Jurnal Ilmiah

Panduan SOS

Prog. SOS FAI

Prog. SOS FAI
Sistem Informasi Akademik Mahasiswa FAI Berbasis Online

Popular Posts

Followers

CELEBRITY

Tamu-nya FAI

Oleh: Khoirul Asfiyak
Tujuan disyariatkannya hukum Islam adalah demi mewujudkan kebaikan atau kemaslahatan bagi manusia. Hanya saja sebagian manusia tidak menyadarinya atau tidak tahu makna tujuan agung tersebut. Jika selama ini beberapa teks hukum Islam seringkali dikesankan sebagai aturan hukum yang tidak ramah –dan bahkan melecehkan- terhadap nilai-nilai universal Hak Asasi Manusia, ternyata pendapat itu adalah omong kosong belaka. Sejumlah isu yang semula dianggap sebagai stereotype hukum Islam dalam hal penodaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, ketika dikaji lebih lanjut justru merupakan bentuk perlindungan dan pengakuan akan harkat dan martabat manusia.




Abstrak

Kata Kunci : Maslahat, Hak Asasi Manusia, Maqashid al Tasyri

Allah SWT dalam pandangan jumhur Ushuliyyun adalah pemiliki otoritas tunggal untuk membuat syari’at di atas jagad raya ini. Sebagai al Syari’ Allah SWT telah menetapkan berbagai macam ketentuan hukum , baik yang menyangkut hubungan antara manusia dengan Khaliqnya, manusia dengan sesamanya maupun manusia dengan lingkungan di sekitarnya. Ketentuan-ketentuan (syari’at) itu diwujudkan oleh Allah SWT dengan harapan atau tujuan agar manusia bisa hidup secara wajar dalam menjalankan peri kehidupannya selama di muka bumi ini. Di sisi lain hukum Islam memiliki perbedaan yang jelas dengan hukum-hukum dalam agama samawi lainnya, yakni bahwa hukum agama selain Islam dibatasi keberlakuannya dengan kehadiran Nabi sesudahnya, seperti ajaran Musa as, masa berlakunya berakhir ketika munculnya nabi Isa as. Berbeda dengan hal itu, syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Suci Muhammad SAW merupakan syari’at penutup dan abadi sepanjang zaman.
Keabadian hukum Islam itu dalam pandangan Muslehudin dinyatakan sebagai berikut:
“It is divinely ordined system preceding the Islamic state and not preceded by it. Controlling the Islamic society and not controlled by it. State and society bot have ideally to conform to the dictates of Islamic Law.1 Dengan redaksi yang agak berbeda Nasih Ulwan menyatakan bahwa Hukum Islam adalah aturan-aturan yang disusun secara ketuhanan berlaku untuk segala manusia dan secara materiil sifatnya abadi dan orisinil. 2 Sifat keabadian syari’at Islam itu di satu sisi merupakan perwujudan dari hak prerogatif Allah SWT, yang menuntut para hamba-Nya untuk senantiasa menaati segala perintah dan menjauhi segala larangan-laranganNya. Sementara di sisi lain sifat keabadian itu menimbulkan persoalan serius jika dikaitkan dengan kenyataan di lapangan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Sebab bagaimana mungkin aturan-aturan hukum yang sifatnya abadi itu, bisa sejalan seiring dengan perubahan-perubahan (sosial) yang terus-menerus seperti yang terdapat dalam kehidupan di dunia ini. Bukankah hal yang demikian ini akan senantiasa menimbulkan konflik atau pertengkaran doktirnal antara kepentingan (idealisme) Allah SWT dengan keinginan (humanisme ) manusia yang muncul dalam kesadaran hidupnya?
Sebagian orientalis mengkritik keabadian hukum Islam, yang dalam pandangan mereka hukum yang ideal itu haruslah berupa hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Hukum baru dianggap sempurna jika ia mampu mengikuti kehendak-kehendak sosial dan sesuai dengan fakta-fakta sosial yang muncul di tengah kehidupan.3
Secara sosiologis harus diakui bahwa di tengah-tengah kehidupannya, masyarakat senantiasa mengalami perubahan-perubahan . Perubahan-perubahan itu dapat mempengaruhi pola pikir dan tata nilai yang selama ini telah berjalan dan disepakati secara bersama-sama. Semakin maju cara berfikir manusia maka semakin kritis dan selektiflah manusia itu dalam menerima atau menolak suatu keyakinan yang selama ini dianutnya. Oleh karena itu perubahan-perubahan dan perkembangan dalam masyarakat harus dijadikan pertimbangan hukum agar hukum itu betul-betul punya arti dan berfungsi di tengah-tengah masyarakat. Serta mampu merealisasi maqashid al syariat yaitu kemaslahatan ummat yang berupa menggapai manfaat dan menolak mafsadat.4 Terlebih pada saat sekarang ini ketika isu-isu kesetaraan gender dan jaminan perlindungan atas hak-hak asasi manusia (HAM) semakin mengedepan dan menyeruak di tengah hiruk pikuk kehidupan sosial. Bagi umat Islam kenyatan ini adalah tantangan yang harus segera direspon dan dicarikan jalan keluar atau penyelesaiannya atas masalah tersebut. Pengabaian terhadap isu-isu global semacam ini akan memantapkan tuduhan dan pelabelan (stereotype) bahwa hukum Islam tidak mengenal bahkan anti dengan nilai-nilai universalisme HAM dan cenderung pada perlakuan diskriminatif terhadap peran perempuan (Misogini) akan mendapatkan bukti pembenarannya.
Oleh karena itu umat Islam perlu mereaktualisasikan kembali khasanah dan metode berfikirnya dengan cara menyesuaikan pada realitas zaman dengan tidak menafikan hal-hal yang menjadi hak-hak Allah SWT. Reinterpretasi terhadap teks dan konteks nash sekarang ini menjadi satu keharusan untuk mengukuhkan eksistensi hukum Islam dalam tantangan dunia global. Reinterpretasi itu bisa dilakukan dengan salah satu caranya adalah melalui penelaahan kembali tentang tujuan atau maksud ditetapkannya hukum Islam dalam al Qur’an maupun as Sunnah. Ditilik dari sudut akar historisnya umat Islam mengenal khalifah Umar RA sebagai mujtahid yang selalu mempertimbangkan kondisi zaman atau nilai sosial dalam menerapkan hukum, seperti dalam kasus pencurian, beliau menunda pelaksanaan sanksi hukum dengan alasan kondisi paceklik atau kasus pencurian pada baitul mal, yang dalam anggapan beliau pencuri tersebut punya hak atas harta baitul mal tersebut.5 Dengan mengkaji tujuan atau maksud pensyariatan hukum itu, maka umat Islam mendapatkan beberapa keuntungan. Pertama, lebih memperjelas dan menambah keyakinan kita terhadap kebenaran dan kemaslahatan yang dikandung dalam hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah SWT, kedua, menghindarkan umat islam dari melakukan ijtihad yang sembrono yang tidak berdasarkan nilai-nilai ubudiyah dan kemaslahatan yang universal dan ketiga, adalah sebagai jawaban terhadap persoalan-persoalan modern (globalisasi) dengan segala isu-isu yang mendeskriditkan Islam dari berbagai seginya. Bahwa reinterpretasi hukum Islam itu sebenarnya adalah tuntutan dari hukum Islam itu sendiri , yang menyebut dirinya sebagai rahmat bagi sekalian alam di setiap waktu dan tempat, karena hukum Islam memang diciptakan untuk merealisasi kemaslahatan ummat dan untuk menjamin kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat.6 Oleh karenanya berikut ini akan dibahas beberapa persoalan yang berkaitan dengan maqashid al tasyri’ dan hubungannnya dengan isu-isu modern terutama yang menyangkut gerakan kesetaraan gender maupun jaminan perlindungan atas nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).

Istilah tujuan atau maksud disyari’atkannya sebuah hukum dalam tradisi keilmuan hukum Islam dikenal dengan konsep Maqashid al Syari’ah atau Maqashid al Tasyri’. Maqashid adalah bentuk jama’ dari Maqshid, artinya tujuan, kehendak atau rahasia. Dalam artian lafaz ini bisa dimaknai oleh jumhur Ushuliyyun sebagai cara untuk menjelaskan tujuan dan rahasia syariat. Para ulama ushul fiqh sering menggunakan bentuk jama’nya, yaitu Maqashid al Syariat. Dalam rangka menjelaskan tujuan dan rahasia syariat itu, kata maqashid kadang-kadang digabungkan dengan al syariat (syariat) dan kadang-kadang digabungkan dengan al Syari’ (pembuat Syariat) dengan maksud dan pengertian yang sama. Artinya Maqashid al Syari dan Maqashid al Syariat adalah dua istilah yang mempunyai maksud dan pengertian yang sama.7 Dalam pandangan ulama, bahasan utama Maqashid al Syariat itu adalah mengenai masalah hikmah dan ‘Illat ditetapkannya suatu hukum.8 Dengan demikian hikmah dan illat merupakan dasar pijakan bagi perumusan Maqashid Tasyri’.
‘Illat adalah sesuatu yang nyata dan pasti yang dijadikan sebagai dasar hukum dan yang dijadikan hubungan dalam ada atau tidaknya hubungan hukum tersebut. Sementara Hikmah adalah sesuatu yang bersifat kira-kira atau prediktif yang memotifasi pembentukan hukum dan sekaligus sebagai tujuan akhir dari penetapan hukum.9 Dengan demikian ‘illat adalah sesuatu yang dengan mudah dikenali dan difahami dari sebuah perintah atau larangan untuk melakukan suatu tindakan hukum, karena sifatnya yang nyata dan nampak dengan sangat jelas. Sementara hikmah adalah sesuatu yang samar-samar, tidak jelas, tidak bisa dibuktikan, tersembunyi, sekalipun ia adalah maksud sebenarnya dari proses pensyari’atan sebuah hukum. Contohnya kebolehan berbuka bagi musafir, illatnya adalah bepergian (safar) adapun hikmahnya adalah terhindarnya seseorang dari kesulitan-kesulitan (masyaqah) selama dalam perjalanannya. Hanya saja hikmah di sini sifatnya dugaan saja, karena setiap mukallaf berbeda kesanggupannya dalam menjalankan setiap kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan dalam ibadah atau muammalah.10 Contoh lain adalah adanya rambu-rambu lalu lintas, pada saat lampu merah menyala, maka hukum menyatakan bahwa semua kendaraan harus berhenti dan ini adalah illat atau sebab ditetapkannya hukum tersebut. Hikmahnya adalah agar mencegah terjadinya kecelakaan. Peraturan lalu-lintas ini tidak didasarkan pada hikmah, yakni menghindari kecelakaan, sebab apabila didasarkan pada hikmah, orang bebas terus melajukan kendaraannya jika di seberang jalan sana keadaannya sunyi (tidak ada mobil lain) padahal ini adalah dugaan atau kira-kira saja. Karena kita tidak tahu apakah setelah itu keadaan jalanan sepi terus atau mungkin saja tiba-tiba muncul kendaraan lain atau ada penyeberang jalan yang sembrono. Oleh karena itu hukum harus didasarkan pada ‘illat (nyala lampu) dan bukan pada hikmahnya (mencegah kecelakaan).11
Oleh karena itu dalam rangka menjamin kepastian hukum, hukum Islam berpatokan pada hal-hal yang sifatnya pasti, nyata dan dapat dibuktikan, bukan sebaliknya yakni berdasarkan pada hal-hal yang sifatnya praduga dan kira-kira. Dengan demikian semua hukum syara’ didasarkan atas ‘illatnya dan tidak ditetapkan berdasarkan himah-hikmah yang tersembunyi di dalamnya.12 Sehingga jumhur Ushuliyyun membuat suatu qaidah ushul yang berbunyi:
الحكم يدور مع العلة وجودا و عداما

Berbeda dengan as Syatibi beliau beranggapan antara illat dengan hikmah itu sama, keduanya kadang berupa maslahat dan kadangkala berujud mafsadat yang memotifasi Syari’ menetapkan hukum. Oleh karena itu baik hikmah ataupun illat bisa dijadikan dasar penetapan hukum. Dengan mengetahui ‘illat dan hikmah disyariatkannya hukum islam, maka ulama atau mujtahid akan mampu merumuskan tujuan atau maksud yang tersembunyi dari sebuah hukum atau nash. Tujuan hukum ini harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum sekaligus menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara rinci oleh al qur’an dan al hadis. Dengan demikian pengetahuan tentang maqashid al syari’at menjadi kunci bagi keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya. Kesimpulannya bahwa hikmah dengan illat mempunyai hubungan yang erat dalam rangka penetapan hukum. Hikmah merupakan sifat yang zahir tetapi tidak mundhabit, sementara hikmah baru akan menjadi illat setelah dinyatakan mundhabit. Oleh karena itu perlu dicari Mazhinatnya , yakni indikator yang menerangkan bahwa hikmah itu dapat dinyatakan mundhabit.
Abu Zahrah dalam ushul fiqhnya menyatakan bahwa ada tiga tujuan disyariatkanya hukum Islam, yakni :

1). تزكية النفس : penyucian jiwa, maksudnya adalah dengan ditegakkannya hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari, maka diharapkan setiap muslim bisa menjadi sumber kebajikan –bukan sumber keburukan- bagi masyarakat di lingkungannya. Ibadah sholat berjama’ah umpamanya, membawa misi untuk membersihkan jiwa masyarakat baik secara kolektif maupun individual . Adapun ibadah haji dengan amat jelas mengandung suatu implikasi terciptanya ketertiban masyarakat (التنظيم الإجتماعى ), adapun zakat dalam pengertiannya yang lebih dalam mengandung aspek-aspek kesetiakawanan sosial (تعاون الإجتماعى ).
2) إقامة العدالة : sebagai upaya penegakan rasa keadilan dalam masyarakat secara umum, baik menyangkut urusan di antara sesama kaum muslimin maupun dalam berhubungan dengan kelompok non muslim. Firman Allah SWT :
ولا يجرمنكم شنأن قوم على الا تعدلوا اعدلوا هو اقرب للتقوى (المائدة:8)

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu tidak adil, berlaku adillah karena adil itu lebih dekat dengan taqwa”

3) تحقيق المصلحة : yakni mengimplementasikan nilai-nilai kemaslahatan dalam hidup manusia dan ini merupakan tujuan puncak yang hendak dicapai serta harus terdapat dalam setiap hukum Islam. Semua nash senantiasa mengandung nilai-nilai kemaslahatan yang haqiqi walaupun maslahat itu sendiri bagi sebagian orang sulit untuk mengenali dan mengetahuinya.13 Akan tetapi yang jelas bahwa maslahat itu adakalanya berupa sesuatu yang bisa menarik keuntungan atau manfaat dan adakalanya menolak bahaya yang mungkin timbul Dalam kesempatan yang berbeda Abdul Wahhab Khallaf berpendapat bahwa tujuan disyariatkannya hukum Islam, adalah demi tercapainya malahat, Oleh sebab itu ketika terdapat maslahah maka di situlah ada hukum Allah SWT. 14 Senada dengan pendapat Khallaf tersebut, Tiwana mengatakan karena memelihara kebutuhan-kebutuhan yang pasti (dharuri ) dan menghindarkan kesempitan adalah tujuan syariat , maka setiap perbuatan yang dapat memelihara dan mewujudkan tujuan tersebut bisa dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan petunjuk-petunjuk al qur’an.15 Kesimpulannya, bahwa seluruh hukum yang dibebankan kepada manusia senantiasa mengacu pada terwujudnya suatu kemaslahatan, baik ia disadari oleh manusia ataupun tidak. Seluruh ulama sepakat tentang hal ini, hanya saja mereka berselisih tentang eksistensi maslahat, apakah mengikat hukum syara’ ataukah tidak. Dalam artian ketika Allah SWT mensyariatkan sebuah hukum , apakah wajib bagiNya untuk menyertakan di dalam hukum itu sesuatu yang mengandung maslahat? Mengenai hal ini ulama terbagi ke dalam tiga golongan / pendapat:
1) Menurut golongan Asy’ariyah dan Zhahiriyah , Allah SWT dalam mensyariatkan hukum tidak harus mempertimbangkan kandungan maslahatnya buat manusia. Bisa saja Allah SWT menetapkan hukum sekalipun di dalamnya sama sekali tidak mengandung manfaat apapun untuk manusia.
2) Menurut golongan Syafi’iyyah dan sebagian Hanafiyah mereka berpendapat bahwa maslahat patut dan layak menjadi ‘illat hukum akan tetapi fungsinya hanyalah sebagai tanda (‘amarah) bagi hukum, bukan sebagai motivasi yang mengikat Allah SWT untuk menetapkan hukum. Sehingga tidak terjadi pertentangan dengan firman Allah SWT :
لا يسئل عما يفعل و هم يسئلون ( الأنبياء :23)
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya akan tetapi mereka justru yang ditanya”
3) Menurut golongan Mu’tazilah , Maturidiyah, sebagian Hanafi dan Maliki mereka berpendapat bahwa seluruh hukum Islam selalu dita’lil dengan maslahat. Hanya saja maslahatnya terpisah sama sekali dengan iradah Allah SWT dan sepanjang ta’lil itu tidak mengakibatkan gugurnya nash. Maksudnya, jika substansi maslahat tidak ditemukan dalam sebuah nash, bukan berarti hukum itu tidak mengandung maslahat. Letak permasalahan justru menyangkut daya jangkau nalar yang terbatas dalam menangkap pesan atau makna sebuah nash.
Oleh karena itu jika ditarik benang merah dari perbedaan pendapat itu, keseluruhan ulama sepakat bahwa semua nash mengandung maslahat mereka hanya berselisih pendapat tentang motif Allah SWT ketika menetapkan hukum itu. Hal yang demikian ini bukan menjadi obyek kajian ushul fiqh, melainkan masuk dalam kategori perdebatan ilmu kalam.
Kemaslahatan yang menjadi titik sentral (hard core / jauhar) dari pensyariatan hukum itu dalam kajian ushul fiqh terbagi dalam tiga macam / kategori, yakni:
1). Maslahat Mu’tabarah, yaitu satu jenis kemaslahatan yang Allah SWT menyebutnya secara pasti dalam nash hukumnya. Dengan kata lain maslahat yang diakui dan bersumber atau terdapat pada al qur’an atau al hadis. Contohnya adalah pertanyaan Shahabat yang berkenaan dengan haid :
يسئلونك عن المحيض قل هو اذى فائتزلوا النساء
2) Maslahat Mursalah, yaitu maslahat-maslahat yang bersesuaian dengan tujuan-tujuan syariat Islam dan tidak ditopang oleh sumber dalil yang khusus baik bersifat melegitimasi ataupun membatalkan maslahat tersebut. Dalam hal ini ulama Hanafiyah memberikan batasan maslahat yang termasuk jenis ini haruslah berupa maslahat yang berada pada tingkat Dharuriyah / Hajjiyah. Mereka tidak memasukkan maslahat tahsiniyyah. Sementara al Ghazaliy sekalipun hanya mengakui maslahat dharuriyah semata, akan tetapi beliau juga bersikap toleran terhadap kepentingan-kepentingan umum sekaligus memposisikan kepentingan umum itu sebagai menduduki tempat dharurat, sehingga layak dikategorikan sebagai maslahat mursalah. Contohnya adalah kodifikasi al qur’an dalam satu mushaf atau jika pada masa sekarang ini adalah kewajiban bagi orang yang mau menikah agar mendapatkan pengesahan nikahnya harus dicatatkan pada KUA ataupun catatan sipil.
3) Maslahat Mulgha, yakni jenis kemaslahatan yang bertentangan dengan bunyi dhahir nash al qur’an atau al hadis, akan tetapi sebagian manusia meyakininya sebagai suatu bentuk maslahat atas pertimbangan situasi dan kondisi tertentu. Umpamanya legalisasi Euthanasia di dunia Barat, donor atau pemanfaatan anggauta tubuh si mayat / jenazah, Bank sperma dan lain-lain.
Adapun maslahat mu’tabarah (yang menjadi fokus bahasan makalah ini ) terdiri atas lima unsur pokok dan sangat berkait erat dengan dasar-dasar kehidupan manusia di muka bumi ini. Kelima unsur itu ( al Kulliyah al Khamsy ) adalah kemaslahatan dalam hal pemeliharaan agama, jiwa, aqal, keturunan dan harta.Terabaikannya salah satu dari kelima jenis maslahat tersebut menyebabkan manusia mengalami kesulitan-kesulitan, ketidakseimbangan dan bahkan bisa mengancam jiwanya.
Menurut as Syathibi, penetapan kelima unsur pokok tersebut di atas didasarkan atas dalil-dalil al qur’an dan al hadis. Dalil-dalil tersebut berfungsi sebagai al qawaid al kulliyah dalam menetapkan al kulliyah al khams tersebut. Ayat-ayat yang dijadikan dasar perumusan pada umumnya adalah ayat-ayat makkiyah yang tidak dinasakh dan ayat-ayat madaniyah yang mengukuhkan ayat-ayat makkiyah. Di antara ayat-ayat itu adalah yang berhubungan dengan kewajiban sholat, larangan membunuh jiwa tanpa haq, larangan meminum khamr, larangan berzina dan larangan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar.16 Oleh karena dalil-dalilnya berupa nash-nash yang qath’iy maka al kulliyah al khamsy tersebut dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang qath’iy pula (Syathibiy, Tt:34) Maksud al Syathibi dengan istilah qath’iy di sini adalah bahwa al kulliyah al khamsy dari segi dasar hukumnya dapat di pertanggungjawabkan dan oleh karena itu ia dapat dijadikan sebagai dasar penetapan hukum.17
Al Kulliyah al Khamsy tersebut dapat dirinci lagi ke dalam tiga peringkat. Pertama, Dharuriyah, yakni upaya memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat essensial dari kehidupan manusia. Tidak terpenuhinya atau tidak terpeliharanya kebutuhan-kebutuhan itu akan berakibat terancamnya eksistensi kelima kulliyah tersebut. Kedua, Hajjiyah, yakni pemeliharaan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang tak bersifat essensial, melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak terpeliharanya jenis kebutuhan ini tidak mengancam eksistensi kelima maslahat tersebut, akan tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan / kesempitan bagi mukallaf. Ketiga, Tahsiniyyah, yakni jenis kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan Tuhannya sesuai dengan kepatutan.18
Pengelompokan ketiga maslahat ini didasarkan pada tingkat kebutuhan dan skala prioritasnya. Urutan peringkat ini akan nampak urgensinya manakala kemaslahatan yang ada pada masing-masing peringkat satu sama lain bertentangan. Dalam hal ini peringkat dharuriyah menempati urutan pertama, disusul oleh Hajjiyah dan terakhir adalah tahsiniyyah.

 Dalam rangka melihat hubungan antara maqashid al syariat dengan beberapa metode penetapan hukum, berikut akan dikemukakan beberapa aspek-aspek maslahat yang terdapat pada Qiyas, Istihsan, al Maslahat al Mursalah, dan Saddu al Zari’at.
1. Qiyas.
Dalam kajian ushul fiqh qiyas biasanya dirumuskan sebagai kiat / metode untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak terdapat dalam nah dengan cara menyamakannya dengan kasus yang terdapat dalam nash, disebabkan adanya persamaan illat hukum.19 Berdasarkan rumusan ini maka dalam menggunakan metode qiyas, paling tidak ada empat unsur yang harus ada, yakni ‘ashl, far’u, hukmu al ashl, dan illat. Dari keempat unsur itu, unsur yang disebut terakhir , illat sangat penting dan sangat menentukan. Ada atau tidak adanya hukum dalam kasus baru sangat tergantung pada ada atau tidak adanya illat pada kasus tersebut.
Bahwa penemuan hukum sangat bergantung pada illatnya, baik itu yang terdapat pada qiyas maupun yang menyangkut persoalan maqashid al Syari’at-nya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang erat antara qiyas dengan Maqashid al Syariat sekaligus bahwa maslahat yang menjadi tujuan utama di syariatkan hukum Islam, merupakan faktor penentu dalam menatapkan hukum melalui jalur qiyas. Artinya kedua-duanya menggunakan illat dalam menentukan ada atau tidaknya hukum yang akan ditetapkan.

2. Istihsan.
Secara umum istihsan dapat diartikan sebagai upaya untuk mentawaqqufkan prisnip-prinsip umum dalam satu nash disebabkan adanya nash lain yang menghendaki demikian. Sedangkan secara khusus istihsan diartikan berpalingnya mujtahid dari qiyas jali kepada qiyas khafi. Dalam hal ini meskipun qiyas jali itu illatnya dapat diketahui dengan jelas, namun pengaruhnya kurang efektif. Sebaliknya pengaruh itu akan lebih kuat pada qiyas khafi, meskipun tidak begitu tampak. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa istihsan adalah upaya untuk mencari jiwa hukum berdasarkan pada kaidah-kaidah umum (al qawaidul al kulliyah). Metode ini erat kaitannya dengan maqashid al syari’at. Istilah yang disebut terakhir ini juga bertujuan untuk menelusuri tujuan disyariatkan hukum, dalam bentuk mengidentifikasi maslahat.

3. al Maslahat al Mursalah
Secara umum ulama Ushuliyyun sepakat bahwa maslahat mursalah boleh dijadikan sebagai sumber hukum manakala al qur’an ataupun al hadis tidak menjelaskan status hukum sebuah obyek perbuatan. Kalaupun terjadi ikhtilaf di antara mereka nampak sekali bahwa perbedaan itu hanyalah dari segi penggunaan istilah, sementara terhadap substansi maslahat mursalahnya mereka sebenarnya ittifaq akan kehujjahannya. Perbedaan kecil terdapat pada syarat-syarat kehujjahan maslahat mursalah agar bisa dijadikan sebagai dasar hukum. Imam Malik mensyaratkan bahwa maslahat tersebut harus rasional (Ma’qul al Ma’na) dan relevan (Munasib) dengan kasus hukum yang ditetapkan. Kedua, maslahat itu harus bertujuan memelihara sesuatu yang dharuri dan menghilangkan kesulitan, ketiga, maslahat haruslah bersesuaian dengan maksud disyariatkannya hukum (Maqashid al Tasyri’) dan tidak bertentangan dengan nash yang dalalahnya qath’iy.20
Sementara Imam al Ghazaliy mensyaratkan berlakunya maslahat mursalah itu dengan tiga hal, pertama, maslahat itu harus masuk kategori peringkat Dharuriyat , kedua, maslahat itu bersifat Qath’iy dalam artian maslahat itu bukan didasarkan atas dugaan (zhan) semata, ketiga, maslahat itu bersifat Kulliy artinya maslahat itu bisa diterapkan atau meliputi seluruh kemaslahatan orang banyak / umum.21
Baik persyaratan yang dikemukakan oleh Imam Malik ataupun Imam al Ghazaliy keduanya sangat berkait erat dengan Maqashid al Syari’at. Ungkapan Imam Malik bahwa maslahat itu harus sesuai dengan tujuan disyariatkan hukum demikian pula al Ghazaliy yang menyatakan bahwa maslahat itu harus bertujuan untuk memelihara kepentingan yang sifatnya Dharuriyah mengindikasikan hubungan yang jelas dengan Maqashid al Syari’at.

4. Saddu al Zari’at
Saddu al Zari’at diartikan sebagai suatu upaya mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap suatu kasus hukum yang pada dasarnya hukumnya boleh (mubah) untuk dilakukan. Hanya saja larangan itu dimaksudkan agar orang terhindar dari perbuatan atau tindakan lain yang dilarang / haram. Dengan demikian Saddu al Zari’at ini sifatnya mencegah (usaha preventif) agar orang tidak jatuh dalam suatu perbuatan yang mafsadat dan dilarang oleh Allah SWT. Dengan demikian amat jelas bahwa Saddu al Zari’at ini bertujuan untuk menarik manfaat dan menjauhkan seseorang dari mafsadat yang bakal timbul jika perbuatan itu dilakukan. Padahal memelihara masalahat dan menolak mafsadah adalah tujuan utama pensyariatan hukum Islam, berarti ada hubungan positif antara kedua istilah tersebut.
Kajian Islam di dunia Barat cenderung mencitrakan hukum Islam secara negatif sebagai aturan hukum yang tak mengakomodasi kepentingan naluriyah manusia. Peneliti-peneliti Barat setelah mempelajari Hukum Islam berkesimpulan bahwa sebagian besar hukum Islam tidak mengakui, melecehkan bahkan terkesan mencabut hak-hak asasi yang seharusnya melekat dan terdapat pada diri manusia. Kesan ini muncul barangkali karena ketidaktahuan mereka tentang karakter hukum Islam atau salah dalam menilai atau memang menyengaja memberi kesan negatif sebagai wujud kebencian mereka terhadap Islam. Ada beberapa isu sosial yang mereka anggap sebagai bukti pembenar bahwa hukum Islam tidak aspiratif terhadap pengakuan hak asasi manusia (HAM) antara lain:

1. Praktik Poligami
Peneliti Barat (Orientalis) memandang konsep ajaran poligami dalam al qur’an merupakan manifestasi pelecehan normatif Islam terhadap harkat dan martabat wanita. Mereka beranggapan poligami hanyalah media / saluran bagi lelaki muslim untuk melampiaskan keserakahan nafsu seksualnya dengan cara menikahi beberapa wanita yang menarik perhatiannya. Selain itu poligami berarti mengidentikkan perempuan sebagai benda yang bisa dikoleksi untuk memenuhi hasrat kesenangan lelaki muslim tersebut. Barat –dalam pandangan kaum orientalis– sangat mengagung-agungkan kesetiaan dengan satu pasangan, sekaligus hal itu berarti penghargaan peradaban mereka terhadap kehormatan wanita. Sementara syari’at Islam dengan konsep poligaminya justru merendahkan derajat wanita yang seharusnya tak layak lagi untuk dilegalisasi dalam dunia modern sekarang ini. Oleh karena itu akhir-akhir ini ada kecenderungan beberapa negara Islam ataupun bukan negara Islam, mulai membatasi dan bahkan melarang praktik pernikahan poligami. Dan yang lebih tragis lagi pelaku poligami bisa dikenai tuntutan sebagai pelaku tindak pidana.22
Menjawab tuduhan dan fenomena semacam ini,Yusuf Qardlawiy menanggapi bahwa syari’at Islam tidak mungkin mengharamkan sesuatu jika sesuatu itu mendatangkan manfaat dan menghalalkan sesuatu perbuatan jika ternyata justru akan mendatangkan bahaya atau madlarat. Oleh karenanya dihalalkannya poligami pastilah ada manfaat yang dikehendaki oleh Syari’.23
Sementara itu ulama mufasir, Ali al Shabuniy mengatakan poligami yang pernah dipraktekkan oleh Nabi SAW bukanlah karena dorongan hawa nafsu akan tetapi ada tujuan-tujuan tertentu yang tersembunyi di balik itu. Menurut beliau ada 4 tujuan praktik poligami yang dijalankan oleh beliau itu, yakni adanya Hikmah Ta’limiyah, Hikmah Tasyri’iyyah, Hikmah Ijtima’iyyah dan Hikmah Siyasiyah.
a. Hikmah Ta’limiyyah
Tujuan poligami Nabi adalah untuk mengajari para wanita / istri beliau tentang fiqh al nisa’. Sebab seringkali Nabi SAW ditanya tentang perihal fiqh al Nisa’ , hanya saja karena ahlaq beliau yang luhur dan sifat pemalunya, beliau menjawab dengan bahasa kinayah/majaz, yang itu tidak segera bisa difahami oleh wanita yang bertanya. Oleh karena itu dengan adanya istri-istri Nabi SAW itu diharapkan ummul mu’minin bisa menjadi penyambung lidah / penjelas maksud Nabi SAW dalam menjawab persoalan-persoalan di sekitar fiqh al Nisa’. Terhadap fakta ini orang bisa mengajukan kritik, kalau hanya untuk mengajari persoalan di sekitar hukum kewanitaan, mengapa Nabi SAW harus berpoligami ? Bukankah dengan satu istri beliau bisa mengajari tentang banyak hal sejauh yang menyangkut fiqhun nisa’ dan lantas istri beliau itu bisa menyebarkan dan mengajari wanita lain tentang apa-apa yang didapatnya dari Nabi SAW. Dalam hal ini Ali al Shabuniy menjawab bahwa tidak setiap wanita bisa atau mampu menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan sisi kewanitaannya. Dan kebetulan di antara istri Nabi SAW yang paling paham dan terbuka dengan persoalan fiqh adalah Ummul Mu’minin ‘Aisyah.
b. Hikmah Tasyri’iyyah
Yang kedua tujuan poligami Nabi adalah untuk menjelaskan syari’at Islam yang mungkin bertentangan (sekaligus membatalkan) dengan hukum adat kebiasaan orang-orang jahiliyyah. Contohnya adalah kasus pernikahan Beliau dengan Zainab bin Jahsyi al Asdiyah
c. Hikmah Ijtima’iyyah
Yang ketiga tujuannya untuk membentuk ikatan solidaritas sosial-keagamaan yang kuat antara Nabi dengan shahabat-shahabatnya . Dengan adanya hubungan kekeluargaan (kesemendaan) di antara Nabi SAW dengan shahabat-shahabatnya yang mulia itu akan terjalin hubungan persatuan, persaudaraan yang kuat dalam rangka memajukan Islam di tanah Arab.
d. Hikmah Siyasiyah
Yang keempat tujuannya adalah untuk meluluhkan atau melembutkan hati sekaligus menyatukan setiap qabilah – qabilah atau suku di sekitarnya yang saling berperang agar terjalin aliansi politik yang kuat dalam mempertahankan kesatuan dan ketentraman wilayahnya. 24

2. Masalah Warisan
Para orientalis berpendapat bahwa konsep waris Islam yang memberi bagian laki-laki lebih besar daripada bagian perempuan jelas-jelas adalah keberpihakan Islam terhadap satu jenis kelamin tertentu sekaligus dengan demikian merendahkan pada jenis kelamin tertentu lainnya. Alasan bahwa konsep 2:1 karena wanita punya peran sosial yang terbatas, terbelakang, hanya disibukkan dengan persoalan rumah tangga (ranah domestik) dan mendapat mahar pada waktu akad nikahnya, adalah argumentasi yang tidak rasional. Persoalannya kini beberapa wanita sudah bisa mandiri, bekerja di luar rumah dan sudah mampu merambah seluruh bidang keahlian yang dulunya hanya bisa dinikmati dan dikuasai oleh kaum pria.25 Oleh karena itu hukum Islam yang memberikan bagian waris wanita ½ dari laki-laki adalah konsep yang tidak adil. Bahkan beberapa pemimpin Islam di Arab –Afrika seperti mantan presiden Tunisia Habib Bourgoiba mengaku telah ber”ijtihad” dengan menyamaratakan bagian waris wanita dengan laki-laki sekaligus menyerukan kepada ulama-ulama lainnya untuk memikirkan dan berijtihad sebagaimana dirinya.26
Seruan ini mendapatkan tanggapan balik dari beberapa ulama di antaranya Yusuf Qardlawiy yang menyatakan bahwa pendapat seperti ini memiliki 3 kesalahan. Pertama, ide pemikiran ijtihad ini muncul bukan dari ahlinya yakni mujtahid. Bourgoiba adalah politikus atau negarawan dan bukannya mujtahid sehingga kajiannya tentang hukum islam “cacat hukum” Kedua, Ijtihad dalam obyek hukum ditujukan terhadap dalil-dalil yang dalalahnya zhanniy, sementara ayat tentang waris dalalahnya qath’iy sehingga tidak ada ruang ijtihad di sini. Ketiga, ‘Illat yang digunakan tak kuat karena tidak semua wanita memiliki peluang, kesempatan dan keahlian dalam dunia sosial. Perlu juga dicatat bahwa hukum kewarisan Islam tidak didasarkan pada faktor keterbatasan kemanusiaan wanita, akan tetapi didasarkan pada sifat dasar naluri kewanitaannya.27 Berdasarkan dalalah yang qath’iy wanita diciptakan memiliki fitrah untuk berlindung dan merasakan kedamaian bersama perlindungan yang diberikan suami. Hal ini berdasarkan al Qur’an surat an Nisa: 34 dan al Baqarah : 228:
ولهن مثل الذى عليهن بالمعروف و للرجال عليهن درجة الرجال قوامون على النساء
Sementara ulama lain mengatakan bahwa yang terjadi justru sebaliknya, hukum yang yang menentukan bagian waris wanita itu, merupakan bukti pengakuan hukum Islam atas martabat wanita. Sebab pada mulanya wanita adalah semacam “benda” yang dapat diwarisi oleh ahli waris yang ada. Seperti yang direkam oleh ayat berikut ini :
يأ يها الذين امنوا لايحل لكم أن ترثوا النساء كرها
Dalam adat jahiliyah jika seorang ayah meninggal maka anak laki-laki sulungnya dapat mewarisi janda-janda ayahnya (selain ibu kandung). Ia bebas menentukan untuk mengawininya atau mengawinkannya dengan orang lain yang maharnya menjadi milik lelaki tersebut atau membiarkannya dan melarangnya untuk kawin lagi.28

3. Perbudakan
Kritik orientalis juga sangat gencar menyoroti lembaga perbudakan dalam Islam. Mereka berdalih bahwa Islam melegalisasi perbudakan terbukti beberapa ayat atau hadis “mengatur” tentang adanya hukum perbudakan itu. Sebagai doktrin teologi (tauhid) seharusnya ia tidak bicara masalah eksploitasi manusia atas manusia lainya . Konsep perbudakan dalam al qur’an atau al hadis semakin mengukuhkan bahwa Hukum Islam penuh dengan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM)
Pemikiran semacam ini tentunya lahir bukan dari gagasan rasional yang teliti dan pasti diliputi dengan prasangka buruk yang jahat dari pelakunya. Islam adalah rahmatan lil ‘alamin adapun lembaga “perbudakan” adalah warisan lama peradaban sebelum Islam. Islam mengatur lembaga perbudakan semata-mata untuk menghapus praktik yang keji itu secara berangsur-angsur tanpa manusia merasa berat hati meninggalkan kebiasaan tersebut. Orang tak akan menemukan satu ayatpun yang menyeru kepada manusia untuk sebanyak mungkin mengumpulkan budak atau bahwa Islam sangat memulyakan kaum muslimin yang memiliki budak-budak. Justru sebaliknya ayat-ayat ahkam yang berbicara tentang perbudakan menghapus sedikit demi sedikit lembaga perbudakan yang kala itu merupakan “kebiasaan yang wajar” di seluruh jagad raya. Ketika abad 6 masehi Islam menyatakan “perang dingin” dengan lembaga perbudakan justru pada abad 15-17 masehi Barat sedang mengalami dan menikmati “masa keemasan” perbudakan. Oleh karena itu peradaban manakah yang lebih jahat dan lebih kejam dalam kasus ini ?

4. Persaksian.
Sebagian orang mengkritik Islam sembari menuduh bahwa Islam menomorduakan / mensubordinasikan posisi wanita dalam bidang peradilan khususnya dalam hal persaksisan. Adapun ayat yang dijadikan dasar argumentasinya adalah ayat berikut:
واستشهدوا شهيدين من رجالكم فإن لم يكونا رجلين فرجل وامراتان ممن ترضون من الشهداء أن تضل إحداهما فتذكر إحداهما الأخرى ( البقرة : 282)
Ata dasar ayat ini hukum Islam dipandang memarjinalkan posisi wanita karena membandingkan persaksian satu lelaki dengan dua orang peempuan. Sehingga muncul kesan adanya diskriminasi peran/kapasitas perempuan dalam dunia sosial (peradilan)
Padahal pengertian yang dikehendaki oleh ayat tersebut adalah bahwa perbedaan jumlah saksi itu bukan dikaitkan dengan posisi mereka dihadapan hukum atau pengadilan, akan tetapi semata-mata melihat posisi wanita sebagai petunjuk/qarinah yang berdaya bukti kuat terhadap persengketaan suatu hak tertentu (الإرشاد إلى طرق الإستيثاق على الحقوق ). Hal ini adalah wajar mengingat secara naluri wanita tidak disibukkan dengan perkara-perkara perdata/pidana sebagaimana lelaki, sekalipun dalam kenyataan ada memang wanita-wanita yang bergerak di berbagai bidang kehidupan. Akan tetapi jumlahnya hanya sedikit. Oleh karena itu yang paling berkompeten dan terlibat secara langsung dalam kegiatan muammalah itu adalah laki-laki, sehingga sangat wajar jika dalam persaksian Islam memperlakukan laki-laki lebih istimewa dibanding wanita. Ungkapan ayat tersebut di atas menyiratkan suatu pemahaman bahwa persaksian satu lelaki sebanding dengan 2 orang perempuan itu sesungguhnya tidak didasarkan pada kedlaifan aqal atau potensi basyariyahnya sebagai wanita. Sehingga jika suatu persidangan tidak ditemukan saksi lelaki yang ada hanya perempuan, bukan berarti hakim dilarang mengadili perkara itu. Sebab sebagaimana yang ditahqiq oleh Ibnul Qayyim al Jauziyah bahwa bukti ( al Bayyinah ) lebih penting (Arjah) daripada persaksian (as Syahadah ) 29

5. Pemberlakuan hukum Qishos
Dalam pandangan Barat hukuman qishas adalah manifestasi hukum rimba versi Islam. Sebab sebuah kejahatan bisa dibalas dengan tindak kejahatan lainnya yang serupa. Rentetan sanksi hukum berupa pelanggaran pidana yang setimpal itu, bisa mewujudkan suatu kebiasaan hukum balas dendam. Dengan demikian masyarakat tak pernah mengalami ketertiban dan kedamaian dalam hidupnya , karena senantiasa dihantui hukum balas dendam yang tak berkesudahan. Setiap ‘Aqilah merasa punya hak dan kewajiban untuk membalas kejahatan yang dilakukan oleh orang lain terhadap keluarganya. Ini akan terus berlangsung seperti lingkaran syaitan.
Sesungguhnya hukum qishas tidaklah sekejam seperti yang dibayangkan orang selama ini. Jika ada sekelompok orang yang mengkritik hukum qishas / hukuman mati, lantaran sedikitnya pengetahuan mereka dalam hal ini. Tujuan di syariatkannya hukum qishas adalah untuk memelihara “jiwa-jiwa” lainnya yang mungkin terancam dengan ringannya sanksi yang diterapkan manusia. Selain itu qishas adalah tindakan preventif untuk melemahkan hati manusia agar tak gampang membunuh nyawa orang tanpa haq. Di sisi lain qishas adalah “obat penawar” , yang manusia tidak bisa menggantinya dengan bentuk sanksi lain. Karena itu adalah fitrah manusia akibat kehilangan keluarga yang dicintai. Kejahatan terhadap 1 nyawa, sama saja dengan mengancam nyawa manusia secara keseluruhan. Sehingga hukum Islam harus bertindak tegas mencegah, memelihara dan melindungi nyawa manusia dari segala ancaman yang ditujukan padanya.
Dan masih banyak lagi “isu-isu kontroversial” pelanggaran HAM oleh Hukum Islam dalam pandangan orang Barat. Seperti akses wanita dalam dunia politik (larangan jadi presiden, Gubernur atau Hakim). Keseluruhan tuduhan-tuduhan itu jelas lahir dari sikap kebodohan dan kebencian yang dibungkus lewat metode ilmiah untuk menjatuhkan wibawa hukum Islam di tengah-tengah masyarakat muslim.
Sesungguhnya Islam membagi hak-hak asasi manusia itu sesuai dengan qudrat dan fitrah manusia. Adanya perbedaan hukum , keistimewaan dan perannya dalam kehidupan sosial semata-mata mengacu pada kondisi alami manusia. Oleh karena itu Islam mengenal istilah hak-hak politik (al Huquq al Siyasiyah) yang hak-hak itu dimiliki oleh individu-individu tertentu karena adanya kemampuan/karakter/kondisi tertentu yang menyebabkan ia mendapatkan hak tersebut. Dan ada pula hak-hak perdata (Huquq al Madaniyah) yakni hak-hak yang terdapat pada keseluruhan manusia dengan tanpa memandang jenis kelaminnya, agama, dan kondisi-kondisi tertentu yang ada. Seperti hak untuk hidup , perlindungan keamanan , kemerdekaan berpendapat, berorganisasi dan lain-lain.30
Barat mengklaim bahwa konsep HAM dilahirkan oleh peradaban mereka sehingga dengan berbagai daya upaya (sebagai wujud hegemoni politik dan ekonomi Barat atas negara berkembang) mereka memaksakan berlakunya nilai-nilai HAM yang mereka yakini itu untuk dipraktekkan pula di negara- negara lain (termasuk pada pemerintahan muslim) yang sejatinya konsep dan implementasinya sudah sejak berabad-abad yang lampau telah berlangsung di tengah-tengah masyarakat muslim. Bahkan Islam memberikan perlindungan HAM terhadap seluruh warga negara baik muslim maupun non muslim.
Hak asasi dalam Islam mengandung 2 hal : pertama, di dalamnya kadang berupa kemaslahatan umum atau kedua, kebaikan yang bersifat univesal. HAM yang ditetapkan oleh PBB tgl 10 Desember 1948 yang mengakui adanya hak hidup, persamaan (Equality) , hak milik, kebebasan (Freedom), bekerja dan memperoleh pendidikan dalam Islam tidak perlu untuk dibahas. Alasannya persoalan ini merupakan sesuatu yang nampak jelas secara inheren melekat atau terkandung dalam nash-nash syar’iy. Lebih lanjut an Nawawiy mengatakan karakter HAM dalam Islam itu meliputi, pertama, HAM dalam Islam menuju kepada syariat samawi yang suci dari kepicikan aqal dan dorongan hawa nafsu. Kedua, HAM dalam Islam bukan bersumberkan dari hadiah, pemberian atau pengakuan dan pewarisan dari negara-negara tertentu, akan tetapi ia adalah bagian dari sistem keagamaan yang bersifat universal. Ketiga, HAM dalam Islam tidak hanya memandang manusia itu dari peran-peran politiknya, akan tetapi hampir keseluruhan aspek kemanusiaan manusia diperhatikan dan dilindungi oleh Islam.31
Konsep HAM di Barat jelas berbeda dengan yang terdapat dalam syariat islam. HAM di Barat cenderung di dasarkan pada filsafat Liberalisme-Materialistik yakni suatu faham filsafat yang menjadikan kebebasan mutlak manusia sebagai manusia, sehingga setiap manusia bebas berbuat apa saja sepanjang tidak bertindak negatif atau merugikan orang lain. Kebebasan absolut yang hanya mengejar kesenangan individual dan kolektif yang tak ada hukum / norma apapun yang bisa menghalangi atau mencabut kebebasan atau kesenangan individu/ kelompok dalam berekspresi dan bertindak.
Hal yang sangat berbeda dengan tujuan pensyariatan hukum Islam itu sendiri. Hukum Islam ditegakkan dengan tujuan agar masyarakat muslim memperoleh manfaat dari segala amal perbuatan yang dilakukannya. Kesenangan, manfaat dan kebebasan yang ada dalam masyarakat Islam dibatasi dengan bentuk tanggungjawab terhadap Allah SWT. Dengan kata lain kebebasan dan penghormatan akan eksistensi kemanusiaannya adalah atas pengakuan dan pemberian dari Sang Maha Pencipta. Oleh karena itu prinsip-prinsip HAM dalam Islam berdimensi dua. Pertama, bahwa nilai-nilai HAM dalam Islam memiliki watak religius / normatif (bandingkan dengan Barat yang Liberalis – Meterialistik) kedua, nilai-nilai HAM yang sejatinya merupakan implikasi dari Maqashid al Syariah itu berlaku secara universal dan abadi karena didasarkan atas perintah Allah SWT.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan dan pengamalan syariat Islam bertujuan untuk menciptakan atau merealisir kemaslahatan bagi manusia. Sekaligus dengan demikian berarti bahwa Islam hendak menghilangkan madlarat yang hendak menimpa manusia jika syariat itu tidak dilaksanakan. Adanya jaminan kemaslahatan bagi manusia selama hidupnya di dunia ini mengindikasikan terjaminnya HAM baik secara langsung maupun tidak langsung baik disadari maupun tidak disadari oleh manusia itu sendiri.

0 komentar

Post a Comment

Terimakasih atas komentar dan kunjungannya, salam manis buat sobat semua

Download MK

MSI

Translator



English French German Spain Dutch Arabic

Recent Post

DAFTAR ISI BLOG

1.Blog Sejenis
2.Line Website UNISMA
3.Jam’ul Qur’an
4.Hadis Pra Modifikasi
5.Kampus Pusat Budaya
6.Qawaidul Fiqhiyyah
7.Sarjana Pengangguran
8.Penyimpangan dalam Penafsiran al Qur’an
9.Implementasi Ilmu Islam dalam Peguruan Tinggi Islam
10.Pemikiran Ibn Miskawaih Dlm Pendidikan
11.Otentisitas Hadis versi Orientalis
12.Maqashid al Tasyri’
13.Sejarah Peradilan Islam
14.Mengais Kembali Konsep Turats
15.Sufi Martir Ain Qudhat
16.Tema Pokok al Qur’an
17.Metodologi Penelitian
18.Nilai Maslahat dan HAM dalam Maqashid al Tasyri’
19.Pembaharuan Kurikulum Dasar Menengah
20.Pemikiran al Mawardi
21.Tasawwuf al Falsafi
22.Profil Dosen FAI UNISMA
23.Download Bahan Kuliah
24.Ikhtilaf al Hadis Part. I
25.Ikhtilaf al Hadis Part. II
26.Filsafat Ibn Rusyd
27.Inkar as Sunnah I
28.IInkar as Sunnah Part. II
29.Beasiswa Kuliah Gratis
30.Download MAteri Perkuliahan
31.Uji Timbang Blog
32.Award Pertama Buat FAI
33.Hakikat Manusia : Sebuah Renungan
34.Award oh Award
35.Pengumuman Mengikuti Beasiswa
36. Blog-ku Istana-ku
37.Kuliah Umum di FAI Unisma
38. Info LAnjutan Beasiswa
39. Dukungan Untuk Sang Guru
40. Zikir Akbar di Unisma
41.Ujian Seleksi Kuliah Beasiswa
42. Habil dan Qabil di Era Global
43. Suasana Ujian Seleksi Beasiswa
44. Mengapa aku harus memilih?
45.Pengumuman Hasil Ujian
46. award Dari Sobat Blogger
47. Psikotest Mahasiwa Beasiswa
48. Award Maning
49.Award Blogging 4 Earth
50. Pengumuman Hasil Ujian
51.Award Motivasi & Perilaku
52. Sistem Pembekalan Akademik
53. Award Tiad aPernah Berakhir
54. Light Up The Noght
55.Cap Jempol Darah
56.Awardmu-Awardku-AwardKita
57.Anti Mati Gaya Open Minded
58.Award Is Never Die
59.KEM tingkat Nasional
60.Pengumuman Kuliah Umum
61.Virus Malas Ngeblog
62.Pengumuman Hasil Seleksi Ujian
63. Prote Hasil Pilpres
64. Ramadhan Itu Datang Lagi
65.Orientasi Pendidikan MABA UNISMA
66.Download PPT HAM dan Gender
67.Gus Dur:Sang Guru Bangsa
68.Gerakan Fundamentalisme Islam
69.Download E-Book
70.FAI UNISMA
71.Umar Ibn al Khaththab
72.Beasiswa Kuliah Prodi PGMI
73.Ikhtilaf al Hadis Part. II
74.Gelar Doa sivitas FAI UNISMA
75.Pengumuman Pelaksanaan Tes Ujian Prodi PGMI
76.Pengumuman Hasil Tes Ujian Prodi PGMI
77.Beasiswa S2 Prodi Hukum Islam PPS UNISMA
78.Selamat Jalan Akhi
79.Pesta Demokrasi
80.Ordik MABA UNISMA
81.Islam Rahmat Lil Alamin
82.Beasiswa Bagi Guru PAI di Kemendiknas
83.Hasil Akreditasi PGMI
84.Rekonstruksi Kurikulum FAI UNISMA
85.Beasiswa Perkuliahan Prodi PAI
86. Ketentuan Lomba Lustrum
87. Pengumuman Hasil Psikotes
88. Beasiswa Untuk Guru PAI
89. Islam dan Ilmu Pengetahuan
90. Pengumuman Kelulusan Penerima Beasiswa
91. Pengumuman Hasil Seleksi Ujian Tulis
92. Maqamat dan Ahwal al Sufiyah
93. Ikhtilah Ulama