A. Latar Belakang Masalah
Al Qur’an merupakan sumber utama dari berbagai ketentuan yang berkenaan dengan syari’ah baik itu persoalan aqidah, akhlaq, ibadah, lebih-lebih persoalan di sekitar fiqhiyyah. Ia menjadi rujukan utama bagi setiap persoalan hukum yang dihadapi oleh manusia . Sekalipun ia bukan kitab undang-undang dalam pengertian dan sistematika modern, akan tetapi beberapa ayatnya mengindikasikan teks-teks hukum yang manusia dituntut untuk memberlakukan ketentuan tersebut dalam setiap persoalan yang terjadi di antara mereka.
Terdapat sebuah hadis yang mendukung pernyataan ini, sekalipun dari segi sanad ia patut dipertanyakan - yakni:
كيف تقضى اذا عرض لك القضاء ؟ قال: اقضى بكتاب الله قال: فاءن لم تجد فى كتاب الله ؟ قال:فبسنت رسول الله , قال: فاءن لم تجد فيهما؟ قال: أجتهد رأي ولآالوآ….(رواه ابو داود)
Demikian pula al qur’an, ia adalah sumber utama yang digunakan oleh jumhur ushuliyyun di dalam menyusun dan merumuskan metode / manhaj istinbathiyyah dan ijtihad mereka. Melalui pendekatan , pengkajian dan penelitian (istiqra’) yang seksama terhadap ayat-ayat al qur’an, muncullah berbagai metode perumusan dalil (Istidlal ) yang membantu para mujtahid di dalam menganalisa setiap persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Metode-metode ijtihad yang pada masa sekarang dikenal sebagai epistemologi hukum islam itu, sangat membantu para mujtahid / ushuliyyun di dalam memahami teks-teks al qur’an, terlepas dari jenis , varian dan validitas metode yang mereka gunakan. Satu hal yang patut untuk dicatat adalah bahwa metode istinbath itu tidak ada satupun yang patut dianggap paling otoritatif, kredibel dan representatif untuk memahami kandungan makna al qur’an . Sejatinya semua manhaj istinbathiyyah itu keberadaannya saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya.
Adapun al hadis, ia merupakan sumber kedua sesudah al qur’an. Seluruh ulama menyatakan kesepakatan pendapatnya (ijma) terhadap kedudukan al hadis sebagai sumber hukum kedua . Sekalipun tidak bisa dipungkiri sejarah islam masa lalu mencatat adanya sekelompok orang yang meragukan dan bahkan menolak al hadis dijadikan sebagai sumber hukum. Berbagai dalih dan argumentasi mereka paparkan, akan tetapi ulama muhadisin berhasil mempertahankan keaslian hadis karena banyak teks-teks al qur’an yang mendukung dan membenarkan bahwa as sunah adalah sumber kedua setelah al qur’an. Seperti kesaksian ayat-ayat berikut ini:
- وانزلنا اليك الذكر لتبين للناس ما نزل اليهم و لعلهم يتفكرون ( النحل : 44)
- فلا وربك لايؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا فىانفسهم حرج مما قضيت ويسلموا تسليما ( النساء : 65)
- وما اتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا ( الحشر : 7)
- وأطيعوا الله والرسول لعلكم ترحمون ( ال عمران : 132)
- يايها الذين امنوا اطيعوا الله و اطيعوا الرسسول و اولى الامر منكم ( النساء :59)
- يايها الذين امنوا استجيبوالله وللرسول إذا دعاكم لما يحييكم ( الانفال : 34)
- من يطع الرسول فقد أطاع الله ( النساء : 80)
- قل إن كنتم تحبون الله فاتبعونى يحببكم الله ويغفرلكم ذنوبكم ( ال عمران : 31)
- قل اطيعوا الله والرسول فإن تولوا فإن الله لا يحب الكافرين ( ال عمران : 32)
- وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا فضى الله و رسوله أمرا ان يكون لهم الخيرة من أمرهم ومن يعص الله رسوله فقد ضل ضلالا مبينا ( الاحزاب : 36)
Demikian pula secara rasional orang tidak akan bisa mengoptimalkan dan mengoprasionalkan ayat-ayat al qur’an yang disusun dalam bentuk / sighat Am, Mutlaq, mujmal dll. tanpa ada penjelasannya secara rinci tentang bagaimana cara menjalankan ketentuan-ketentuan hukum itu. Dan yang paling otoritatif untuk menjelaskan ayat-ayat seperti tersebut di atas adalah Nabi Muhammad SAW melalui hadis-hadis yang disabdakannya.
Jumhur muhadisin mencatat setidak-tidaknya terdapat tiga fungsi hadis terhadap kandungan makna al qur’an. Adapun ketiga fungsi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Fungsi Bayan al Ta’kid
b. Fungsi Bayan al Tafsir
c. Fungsi Bayan al Tasyri’
Oleh karena itu mustahil umat islam bisa melaksanakan aturan-aturan yang terdapat dalam al qur’an, tanpa menggunakan al sunnah sebagai media untuk memahami arti dan maksud yang dikehendaki oleh al qur’an. Ibaratnya al qur’an adalah UUD yang dalam implementasinya di tengah-tengah kehidupan sosial, ia membutuhkan UU dan PP untuk menjalankan aturan yang terdapat pada UUD tersebut. UU dan PP dapat diidentikkan dengan posisi al sunnah, sehingga ia tidak dapat dipisahkan dari keterkaitannya dengan al qur’an.
Hanya saja semenjak wafatnya Nabi, kaum muslimin menghadapi suatu persoalan yang besar dan berat. Sejak saat itu dapat dinyatakan bahwa wahyu / kalamullah telah terhenti untuk berdialog dengan realitas sosial di sekitarnya. Begitu pula pula as sunnah sebagai juru bicara al qur’an tidak lagi bisa menjelaskan secara rinci , detil dan pasti segala bentuk pertanyaan, keraguan dan kesamaran yang terdapat pada teks-teks al qur’an. Pada saat nabi hidup hampir dapat disimpulkan perbedaan pendapat di antara sahabat relatif sedikit, bahkan jarang terjadi. Karena ada figur nabi sebagai figur ideal, yang cerdas dan yang paling otoritatif di dalam menengahi segala bentuk pertikaian pendapat yang terjadi di kalangan shahabat. Adapun semenjak wafatnya Nabi, seketika itu juga kaum muslimin mulai bersitegang dan mulai muncul bibit friksi atau perbedaan pendapat itu. Contoh atau bukti yang paling nyata untuk mendukung pernyataan itu adalah kasus proses pergantian kepemimpinan dari Nabi SAW ke pengganti Beliau. Para ulama yang menekuni persoalan fiqh siyasah menyebutnya sebagai persoalan Istikhlaf. Di sini terbukti bahwa perbedaan pendapat yang terjadi dalam skala massal dan pertama kali itu , adalah kasus pergantian kekuasaaan. Inilah bibit-bibit awal perbedaan pendapat itu, suatu fenomena sosial yang pada zaman Nabi SAW sulit untuk ditemukan.
Semenjak munculnya perbedaan pendapat tentang pergantian kekuasaan tersebut, maka kuantitas dan kualitas ikhtilaf itu sendiri makin hari semakin berkembang. Sejarah mencatat perbedaan pendapat itu tidak melulu persoalan politik (perebutan kekuasaan), akan tetapi merambah pada wilayah yang lebih besar lagi seperti persoalan hukum dan teologi (kalam) . Keduanya diyakini sebagai penyumbang terbesar bagi terkotak-kotaknya kaum muslimin dalam berbagai aliran pemikiran / mazhab / sekte yang satu dengan yang lainnya secara diametral saling berhadap-hadapan . Hal ini masuk akal mengingat posisi nabi sebagai figur yang paling kredibel dalam menengahi setiap perbedaan pendapat yang muncul di kalangan umat islam, tak tergantikan oleh siapapun di antara umatnya. Sehingga masing-masing orang (ulama/cendekiawan) muslim merasa berhak / memiliki hak yang sama di dalam menafsirkan teks-teks agama menurut keyakinan dan kadar intelektual yang mereka miliki. Akibatnya semakin banyaklah penafsir-penafsir teks keagamaan tanpa diketahui mana sejatinya dari semua pendapat itu yang paling benar dan argumentatif . Oleh karena itu disusunlah kaidah-kaidah / metode yang baku / standard di dalam upaya memahami kandungan / maksud teks-teks al qur’an.
Selanjutnya para pengkaji hukum islam mulai mengkaji dan mempelajari kedua sumber ajaran islam itu dalam berbagai seginya. Umpamanya mereka mulai memberikan penekanan yang serius pada aspek bahasa yang digunakan al qur’an / al hadis dalam menjelaskan hukum-hukum yang akan dibebankan pada manusia (mukallaf). Suatu penggunaan bahasa tertentu, akan dilihat dari segi petunjuk (dalalah)-nya dan qarinahnya menuju pada suatu maksud-maksud tertentu yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh bunyi / redaksi ayat tersebut. Maka dibuatlah standarisasi lughawi yang digunakan untuk memberikan interpretasi yang mendekati kebenaran-setidak-tidaknya dalam pandangan ushuliyyun- mendekati maksud redaksi teks hukum tersebut. Di samping sisi kebahasaannya , ulama juga mengkaji isi / kandungan teks hukum (ayat / hadis) dengan berbagai pendekatan yang lazim digunakan dalam perspektif ilmu-ilmu humaniora . Sehingga pada abad IV hijriyah terciptalah ilmu-lmu yang membantu fuqaha/mujtahid di dalam upaya memahami teks ayat/hadis sebagai sumber hukum ajaran islam. Maka berkembanglah ilmu hadis, ilmu qur’an, ushul fiqh, logika dan lain-lain yang membantu para pengkaji hukum islam untuk menyimpulkan maksud sebenarnya dari pembacaan sebuah teks.
Munculnya ilmu-ilmu tersebut tidak serta merta pemahaman terhadap teks menjadi mudah dan terciptanya suatu interpretasi tunggal. Alih-alih kesatuan pendapat terjadi di kalangan ulama dan fuqaha, justru yang terjadi adalah perbedaan pendapat itu semakin melebar. Hal ini disebabkan ilmu-ilmu yang dijadikan sebagai standarisasi pemahaman teks memiliki derajat keterandalan dan validitas yang beragam di kalangan imam mazhab. Sehingga akibat perbedaan metode yang mereka pegangi dalam memahami kedua sumber hukum itu –dan latar belakang keilmuan tentunya-, maka berakibat pula bagi perbedaan pendapat yang muncul.
Al hadis sebagai salah satu teks hukum, tidak memiliki derajat validitas tunggal di kalangan muhadisin , sebagaimana al qur’an yang punya validitas tunggal di kalangan mufassirin. Hal ini diperparah dengan karakter internal dari matan hadis itu sendiri, yang tidak semua orang punya kemampuan untuk memahmai bahasa / ucapan nabi. Hadis nabi dalam bentuk jawami’ al kalim adalah salah satu contoh kualitas internal yang membuat penafsiran hadis menjadi amat subyektif dan multi tafsir. Sehingga sangat sulit ditemukan adanya kesepakatan ulama di dalam memahami arti suatu lafaz –lebih-lebih kesuluruhan matan- dari teks hukum yang sedari awalnya memang mengandung potensi-potensi ikhtilaf tersebut. Belum lagi koleksi hadis yang dimiliki oleh para mujtahid / mazhab itu sendiri juga berbeda-beda.
Oleh karena itu perlu suatu pemahaman ulang untuk mengais kembali setiap warisan keilmuan (Turats) masa lalu dengan cara merekonstruksi dan mendekonstruksi –jika memang mendesak- bangunan ontologi dan epistemologi hukum islam secara lebih cermat dan bertanggung jawab. Salah satu kata kunci untuk merekat kembali perbedaan pendapat di kalangan imam mazhab itu adalah persoalan di sekitar al hadis. Terdapat banyak kondisi baik internal maupun eksternal yang menyebabkan orang berbeda-beda pendapat karena memegangi hadis sebagai dasar hukum. Ada beberapa alasan bahwa al hadis berperan besar bagi wujudnya suatu iklim yang penuh dengan perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan imam mazhab.
Pertama, adanya persepsi dan pengamalan yang berbeda tentang pemberlakuan hadis sebagai dasar atau sumber ajaran islam. Sebagian besar ummat islam meyakini bahwa al hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al qur’an. Sejarah mencatat bahwa semenjak zaman nabi (w.632 M) sampai zaman ummayah (661-750 M) belum terlihat adanya gerakan untuk menolak as sunnah sebagai hujjah dalam agama. Barulah pada awal masa dinasti Abbasiyyah (750 – 1258 M) muncul secara jelas sekelompok kecil ummat islam yang menolak as sunnah sebagai salah satu sumber hukum islam. Hal ini dapat dipahami berdasarkan uraian yang dipaparkan imam al Syafi’I dalam kitabnya al Umm. Mereka itu oleh imam syafi’I dibagi dalam tiga golongan : Pertama, golongan yang menolak seluruh as sunnah, Kedua, golongan yang menolak as sunnah kecuali bila sunnah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk al qur’an, Ketiga, golongan yang menolak as sunnah yang berstatus hadis ahad, golongan ini hanya menerima sunnah yang berstatus hadis mutawatir.
Adanya tarik menarik antara kelompok yang meyakini hadis dapat dijadikan sebagai dalil dengan kelompok yang menolak hadis sebagai dasar ajaran islam menarik untuk dicermati. Kajian ini nantinya akan melihat latar belakang dan faktor-faktor yang menyebabkan adanya gerakan inkarussunnah muncul ke permukaan . Sekaligus untuk menarik benang merah dari hubungan yang terjadi antara bervariasinya kualitas dan kuantitas hadis dengan kemunculan gerakan inkarusunnah itu sendiri. Fenomena gerakan inkarussunnah sudah barang tentu berimplikasi terhadap pola pemikiran keagamaan bagi penganutnya. Oleh karena golongan ini tidak mempercayai hadis sebagai dasar / sumber hukum (mashadir al tasyri’), maka mereka hanya bertumpu pada nash (teks) al qur’an dan rasio semata di dalam mengistinbatkan hukum baik yang bersifat ta’abudiy maupun amaliy. Pada gilirannya penggunaan rasio itu justru melebihi batas kewenangannya, artinya mereka lebih mengandalkaan penafsiran atas teks daripada bunyi literal teks al qur’an itu sendiri. Sehingga tidak bisa dihindarkan lagi antara 2 kelompok ulama tersebut tidak mudah untuk bersatu pendapat dalam persoalan-persoalan furuiyyah ( fiqhiyyah ) yang al qur’an tidak menjelaskan ketentuan-ketentuan hukumnya.
Alasan berikutnya adalah fakta bahwa hadis yang tersebar dalam berbagai karya para ulama muhadisin memiliki derajat kualitas yang berbeda-beda. Sesungguhnya para mukharrij ketika meriwayatkan, menulis dan meneliti hadis, hasil penelitiannya itu bersifat ijtihadiyah. Dalam artian bahwa tidak dapat dibuktikan secara ilmiyah dan syari’y bahwa apa-apa yang mereka tahrijkan itu benar-benar qaul / peristiwa yang menyangkut diri nabi tanpa ada reduksi dan kekurangan / kesalahan di sana sini baik menyangkut penggunaan bahasanya, lebih-lebih yang berkaitan dengan isi, matan atau materi hadisnya. Kesahihan sebuah hadis bersifat zhan , karena metode verifikasi yang digunakan antara ulama yang satu dengan ulama yang lainnya berbeda-beda. Imam abu Hanifah diriwayatkan hanya mensahihkan tidak lebih dari 20 hadis saja. Sekalipun pendapat ini masyhur di kalangan ahli ushul, akan tetapi menurut as Shiba’iy tuduhan itu tidak beralasan. Perbedaan alat uji kesahihan hadis, jelas berdampak secara signifikan terhadap nilai dan kualitas sebuah hadis. Oleh karena itu memahami seluk beluk perbedaan kualitas dan kuantitas hadis adalah mutlak diperlukan bagi siapapun yang hendak berkutat dengan persoalan-persoalan di sekitar hukum islam. Sebagian mujtahid akan berhujjah dengan hadis yang dalam pandangannya bernilai shahih., sementara mujtahid yang lainnya justru menggunakan hadis yang berbeda, dengan anggapan bahwa hadis tersebut juga shahih. Hal yang demikian ini jelas berakibat pada perbedaan hasil pemikiran hukum yang mereka simpulkan dari dua nash yang berbeda dengan dua metode verifikasi yang berbeda pula. Sebagai contoh dalam kitab shahihnya, al Bukhari menggunakan dua kriteria utama untuk mengukur sebuah hadis dapat dinyatakan sebagai hadis shahih ataukah tidak. Kedua tolok ukur tersebut adalah unsur kesezamanan (Mu’ashir) dan unsur perjumpaan ( Liqa’ ). Artinya suatu hadis baru dapat dinyatakan sebagai hadis shahih, jika ia dapat dibuktikan secara meyakinkan rawi-rawi yang terdapat pada sanad hadisnya benar-benar pernah saling bertemu, ada hubungan guru-murid walaupun hanya sekali. Tidak cukup unsur kesezaman digunakan sebagai indikator bersambungnya sebuah sanad hadis. Hal ini berbeda dengan kriteria hadis shahih yang dipegangi oleh imam muslim, menurut beliau kemuttashilan hadis shahih cukup dengan dugaan kuat, bahwa kesezamanan antar dua perawi , menjadi indikator bahwa hadis tersebut tidak gugur sanadnya.
Memang Al Qur'an dan Hadits merupakan rambu2 buat kita dalam menjalani hidup ini, biar jalan kita tetep selalu dijalan-NYA..