Oleh : Fathurrahman Alfa, M.Ag
Stigma yang nampak mengenai sufisme adalah mereka mengentalkan senyawa iman dengan kandungan-kandungan spiritual. Tetapi, itu harus tidak menjauhkan penilaian kita bahwa mereka juga mengisinya dengan nilai-nilai etika. Bahkan produk etika dari pengalaman tasawuf telah mendorong ibadah ke dalam wilayah sosial, dan menjadikan kewajiban agama teraktualisasi dalam segala bentuk setiap waktu. Mereka memiliki kewajiban etika dalam bepergian, menetap, bersahabat, bertetangga, ketika mencari penghidupan, bergaul, ketika makan, ketika membesuk orang sakit, dan hubungan-hubungan mereka dengan keluarga dan anak1).
Stigma yang nampak mengenai sufisme adalah mereka mengentalkan senyawa iman dengan kandungan-kandungan spiritual. Tetapi, itu harus tidak menjauhkan penilaian kita bahwa mereka juga mengisinya dengan nilai-nilai etika. Bahkan produk etika dari pengalaman tasawuf telah mendorong ibadah ke dalam wilayah sosial, dan menjadikan kewajiban agama teraktualisasi dalam segala bentuk setiap waktu. Mereka memiliki kewajiban etika dalam bepergian, menetap, bersahabat, bertetangga, ketika mencari penghidupan, bergaul, ketika makan, ketika membesuk orang sakit, dan hubungan-hubungan mereka dengan keluarga dan anak1). Jadi tasawuf seluruhnya adalah akhlaq. Setiap dimensi waktu, tempat dan situasi memiliki muatan akhlaq. Dan siapapun mengimplementasikannya dalam wilayah praksis, dia telah mencapai derajat yang tinggi2).
Jika seluruh tasawuf adalah akhlaq, adalah suatu keharusan untuk membahas adab para sufi di dalam maqam (tingkatan ruhani) dan ahwal (kondisi mental)3). Sehingga makna-makna etika dalamjalan kesufian sebagaimana tertanam dalam pemahaman mereka terhadap kewajiban-kewajiban religius menjadi lebih nampak.
Seorang sufi, setelah melakukan pengosongan pada hatinya dari segala dosa dan kesalahan, masih tetap harus waspada terhadap hal-hal subhat, sehingga jika meragukan sesuatu ia harus meninggalkannya. Bahkan terkadang ia meninggalkan tujuh puluh pintu halal karena khawatir bila pada salah satu pintu itu, ia terperosok ke dalam yang haram4). Ini adalah maqam wara’, dimana tugasnya adalah menghindari segala hal yang subhat dan selalu melakukan introspeksi diri pada setiap kejapan mata5). Sikap wara’ seorang sufi tidak hanya antara ia dan jiwanya, melainkan juga dalam menghindari penindasan dirinya atas manusia lain, sehingga tiada seorangpun yang menerima dari dirinya kelaliman, keluhan, atau permintaan6).
Maqam zuhud (asketisme) adalah pijakan pertama bagi mereka yang menuju Allah. Barangsiapa tidak menguatkan dasar pondasinya dengan zuhud, maka apapun tidak sah baginya setelah itu. Zuhud tidak sebatas kosongnya hati dari apa yang dikosongkan dalam perut, tetapi hati yang tidak lagi berhubungan dengan masalah-masalah keduniaan. Hal ini karena cinta dunia adalah sumber seluruh kesalahan. Karenanya, zuhud bukan saja terputusnya keterkaitan sufi dengan kesenangan hidup dan nafsu-nafsu jiwa, tetapi juga menetapkan hubungan seorang sufi dengan manusia. Sebab, sebagian ajaran dasar kesufian adalah mendahulukan orang lain yang lebih membutuhkan, sebagai pengamalan atas firman Allah, “Dan mereka mengutamakan orang-orang lain atas diri mereka sendiri,kendatipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu”7).
Jika seorang sufi telah melewati maqam zuhud ini, ia akan sampai pada maqam faqr yang merupakan ciri para wali. Tak ada fadilah yang menurut mereka dapat melebur kesalahan, memperbesar kebajikan, dan mengangkat derajat sebesar faqr. Faqr menurut para sufi, bukan berarti tidak memiliki apapun, melainkan tidak ada sesuatu pun yang memilikinya. Sehingga, seorang sufi hidup di dalam kemuliaan – yaitu dalam “kefakiran” – di mana ia tidak meminta sesuatu secara lahir dan batin kepada seseorang, tidak menunggu sesuatu dari seseorang, tidak mengeluh, dan tidak menampakkan tanda-tanda kesusahan8), tetapi justru menampakkan kecukupan tanpa dibuat-buat. Kekafiran, pada gilirannya, menentukan hubungan seorang sufi dengan orang lain. Sebab, seroang sufi tidak bersikap tawaduk kepada orang kaya karena status kekayaannya. Jika tidak, berarti lenyaplah dua pertiga agamanya. Dan jika ia meyakini kelebihan orang itu dengan hatinya, sebagaimana ia bertawaduk kepadanya melalui ucapan-ucapannya, maka ia telah kehilangan seluruh agamanya. Demikian juga, seorang sufi tidak bersikap sombong kepada orang kafir – disini fakir dalam arti sesungguhnya – karena Allah telah membinasakan suatu kaum yang melecehkan dan merendahkan kaum fakir9).
Pada maqam sabar, seorang sufi tidak akan mengeluh dalam menerima setiap musibah, akan tetapi tegar berdiri dengan adab yang baik kepada Allah dan rela kepada ketentuanNya. Penting diketahui bahwa tidak menolaknya soerang sufi atas takdir yang menimpanya sama sekali tidak berarti berdiam diri atas kemungkaran atau kemaksiatan. Ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah kesabaran.
Kendati maqam tawakal mengesankan adanya Jabariyah murni dimana seorang sufi menerima pasrah takdir yang menimpanya, sesungguhnya tawakal tidak serta merta kosong dari nilai-nilai etika. hal ini mengingat tak ada seorangpun yang dapat mencapai maqam tawakal, melainkan hatinya telah bersih dari setiap ketamakan terhadap porsi orang lain. Selain itu, tawakal juga berkonsekuensi terhadap peniadaan sebab-sebab, sehingga seorang sufi hanya bergantung kepada Allah semata.
Jika seorang sufi telah mencapai maqam ridla, ia akan menanggalkan amarah. Sebab dalam pandangannya, segala nikmat dan setiap musibah adalah sama. Dan itu merupakan puncak maqam tawakal. Kendatipun mustahil seorang hamba mencapainya kecuali bila nafsu telah tercabut dari hatinya10). Ridla atau rela tidak berarti seorang sufi rela atas kemaksiatan dan segala nilai keburukan yang dilakukan umat Islam, sebab ridla berkaitan dengan takdir, bukan dengan kejahatan dan kemaksiatan manusia.
Jika maqam kesufian yang harus diupayakan melalui rentetan mujahadah yang ditegakkan terhadap jiwa ini mengandung makna etika, maka ahwal yang merupakan tempat-tempat persingahan hati mausia dan tidak dapat diupayakan ini juga pada urutannya tidak lepas dari tanda-tanda etika.
Jika seorang hamba mengetahui bahwa Allah mengawasi hatinya, maka ia akan memonitor bisikan buruk yang melintasi hatinya, sehingga ia dapat membersihkan jiwanya darihal tersebut. Dan pada kondisi dekat dengan Allah, seorang sufi mengetahui bahwa kedekatannya dengan Allah terjadi karena taqarrubnya kepada Allah melalui praktik ketaatan, sehingga ia akan memperbanyak melakukan kebaikan. Dan seorang hamba selalu berada antara kondisi cemas dan harap, mengharap rahmat dan ridla Allah dengan ketaatannya dan cemas jika perbuatan itu tidak diridlai Allah. Dan jika seorang sufi terbakar oleh rindu kepada Allah, pernyulutan yang hanya dapat dilakukan Allah itu lewat api yang dinyalakan di dalam hatinya, akibatnya, terbakarlah bisikan dan segala interes buruk, segala kebutuhan, dan seluruh permohonan. Dan jika seorang sufi merindukan Allah, ia harus segera berlari kepada kebaikan-kebaikan11).
Demikianlah, perambahan jalan seorang sufi berpenghujung pada aplikasi etika yang baik dan ini pada gilirannya memberikannya hasrat berlebihan dalam berhubungan dengan Allah. Jadi, tidak ada keterpisahan antara kehidupan ruhaniah spiritual dan nilai-nilai etika dalam perjalanan seorang sufi menuju Allah. hal ini karena jalan tersebut mengantarkan sufi kepada maqam fana, yakni kondisi spiritual dimana ia tidak menyaksikan wujud selain Allah. Fana mustahil dicapai sebelum seorang sufi melenyapkan perbuatan-perbuatan buruknya. Sementara baka tidak akan tercapai sampai sifat-sifat terpuji memancar dari dirinya12).
Mu’tazilah selaku madzhab rasionalis menjadikan etika sebagai sistem, sehingga mereka membangun sebuah sistem yang utuh dari keyakinan dasar bagi etika. Namun mereka menghadapi problematika perbuatan yang menjadi batu sandungan dimana rasionalisme mereka tidak mampu mengalahkannya. hal ini karena sebuah konsep tidak berkonsekuensi pada tindakan, dan karenanya mempunyai kekuasaan imperatid atasnya. Tetapi bagaimana mungkin etika tanpa perbuatan, sementara ia adalah ilmu praktik? dan apalah artinya kontemplasi nilai-nilai etika bila tidak dapat mewajibkan perbuatan baik dan meredam keinginan hawa nafsu?
Disinilah signifikansi peran tasawuf dengan metode intuisinya. Para sufi menjalankan etika sebagai latihan jiwa. Dengan perasaan yang memenuhi jiwa dan luapan tekad yang membara, para darwis menundukkan murid-murid mereka, mengajak mereka bertobat, sambil memberitahukan bahwa relung jiwa manusia memiliki bisikan buruk yang halus. Dengan begitu,para sufi telah mengedepankan solusi bagi persoalan perbuatan yang tidak mampu dilakukan para filsuf rasional. mereka menempatkan diri mereka sebagai madzhab etika praktik seperti Socratesisme dan kaum Stoa.
Tetapi para sufi tampaknya terlalu sibuk dengan perbuatan, sehingga mengabaikan wilayah pemikiran atau metafisika etika. Sebagian sufi yang memikirkan masalah fundamental agama ini pun memutuskan diri dengan wilayah praktik, atau mengemukakan sejumlah teori tasawuf yang tidak praktis sama sekali. sedang para sufi yang berkecimpung dalam praktik telah menyadari adanya kekosongan keyakinan, sehingga mereka menagdopsi keyakinan beberapa madzhab teologi, khususnya Asy’ariah. Tetapi adopsi ini tampaknya seringkali tidak senapas dengan metode intuisi para sufi, yang karenanya, dalam hal prinsipil, mereka tidak mengemukakan pemecahan bagi banyak persoalan teoritik-diskursif yang kerap melintas di benak seorang seorang murid. Sementara para sufi tidak mempercayai kemampuan akal dalam mencapai hakikat. Bahkan, sebagian sufi memandang rendah ilmu teori, dna mengangabnya sebagai penghalang bagi terbukanya rasa dan lupan ilahiah. Mengomentari hal ini, al-Ghazali menulis:
Jika jiwa tidak terlatih dengan pengetahuan-pengetahuan hakiki yang bersifat analisis, maka jiwa dengan bisikan-bisikannya menerima banyak delusi yang diduganya sebagai hakikat yang datang kepadanya. Berapa banyak sufi yang tetap berada di dalam sebuah delusi selama sepuluh tahun, sampai ia dapat terlepas darinya. Andai saja ia telah lebih dahulu menekuni sejumlah penegtahuan, niscaya ia dapat terlepas darinya secara aksiomatik saja13).
Al-Ghozali yang condong pada kesufian menyanggah pendapat di atas dengan mengatakan, “Adalah lebih baik bagi kebanyakan umat manusia untuk menyibukkan diri dengan bertindak dan mencukupkan diri dengan pengetahuan praktis sebatas yang dibtuuhkan perbuatannya”. Setelah itu, al-Ghazali menyebutkan keunggulan berpikir atas beribadah dan keutamaan ulama daripada abid14).
Demikianlah, tasawuf tidak banyak dapat diandalkan dalam wilayah pemikiran, seperti juga Mu’tazilah tidak banyak dapat diharapkan dalam wilayah praktik. Dan jika perbuatan sulit tercipta dari konsep belaka, maka pada gilirannya hal itu cukup membuat meditasi dijauhi dan inovasi pemikiran menjadi tidak lagi menarik.
Namun tidak adakah upaya mengintegralkan kecenderungan rasionalis danintuisionalis ini (Aqliyyah-dzauqiyyah). Tidak adakah madzhab elektik (taufiqi) yang memadukan pemikiran rasional dan perilaku praktik, sehingga madzhab itu tidak mengandung kelemahan seperti madzhab Mu’tazilah yang terpuruk dalam wilayah praktik dan tasawuf yang lemah dalam pemikiran. Wallahu A’lam.
CATATAN:
1. As-Siraj at-Tusi, al-Lu’ma’ fi at-Tasawuf, hal.29.
2. As-Suhrowardy, Awarif al-Ma’arif (Hamisy Ihya’ al-Ulum ad-Din), hal. 77.
3. Maqam, Lebih bersifat aquisisif, sementara hal cenderung given. Lihat, Ibrahim al-Baisyuni, Nasy’at-at-Tasawuf al-Islami-Maktabah al-Ma’arif, hal 59.
4. Dalam Tasawuf, segala sesuatu yang sekiranya menghalangi dzikir, termasuk dalam kategori haram.
5. Al-Qusyairi, ar-Risalah, al-Qusyairiyah, hal 54.
6. As-Siraj at-Tusi, Al-Luma’, hal 50.
7. Q.S. Al-Hasyr, hal 9.
8. As-Siraj at-Tusi, al-Luma’, hal 75.
9. Al-Qusyairi, ar-Risalah, hal 124.
10. As-Siraj, al-Luma’, hal 94.
11. Al-Harawi, Majazil as-Sairin, hal 48-52.
12. Al-Qusyairi, ar-Risalah, hal 36-37.
13. Al-Ghazali, Mizan, al-Amal, hal 44.
14. Ibid, hal 141.
0 komentar