Jurnal Ilmiah

Panduan SOS

Prog. SOS FAI

Prog. SOS FAI
Sistem Informasi Akademik Mahasiswa FAI Berbasis Online

Popular Posts

Followers

CELEBRITY

Tamu-nya FAI

Oleh : Khoirul Asfiyak, M.HI

Sementara pendapat yang kedua diwakili oleh filsuf abad modern lainnya, yakni Francis Bacon ( 1561- 1626 ). Menurutnya ada beberapa faktor yang mempengaruhi cara berfikir manusia yang dalam istilah filsafah ia sebut sebagai “Idols of Mind”. Faktor-faktor itu adalah : Idols of The Tribe, Idols of The Den, Idols of The Market dan Idols of The Theatre. Keempat-empatnya biasa disebut sebagai teori Arca atau Teori Patung.

Idols of The Tribe ( Arca Suku ) dalam pandangan Francis Bacon dikonsepsikan sebagai suatu bentuk hambatan dalam berfikir logis dan lurus. Alur fikir manusia seringkali tidak bisa memahami obyek pengetahuan , disebabkan ia terpengaruh oleh pendapat dan pemikiran kelompok , golongan atau suku (tribe) –nya. Alur fikir yang disusun tidak berdasarkan suatu metode yang sistematik dan saintifik, melainkan pemikiran manusia yang mengalami Idols of The Tribe ini akan senantiasa merujuk dan berpegang teguh pada pemikiran kelompok, dan golongan tertentu yang diyakini kebenarannya. Tanpa sekalipun ia menaruh kecurigaan terhadap validitas dan kelayakan hasil pemikiran kelompoknya itu. Setiap pemikiran orang lain yang berbeda dengan hasil pemikiran kelompok yang dianutnya, dianggap salah dan tidak bernilai. Dengan demikian metode berfikir seseorang dalam kerangka Idols of The Tribe ini selalu berbeda dalam kesimpulan yang dihasilkannya dan tidak bisa melihat kebenaran pada pemikiran kelompok lainnya.

Kondisi inilah yang senantiasa memicu ikhtilaf di kalangan umat islam, karena sebagian besar kaum muslimin lebih suka memegangi hujjah kelompok / golongannya tanpa disertai pemahaman yang memadai validitas dan ketepatan hujjah imam mazhabnya. Dan yang lebih parah dari semua itu adalah fanatisme buta pada imam mazhabnya, sekalipun seseorang mampu mengenali bahwa hujjah imamnya lemah, namun karena fanatisme yang berlebihan pada sang imam, ia lebih suka mengikuti gagasan fiqhiyyah imamnya.

Sebagaimana yang disinggung oleh al ‘Allamah Syah Waliyullah al Dihlawy ( Tt : 90 ) berikut ini :

“...Sungguh mengherankan, para ulama yang taqlid itu sebenarnya mengetahui bahwa argumen imamnya lemah dan dia tidak mampu untuk mempertahankannya, akan tetapi ia tetap saja taqlid. Dan dia meninggalkan pendapat ulama lain yang jelas, yang berdasarkan al Qur’an dan al Hadis ataupun berdasarkan Qiyas yang Shahih, hanya karena kefanatikannya dalam bertaqlid...”

Sementara Idols of The Den adalah keterkungkungan alur fikir manusia oleh hasil pemikirannya sendiri sehingga ia tidak dapat melihat realitas di luar hal-hal yang difikirkan oleh akalnya. Ini adalah sejenis hambatan ( arca ) yang diakibatkan oleh gangguan yang bersifat psikologis. Ibaratnya ia berfikir sendirian di tengah hutan atau di dalam gua yang sepi yang tidak ada orang lain yang bisa mendengar, memperhatikan dan mendebat pendapat atau hasil pemikirannya. Seolah-olah tidak ada kebenaran lain selain kebenaran yang berasal dari dirinya. Hambatan jenis ini seringkali disebabkan oleh tingkat pendidikan /wawasan seseorang yang sempit dan terbatas atau bisa juga diakibatkan oleh kukuhnya ia memegangi pengetahuan yang didapatnya dari otoritas yang sangat ia kagumi. Orang yang dihinggapi oleh Syndrome Idols of Den ini sangat sulit berbagi kebenaran dengan orang lain, sekaligus penghargaannya terhadap gagasan dan pemikiran orang lain sangat sedikit. Dengan demikian bila persoalan ini ditarik dalam wilayah khilafiyah antar mazhab, maka kecil sekali kemungkinan umat Islam bisa bersatu pendapat dan mencapai satu kesatuan ide dalam memproduk hukum yang bisa mengayomi kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Alih-alih kompromi atas hasil pemikiran ijtihadiyyah mujtahid itu, yang terjadi justru saling menyalahkan dasar-dasar istinbathiyah setiap hasil pemikiran ulama tersebut.

Arca yang ketiga adalah Arca Pasar ( Idols of The Market ) maksudnya adalah hambatan yang sering mengganggu kejernihan arus pemikiran manusia akibat banyaknya orang / pemikir / filsuf / cendekiawan yang pendapatnya ia dengar / pelajari sehingga ia merasa kesulitan untuk menentukan pendapatnya, atau jikapun ia menentukan pendapatnya, hasil pemikirannya itu tidak berdasarkan pemikirannya yang orisinil melainkan berdasarkan pendapat banyak orang. Laksana dalam keriuhan pasar, orang berdebat dan berargumentasi untuk sesuatu yang belum tentu diketahui nilai dan kualitas barang yang hendak dibelinya. Sama halnya dengan orang yang memikirkan , mengkaji dan membahas suatu obyek pengetahuan setiap diskusi debat dan argumentasi yang ia bangun sama sekali tidak memperjelas obyek itu sendiri. Alih-alih pemahaman tentang obyek pengetahuan bisa bisa tersusun, yang terjadi justru pertengkaran dan kesalahan-kesalahan yang tidak berujung pangkal. Sebagaimana perdebatan pengikut mazhab Syafi’iyyah dengan Hanafiyah, fokus perdebatan tidak tertuju pada substansi persoalan, akan tetapi lebih pada bagaimana mempertahankan pendapat guru atau tokoh mazhabnya dengan cara mengenyampingkan kekurangan dan kelemahan hujjah yang digunakan oleh gurunya. Sehingga dampak lebih lanjut ummat terpecah dalam beberapa kolompok yang fanatik terhadap qaul imam mazhab dan tidak kritis terhadap dasar-dasar argumentasi yang digunakan oleh imam mazhabnya itu.

Terakhir adalah Arca Panggung ( Idols of the Theatre ) ini adalah cara lain Francis Bacon mendeskripsikan pengetahuan filsafat dan ilmu yang selama ini menjadi penghambat diperolehnya pengetahuan yang sebenarnya. Kita telah didominasi oleh Idols of the Theatre karena sistem filsafat yang telah kita terima selama ini hanya menciptakan dunia teater atau dunia permainan. Para filsuf hanya memberikan permainan kata-kata atau konsep belaka. Idols jenis ini kata Bacon bersumber dari dogma dan pemikiran para filsuf. Hambatan semacam ini berasal dari keterpesonaan dan kekaguman seseorang pada tokoh besar, pemikir dan ilmuwan yang dalam anggapannya memiliki seluruh pengetahuan yang pernah ada.

Seseorang yang tengah memikirkan suatu obyek pengetahuan merasa tidak percaya diri dengan hasil pemikirannya sendiri, kecuali ia merujuk dan mengutip pendapat tokoh atau ilmuwan yang ia kagumi. Suatu pemikiran, perdebatan dan adu argumentasi akan diterima hasil dan kesimpulannya, jika dalam arus perdebatan itu disebutkan nama-nama tokoh pengggagas ilmu pengetahuan beserta hasil pemikiran mereka. Ada semacam keterikatan diri pada kata-kata atau pendapat tokoh besar, sosok figur yang mempesonakan dan mampu menyihir akal sehat manusia, sehingga ia tidak bisa berfikir logis. Keterikatan dan keterpesonaan pada tokoh besar yang berbeda jelas menimbulkan kesalahan dan perbedaan pendapat di antara manusia.
Sementara itu di dalam wacana ilmu keislaman –khususnya ilmu ushul fiqh- terdapat sebuah qaidah yang menyatakan bahwa :


Maksudnya : “ Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum dikarenakan oleh perbedaan zaman, tempat atau kondisi”

Menilik pengertian qaidah fiqhiyyah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia mempunyai kecenderungan atau bakat untuk senantiasa berbeda pendapat (terutama dalam masalah hukum fiqhiyah ) perbedaan pendapat itu sebagaimana bunyi qaidah tersebut bisa jadi karena perbedaan kondisi geografis, antara masyarakat tipe perkotaan ( Hadlarah ) dengan masyarakat pedesaan ( Baduwi ) jelas pola pemikiran mereka akan sangat dipengaruhi nilai-nilai lokal yang tumbuh berkembang dalam kesadaran masyarakat tersebut. Demikian juga faktor perbedaan zaman dengan segala bentuk permaslahan dan dinamikanya tentu berbeda-beda tiap generasi. Lebih-lebih perbedaan kondisi sosial masyarakat baik dari sisi sosial, ekonomi, pendidikan, filosofi yang dianut masyarakat tertentu, pastinya memberi andil dalam membentuk siap dan pola pikir masyarakat tersebut. Oleh karena itu para ulama ahli ushul bersikap sangat arif dalam memberikan toleransi terhadap setiap perbedaan pendapat yang muncul di tengah-tengah masyarakat.

Di sisi lain terdapat sebuah riwayat –sekalipun masih diperselisihkan kesahihannya-, betapapun sangat masyhur di kalangan umat Islam, yang bisa dijadikan dasar normatif bahwa perbedaan pendapat di kalangan manusia itu adalah suatu hal yang lazim terjadi. Bahkan ia merupakan salah satu bentuk rahmat yang diberikan Syari’ kepada umatnya. Riwayat tersebut adalah :

Artinya : Perbedaan pendapat di kalangan ummatku adalah rahmat

Hadits ini dikeluarkan oleh Nashr al-Maqdisi dalam al-Hujjah, al-Baihaqi dalam Risalah Asy’ariyah tanpa sanad [mu’allaq] begitu juga al-Halimi, Qadhi Husain, Imam Haramain dan lain-lain. Dan dalam menyampaikan hadits ini, mereka semua tidak menggunakan shighat pasti tapi menggunakan kata-kata “diriwayatkan”. Dan sebenarnya ini sudah termasuk bukti bahwasannya hadits di atas tidak maudhu'. Lantaran tidak mungkin mereka rela memasukkan hadits palsu atau maudhu' kedalam kitab-kitab mereka. Padahal kita tahu, mereka adalah kritikus-kritikus dalam bidang hadits yang handal (http://warkoplalar.blogspot.com/2011/05/perbedaan-itu-rahmat.html )

Berdasarkan riwayat ini dapat dipahami bahwa Syari’ sebagai satu-satunya yang berhak menetapkan hukum mengakui bahwa keragaman pendapat merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal, ia adalah sunnatullah. Bahkan lebih dari itu ia adalah rahmat yang diberikan Syari’ untuk ummatnya. Memaksakan kesatuan pendapat dalam masyarakat yang pluralis adalah tidak bijaksana dan mengingkari sisi humanisme yang melekat secara inheren dalam diri manusia.

Bahkan Nabi Muhammad SAW mengakui bahwa beliau sekalipun adalah utusan Allah, tidak mengetahui secara pasti kebenaran haqiqi terhadap suatu persoalan yang dihadapi atau diajukan kepada beliau. Bisa jadi Nabi memutuskan suatu perkara berdasarkan kebenaran, bisa jadi pula terdapat kekeliruan dari putusan yang telah dijatuhkan oleh beliau itu. Hanya bedanya kekleiruan ijtihad yang dilakukan oleh Nabi SAW senantiasa dikoreksi oleh wahyu, sehingga tidak mungkin Nabi SAW dibiarkan membuat keputusan yang salah terhadap ummatnya ( al Khatib, 1989 : 29 ). Hadis tersebut berbunyi :



Maksudnya : sesungguhnya saya adalah manusia biasa, suatu saat jika kamu mengajukan suatu perkara kepadaku sembari membawa bukti yang kuat (argumentatif) maka keputusanku berdaarkan bukti tersebut. Oleh karena itu barangsiapa aku menangkan perkaranya padahal ia tidak berhak atas perkara itu, hendaklah jangan diterima, karena sesungguhnya (sama saja) aku potongkan baginya potongan api neraka

Berdasarkan hadis tersebut maka jelas bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mengetahui secara pasti benar tidaknya sebuah persoalan. Apalagi manusia kebanyakan tidak memiliki kapasitas sebagaimana Nabi. Nabi Muhammad SAW hanya mengetahui hal-hal-hal yang dhahir semata berdasarkan data atau bukti yang diajukan kepada beliau. Oleh karena itu jika di tengah-tengah masyarakat terdapat perbedaan terhadap sebuah persoalan maka hal itu bisa dimaklumi.
Mengakhiri sub bab ini penting untuk diketengahkan sebuah maqalah Arab yang sangat terkenal yakni:


Maksudnya “ Metode lebih penting ketimbang essensinya “

Berdasarkan ruh/semangat dari maqalah ini nampaknya yang menjadi perhatian utama dalam Islam bukannya esensi / substansi persoalan itu benar atau tidak, akan tetapi lebih melihat pada aspek di luar persoalan itu, cara-cara , maksud, tujuan dan motivasi yang digunakan dalam mengkaji dan memamhami persoalan itu yang penting untuk diketengahkan. Nampak dalam beberapa hadis Nabi lebih berorientasi terhadap motif, metode (sesuatu yang ada di luar ) perbuatan seseorang daripada hasil, nilai atau validitas dari perbuatan itu. Terdapat hadis yang mendukung pernyataan ini , yakni dalam kasus perang dengan qaum Bani Quraizhah , di mana Nabi berpesan agar pasukan tidak sholat Ashar sebelum sampai di perkampungan Bani Quraizhah, dikarenakan perbuatan makar yang dilakukan oleh kaum tersebut. Bunyi hadisnya adalah :


( Janganlah kalian sholat Ashar kecuali jika telah sampai di perkampungan Bani Quraizhah )

Akan tetapi sebagian sahabat ada yang sholat di tengah jalan, sekalipun belum sampai di perkampungan tersebut, dengan alasan sudah masuk waktu sholat ashar. Sementara sebagian sahabat tidak sholat Ashar, sekalipun sudah masuk waktu sholat Ashar, karena belum mencapai atau memasuki area kampung Bani Quraizhah. Dengan demikian terdapat perbedaan pendapat dalam menyikapi maksud dan tujuan perintah Nabi tersebut. Sehingga pada akhirnya satu kelompok pasukan melakukan sholat Ashar tepat pada waktunya meskipun secara lahiriyah bertentangan dengan perintah Nabi. Sementara kelompok kedua melaksanakan sholat Ashar sesuai dengan perintah lahiriyah Nabi, betapapun sholat Asharnya itu dilakukan di luar waktu yang telah ditentukan oleh Nash ( artinya sudah memasuki waktu sholat Maghrib/Isya’ ). Setelah pasukan tersebut menyelesaikan peperangannya di perkampungan Bani Quraizhah , sebagian dari mereka menghadap Nabi dan menceritakan perihal perbedaan pendapat di kalangan sahabat itu. Terhadap kasus ini Nabi tidak menyalahkan atau membenarkan salah satu dari kedua pihak yang saling berbeda pendapat itu. Nampaknya yang penting bagi Nabi adalah bahwa sekalipun kedua kelompok itu berbeda pendapat , namun tujuan kedua kelompok pasukan itu adalah sama, yakni sama-sama ingin mematuhi dan menjalankan perintah / ajaran Islam. Kedua kelompok tersebut berbeda pendapat, perbedaan yang terjadi di antara mereka adalah dalam rangka ketaatan terhadap syari’at.

Sementara itu untuk memahami fenomena beragamnya pola pemikiran hukum imam mazhab, dapat didekati dengan teori deterministik yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Sebelumnya perlu dicatat bahwa manusia dan kemanusiaan yang menjadi obyek disiplin ilmu sosial ( fiqh/hukum adalah pranata sosial ) serta tingkah laku mereka sangat terbuka untuk dipengaruhi oleh hal-hal di luar dirinya. Seseorang bisa mempengaruhi bahkan memaksa orang lain agar melakukan perbuatan tertentu atau juga membatalkan perbuatan yang telah direncanakannya.
Manusia sebagai obyek ilmu sosial juga bisa melakukan penentangan (protes) terhadap sebuah situasi, sesuatu yang tidak ditemukan dalam ilmu kealaman. Penentangan terhadap situasi sosial tertentu dengan berbagai tingkat dan metodenya itu, menggambarkan adanya kekuatan subyektif dan karena itu obyek ilmu sosial harus bersifat obyektif.

Dalam analisis Durkheim , fakta-fakta sosial merupakan hal yang bersifat eksternal bagi individu. Sesungguhnya seseorang itu lahir di tengah masyarakat yang telah memiliki suatu organisasi dengan struktur tertentu yang pasti akan mempengaruhi kepribadiannya. Di sinilah substansi dari teori Deterministik oitu bermula sekaligus mencoba menggambarkan keterikatan individu terhadap masyarakat ( suatu organisasi sosial) (Craib, 1986 : 31-32 ).

Berdasarkan perspektif ini dapat dijelaskan bahwa manusia akan saling mempengaruhi atau saling dipengaruhi oleh sistem sosial ( dalam tingkat dan metode berbeda) yang berlaku aatau berlangsung di tengah-tengah masyarakat itu. Jika sistem sosialnya menolerir terhadap setiap perbedaan yang menucul maka tidak dapat diharapkan dalam masyarakat itu akan tumbuh suatu kesamaan atau kesatuan pendapat di antara unit-unit sosialnya. Menjadi suatu keniscayaan bila sistem sosialnya menganut paham pluralisme dan keberagaman nilai, maka ia akan menuntut bagi setiap individu untuk mengikuti dan memahami sistem yang berlaku itu.

Bagaimana cara memahami bahwa setiap individu akan terpengaruh oleh sistem sosial di sekitarnya ? selain dengan pendekatan Deterministik, Emile Durkheim juga menteorikan suatu analaisa yang menyeluruh tentang aspek evolusi sosial yang dalam pandangannya terbagi dalam dua kategori, yakni apa yang dinamakan dengan Solidaritas Mekanik ( Mechanical Solidarity ) dan Solidaritas Organik ( Organic Solidarity ) . Solidaritas Mekanik adalah semacam kategori bagi sebuah masyarakat primitif dan sederhana di mana nilai-nilai pekerjaan, keahlian dan profesionalitas masyarakatnya amat terbatas. Satu-satunya ikatan ( Bond or Glue ) masyarakat dalam tipe atau jenis ini adalah unsur keseragaman dan kesatuan ( Sameness / Similiarity ) dengan kata lain gap, jarak atau perbedaan antar individu tidak terlalu banyak ditemukan. Semua orang merasa terlibat dan terikat dalam keseluruhan aktifitas hidup sehari-hari secara kolektif. Muncullah apa yang dinamakan dengan kesadaran kolektif ( Consience Collective ) suatu kesadaran yang berupa wujud identiitas, perasaan dan pemikiran kelompok. Seluruh pengalaman , perasaan dan pernyataan perilaku kesehariannya dan kepercayaannnya ( pada sang ghaib ) seketika menjadi sama. Nilai-nilai individualisme –keinginan untuk berbeda pendapat, sikap/cara hidup- hampir-hampir tidak eksis lagi dan hal yang demikian ini memang tidak ditoleransi oleh kesadaran kolektif mereka. Oleh karena itu nilai moralitas seseorang diukur dari partisipasi atau keterikatan mereka dalam kesadaran kolektif itu ( Milovanovic, Tt : 25 ).

Adapun yang kedua adalah Solidaritas Organik , yakni semacam kategori bagi sebuah masyarakat yang eksis dalam dunia yang sudah maju/metropolitan/masyarakat urban, yang jenis-jenis pekerjaan, keahlian dan profesionalitas masyarakatnya amat beragam. Adapun yang menjadi ikatan / ciri identitas masyarakatnya adalah Mutual Dependence, yakni suatu keadaan yang lebih mengikat dibanding solidaritas mekanik, karena hal itu didasarkan pada unsur yang saling membutuhkan/ketergantungan antar individu dalam masyarakat tersebut. Dalam jenis masyarakat organik ini kesadaran kolektif jadi lemah, hilang dan tergantikan oleh kesadaran inidividualistik. Orang tidak lagi memiliki identitas bersama yang disepakati, melainkan mereka lebih mementingkan keakuannya ( Individualisme) –nya ( lihat juga http://blog.ub.ac.id/noermalasari/2012/03/13/teori-ilmu-sosial-2/ bandingkan tulisan serupa yang berkaitan dengan isu ini dengan http://fisip.uns.ac.id/blog/purwitososiologi/2011/06/13/solidaritas-mekanis-dan-solidaritas-organis-emile-durkheim/).

Oleh karena itu fenomena perbedaan pendapat dalam masyarakat muslim dahulu dan sekarang ini, dalam pandangan Emile Durkheim , bisa dimaknai akibat perubahan sosial masyarakatnya dari masyarakat sederhana, primitif ( Mekanik ) menuju masyarakat Modern, maju ( organik ), karena memang nilai-nilai lama telah tergantikan oleh nilai-nilai yang baru. Perubahan sosial atau evolusi sosial itu terjadi karena faktor Determinisme sejarah yang mau atau tidak mau selalu eksis ketika sarana dan prasyarat yang dibutuhkannya telah tersedia. Teori Deterministik ini juga mengajarkan bahwa jika fakta sosial telah eksis, maka nilai yang baru masuk dalam fakta sosial itu harus menyesuaikan diri atau secara sadar atau tidak sadar terpengaruhi oleh fakta-fakta sosial tersebut.

Dengan meminjam pisau analisis Durkheim maka perbedaan pendapat di kalangan ulama ( mujtahid) adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari, karena telah terjadi sebuah perubahan sosial dari masyarakat yang sederhana (komunal )menuju masyarakat yang serba kompleks ( Individual ). Sikap mencerca apalagi memusuhi setiap perbedaan pendapat yang muncul berkaitan dengan gagasan pemikiran dalam wilayah fiqhiyyah adalah sikap yang kekanak-kanakan dan dalam batas tertentu justru melampaui garis ketentuan sunnatullah. Sikap yang arif dan bijaksana adalah menjaga atmosfir kedamaian dan saling menghargai terhadap ikhtilaf yang muncul sembari berusaha mencari celah bagi harmonisasi perbedaan pendapat yang ada. Sehingga umat tidak lagi dibingungkan dengan beragam praktek ibadah dan multi tafsir terhadap ketentuan nash yang ada, karena fenomena tersebut adalah bagian dari kehidupan manusia yang wajar.

0 komentar

Post a Comment

Terimakasih atas komentar dan kunjungannya, salam manis buat sobat semua

Download MK

MSI

Translator



English French German Spain Dutch Arabic

Recent Post

DAFTAR ISI BLOG

1.Blog Sejenis
2.Line Website UNISMA
3.Jam’ul Qur’an
4.Hadis Pra Modifikasi
5.Kampus Pusat Budaya
6.Qawaidul Fiqhiyyah
7.Sarjana Pengangguran
8.Penyimpangan dalam Penafsiran al Qur’an
9.Implementasi Ilmu Islam dalam Peguruan Tinggi Islam
10.Pemikiran Ibn Miskawaih Dlm Pendidikan
11.Otentisitas Hadis versi Orientalis
12.Maqashid al Tasyri’
13.Sejarah Peradilan Islam
14.Mengais Kembali Konsep Turats
15.Sufi Martir Ain Qudhat
16.Tema Pokok al Qur’an
17.Metodologi Penelitian
18.Nilai Maslahat dan HAM dalam Maqashid al Tasyri’
19.Pembaharuan Kurikulum Dasar Menengah
20.Pemikiran al Mawardi
21.Tasawwuf al Falsafi
22.Profil Dosen FAI UNISMA
23.Download Bahan Kuliah
24.Ikhtilaf al Hadis Part. I
25.Ikhtilaf al Hadis Part. II
26.Filsafat Ibn Rusyd
27.Inkar as Sunnah I
28.IInkar as Sunnah Part. II
29.Beasiswa Kuliah Gratis
30.Download MAteri Perkuliahan
31.Uji Timbang Blog
32.Award Pertama Buat FAI
33.Hakikat Manusia : Sebuah Renungan
34.Award oh Award
35.Pengumuman Mengikuti Beasiswa
36. Blog-ku Istana-ku
37.Kuliah Umum di FAI Unisma
38. Info LAnjutan Beasiswa
39. Dukungan Untuk Sang Guru
40. Zikir Akbar di Unisma
41.Ujian Seleksi Kuliah Beasiswa
42. Habil dan Qabil di Era Global
43. Suasana Ujian Seleksi Beasiswa
44. Mengapa aku harus memilih?
45.Pengumuman Hasil Ujian
46. award Dari Sobat Blogger
47. Psikotest Mahasiwa Beasiswa
48. Award Maning
49.Award Blogging 4 Earth
50. Pengumuman Hasil Ujian
51.Award Motivasi & Perilaku
52. Sistem Pembekalan Akademik
53. Award Tiad aPernah Berakhir
54. Light Up The Noght
55.Cap Jempol Darah
56.Awardmu-Awardku-AwardKita
57.Anti Mati Gaya Open Minded
58.Award Is Never Die
59.KEM tingkat Nasional
60.Pengumuman Kuliah Umum
61.Virus Malas Ngeblog
62.Pengumuman Hasil Seleksi Ujian
63. Prote Hasil Pilpres
64. Ramadhan Itu Datang Lagi
65.Orientasi Pendidikan MABA UNISMA
66.Download PPT HAM dan Gender
67.Gus Dur:Sang Guru Bangsa
68.Gerakan Fundamentalisme Islam
69.Download E-Book
70.FAI UNISMA
71.Umar Ibn al Khaththab
72.Beasiswa Kuliah Prodi PGMI
73.Ikhtilaf al Hadis Part. II
74.Gelar Doa sivitas FAI UNISMA
75.Pengumuman Pelaksanaan Tes Ujian Prodi PGMI
76.Pengumuman Hasil Tes Ujian Prodi PGMI
77.Beasiswa S2 Prodi Hukum Islam PPS UNISMA
78.Selamat Jalan Akhi
79.Pesta Demokrasi
80.Ordik MABA UNISMA
81.Islam Rahmat Lil Alamin
82.Beasiswa Bagi Guru PAI di Kemendiknas
83.Hasil Akreditasi PGMI
84.Rekonstruksi Kurikulum FAI UNISMA
85.Beasiswa Perkuliahan Prodi PAI
86. Ketentuan Lomba Lustrum
87. Pengumuman Hasil Psikotes
88. Beasiswa Untuk Guru PAI
89. Islam dan Ilmu Pengetahuan
90. Pengumuman Kelulusan Penerima Beasiswa
91. Pengumuman Hasil Seleksi Ujian Tulis
92. Maqamat dan Ahwal al Sufiyah
93. Ikhtilah Ulama