuji oleh para ilmuan dengan teori-teori lain yang sejenis, sehingga sebuah teori dapat memperkokoh atas teori yang ada, merekonstruksi dan bahkan mendekonstruksi atas teori satu pada teori yang lain yang bertentangan dengan nilai-nilai ilmiah.
Kalau sudah demikian, kurikulum yang seperti apa yang harus ditawarkan oleh PTI untuk menghasilkan lulusan agar memiliki kedalaman spiritual (deep religious belief), keluhuran akhlaq (good moral), keluasan ilmu (wide knowledge), kematangan professional (be professional on their fields) dan mampu bekerjasama dan beradaptasi dengan orang lain (learning to live together)? Pertanyaan ini nampaknya tidak mudah di jawab oleh PTI, walaupun visi, misi dan tujuan pendidikan yang dicanangkan musti mencita-citakan hal tersebut. Oleh karena itu, kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang dikemas dengan memperhatikan secara komprehenship aspek afektif (dzikr), kognitif (fikr) dan psikomotorik (amal sholeh). Bila mana proses pendidikan dapat dilaksanakan dengan memperhatikan adanya keseimbangan ketiga aspek tersebut, maka lulusan pendidikan akan mampu mengantisipasi perubahan dan kemajuan masyarakat. Sebaliknya, apabila proses pendidikan mengabaikan aspek-aspek tersebut dan hanya memihak serta menitik beratkan pada aspek kognitif seperti selama ini, maka sangat mungkin lulusan pendidikan tidak mampu menerjemahkan dan mengantisipasi kemajuan dan perkembangan masyarakat yang berjalan demikian cepat. Untuk hal itu, kurikulum harus mampu mengemas proses pembelajaran dengan memperhatikan aspek kreatifitas (fikr dan ketrampilan) dengan tetap bertumpu pada penyelamatan fithrahnya.
Sejalan dengan pemikiran di atas, perubahan kurikulum yang dilakukan hendaknya lebih dititik beratkan pada penetapan kompetensi dasar mahasiswa, sehingga apapun bentuk prestasi mahasiswa ukuran yang terpenting adalah penguasaan terhadap kompetensi dasar yang dituntut. Pendekatan ini dilakukan melalui identifikasi dan penentuan dasar lulusan, jenis dan bobot sistem kredit masing-masing matakuliah, untuk mengantarkan lulusan yang kafah (insan kamil) dengan wujud terintegrasinya antara iman, ilmu dan amal (afektif, kognitif dan psikomotorik).

Kesimpulan
Berangkat dari paparan tentang implementasi kebijakan pendidikan nasional kaitannya dengan proses pembelajaran dalam perspektif ‘ilmu Islam’ sebagai blue print pengembangan keilmuan di PTI pada pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan; Pertama, terjadi dikotomi pendidikan umum (sekuler) dan agama di Indonesia tidak lepas dari adanya dua departemen yang mengurus pendidikan, yakni departemen pendidikan nasional di satu sisi yang seakan-akan paling berhak mengurus pendidikan dalam ilmu-ilmu sekuler, di sisi lain departemen agama yang mengklaim paling berhak mengurus pendidikan agama dan suci seakan-akan tak boleh tersentuh oleh yang lain, begitu juga sebaliknya, sehingga dalam dunia pendidikan muncul adanya dikotomi (ilmu umum dan agama) serta membangkitkan semangat Islamization of knowledge. Kedua , sebagian PTI telah meletakkan al-Quran sebagai konsep dasar (ideologi yang diyakini) atau inspirasi yang kemudian dikembangan melalui berbagai riset ilmiah, bila tidak maka dipastikan ilmu yang dikembangkan megandung unsur-unsur jahiliyah yang bertentangan dengan ajaran al-Qur’an, namun sebagian PTI yang lain telah membiarkan ilmu berkembang secara liar namun tetap dikawal oleh prinsip atau prosedur-prosedur ilmiah. Ketiga, meletakkan al-Quran (fenomena naqliyah) dan alam (fenomena kawniyah) menjadi dua sumber yang kurang lebih setara bagi bangunan ilmu pengetahuan, sehingga peletakan posisi al-Qur’an dan al-Hadits di sebelah kanan memiliki konsekwensi pengutamaannya atas alam yang ada di sebelah kiri, sedangkan keduanya sama sekali tidak menjelaskan bagaimana al-Qur’an dan alam dipahami. Keempat, proses pembelajaran yang dilaksanakan selama ini baru menyentuh aspek kognitif dan masih mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik peserta didik, sehingga lulusan PTI belum mampu menerjemahkan dan mengantisipasi kemajuan dan perkembangan masyarakat yang berjalan demikian cepat, Kelima, di dalam proses pembelajaran agama selama ini, agama hanya dijadikan sebagai ilmu atau pengetahauan belaka oleh pendidik dan peserta didik sehingga kehilangan kesegaran dan elan vitalnya bagi pembentukan sikap dan prilaku uswah hasanah.

Saran-Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas dapat disarankan bahwa; Pertama, adanya dua departemen (Depdiknas dan Depag) yang mengurus pendidikan selama ini perlu disatukan di Departemen Pendidikan Nasional untuk meminimalisir dikotomi pendidikan umum dan agama, sedangkan Departemen agama sebaiknya diberi wewenang untuk mengatur zakat dan wakaf sebagai sumber pembiayaan pendidikan di Indonesia, Kedua, sebuah teori tidak bisa dijustifikasi Islami atau non-Islami berdasarakan al-Qur’an dan al-Hadits, tetapi berdasarkan prosedur-prosedur ilmiah, sehingga umat Islam atau PTI khususnya harus terbuka untuk menguji dan mengambil teori dari mana saja bila PTI ingin berkembang. Ketiga, tidak boleh ada satu pun teori yang menjadi dominan karena setiap teori adalah perspektif, bahkan ketika sebuh teori diinspirasi atau diturunkan secara langsung dari al-Quran sekalipun. Keempat, posisi al-Qur’an menyediakan basis etis tentang perdamaian yang harus ditegakkan dalam tata pergaulan antar umat manusia dan juga mengisi ruang aksiologis pengembangan keilmuan. Kelima, dalam kurikulum dan proses pembelajaran di PTI perlu menyeimbangkan aspek afektif (dzikir), kognitif (fikr) dan psikomotorik (amal shaleh) sehingga dapat menghasilkan lulusan yang memiliki integritas fikr, dzikr dan amal sholeh, dan Keenam, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah dilaksanakan oleh tiga PTI (UIN Malang, Unisma dan UMM) namun belum dapat berjalan secara optimal, oleh sebab itu pemerintah harus melakukan intervensi melalui kegiatan monitoring, pembinaan dan pendampingan, mengevaluasi (melalui BAN) dan memberikan solusi atas kendala yang dihadapi PTI.



DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahmansyah. 2002. Sintesis Kreatif Pembaharuan Kurikulum Pendidikan Islam Isma’il Razi Al-Faruqi. Global Pustaka Utama, Yogyakarta.

Abu Zaid, Nasr Hamid. 1998. Mafhum al-Nass: Dirasa fi Ulum al-Qur’an. al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi. Beirut.

Agger, Ben. 1992. Cultural Studies as Critical Theory. DC: The Falmer Press. London, Washington.

Agus, Bustanuddin. 1999. Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial: Studi Banding Antara Pandangan Ilmiah dan Islam. Gema Insani Press, Jakarta.

Bagir, Zainal Abidin. 2002. “Pergolakan Pemikiran di Bidang Ilmu Pengetahuan,” dalam Taufiq Abdullah, et. al. (eds.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jilid 6. PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Jakarta.

Barker, Chris. 2000. Cultural Studies Theory and Practice. Sage Publication. London.

Dirjen Bagais. 2003. Islam Mengajarkan Kesejahteraan Dunia Akhirat: Tanggung Jawab Utama Akademisi Perguruan Tinggi Islam (Orientasi Prioritas Program Tahun 2004). Makalah tidak diterbitkan. Jakarta.

Gadamer, Hans Georg. 1975. Truth and Methods. Sheed and Ward, London.

Hasan, Tholchah. 2005. Pendidikan Islam Sebagai Upaya Sadar Penyelamatan dan Pengembangan Fithrah Manusia. Jakarta. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Hanafi, Hasan. 1995. Islam in the Modern World, vol. II: Tradition, Revolution, and Culture. The Anglo Egyptian Bookshop, Kairo.

Hamdi, Ahmad Zainul. 2004. Menilai Ulang Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Sebagai Blue Print Pengembangan Keilmuan Universitas Islam Negeri. Makalah Tidak dipublikasikan.

_____. 1991. Agama, Ideologi dan Pembangunan, ter. Shonhaji Sholeh. P3M., Jakarta.

Islamy, Irfan. 2003. Prinsip-Prinsip rumusan kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara, Jakarta.

Magee, Ryan. 1997. Confessions of a Philosopher. Phoenix.

McLean, George F.. 1999. Ways to God (Cultural Heritage and Contemporery Change Series I), The Council for Research in Values and Philosophy. Washington DC.

Meuleman, Johan. 1994. “Pengantar,” dalam Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru. INIS., Jakarta.

Munawar-Rachman, Budhy. 1996. “Filsafat Islam,” dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam. Paramadina, Jakarta.

Qadir, C.A.. 1991. Philosophy and Science in the Islamic World. Routledge, London & New York

Rahman, Fazlur. 1985. Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, ter. Ahsin Mohammad. Pustaka. Bandung.

Russel, Bertrand. 1991. History of Western Philosophy. Routledge. London.

Suprayogo, Imam. 2005. Paradigma Pengembangan Keilmuan Di Perguruan Tinggi, Konsep Pendidikan Tinggi yang Dikembangkan Universitas Islam Negeri Malang. UIN Malang Press, Malang

Tarbiyah Uli al-Albab: Dzikr, Fikr dan Amal Shaleh (Konsep Pendidikan Universitas Islam Negeri (UIN) Malang). Malang: Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 2004.

Zainuddin, Dkk. 2004. Memadu Sains dan Agama Menuju Universitas Islam Masa Depan. Malang. Universitas Islam Negeri Malang.

2 komentar

  1. lilik syafii Says:
  2. top abiz pak artikelnya. kalo qta pgn ikut upload artikel karya qta gmn pak ?

     
  3. Iwan Says:
  4. Saya juga pingin nyumbang artikel. Gimana caranya?

     

Post a Comment

Terimakasih atas komentar dan kunjungannya, salam manis buat sobat semua

Download MK

MSI

Translator



English French German Spain Dutch Arabic

Recent Post

DAFTAR ISI BLOG

1.Blog Sejenis
2.Line Website UNISMA
3.Jam’ul Qur’an
4.Hadis Pra Modifikasi
5.Kampus Pusat Budaya
6.Qawaidul Fiqhiyyah
7.Sarjana Pengangguran
8.Penyimpangan dalam Penafsiran al Qur’an
9.Implementasi Ilmu Islam dalam Peguruan Tinggi Islam
10.Pemikiran Ibn Miskawaih Dlm Pendidikan
11.Otentisitas Hadis versi Orientalis
12.Maqashid al Tasyri’
13.Sejarah Peradilan Islam
14.Mengais Kembali Konsep Turats
15.Sufi Martir Ain Qudhat
16.Tema Pokok al Qur’an
17.Metodologi Penelitian
18.Nilai Maslahat dan HAM dalam Maqashid al Tasyri’
19.Pembaharuan Kurikulum Dasar Menengah
20.Pemikiran al Mawardi
21.Tasawwuf al Falsafi
22.Profil Dosen FAI UNISMA
23.Download Bahan Kuliah
24.Ikhtilaf al Hadis Part. I
25.Ikhtilaf al Hadis Part. II
26.Filsafat Ibn Rusyd
27.Inkar as Sunnah I
28.IInkar as Sunnah Part. II
29.Beasiswa Kuliah Gratis
30.Download MAteri Perkuliahan
31.Uji Timbang Blog
32.Award Pertama Buat FAI
33.Hakikat Manusia : Sebuah Renungan
34.Award oh Award
35.Pengumuman Mengikuti Beasiswa
36. Blog-ku Istana-ku
37.Kuliah Umum di FAI Unisma
38. Info LAnjutan Beasiswa
39. Dukungan Untuk Sang Guru
40. Zikir Akbar di Unisma
41.Ujian Seleksi Kuliah Beasiswa
42. Habil dan Qabil di Era Global
43. Suasana Ujian Seleksi Beasiswa
44. Mengapa aku harus memilih?
45.Pengumuman Hasil Ujian
46. award Dari Sobat Blogger
47. Psikotest Mahasiwa Beasiswa
48. Award Maning
49.Award Blogging 4 Earth
50. Pengumuman Hasil Ujian
51.Award Motivasi & Perilaku
52. Sistem Pembekalan Akademik
53. Award Tiad aPernah Berakhir
54. Light Up The Noght
55.Cap Jempol Darah
56.Awardmu-Awardku-AwardKita
57.Anti Mati Gaya Open Minded
58.Award Is Never Die
59.KEM tingkat Nasional
60.Pengumuman Kuliah Umum
61.Virus Malas Ngeblog
62.Pengumuman Hasil Seleksi Ujian
63. Prote Hasil Pilpres
64. Ramadhan Itu Datang Lagi
65.Orientasi Pendidikan MABA UNISMA
66.Download PPT HAM dan Gender
67.Gus Dur:Sang Guru Bangsa
68.Gerakan Fundamentalisme Islam
69.Download E-Book
70.FAI UNISMA
71.Umar Ibn al Khaththab
72.Beasiswa Kuliah Prodi PGMI
73.Ikhtilaf al Hadis Part. II
74.Gelar Doa sivitas FAI UNISMA
75.Pengumuman Pelaksanaan Tes Ujian Prodi PGMI
76.Pengumuman Hasil Tes Ujian Prodi PGMI
77.Beasiswa S2 Prodi Hukum Islam PPS UNISMA
78.Selamat Jalan Akhi
79.Pesta Demokrasi
80.Ordik MABA UNISMA
81.Islam Rahmat Lil Alamin
82.Beasiswa Bagi Guru PAI di Kemendiknas
83.Hasil Akreditasi PGMI
84.Rekonstruksi Kurikulum FAI UNISMA
85.Beasiswa Perkuliahan Prodi PAI
86. Ketentuan Lomba Lustrum
87. Pengumuman Hasil Psikotes
88. Beasiswa Untuk Guru PAI
89. Islam dan Ilmu Pengetahuan
90. Pengumuman Kelulusan Penerima Beasiswa
91. Pengumuman Hasil Seleksi Ujian Tulis
92. Maqamat dan Ahwal al Sufiyah
93. Ikhtilah Ulama