Jurnal Ilmiah

Panduan SOS

Prog. SOS FAI

Prog. SOS FAI
Sistem Informasi Akademik Mahasiswa FAI Berbasis Online

Popular Posts

Followers

CELEBRITY

Tamu-nya FAI



Oleh : Khoirul Asfiyak


Sekalipun tanpa pernah bisa dibuktikan apakah antara kedua perawi itu pernah saling bertemu, dan saling meriwayatkan. Berdasarkan pernyataan ini, maka jumhur muuhadisin lebih mengunggulkan al Bukhari daripada imam Muslim ketika terjadi ta’arudl antara dua mukharrij tersebut dalam hadis-hadis shahih yang mereka riwayatkan. Dengan demikian semakin jelaslah bahwa kesahihan sebuah hadis belum tentu dianggap sahih pula oleh ulama yang lain, sehingga ia enggan berdalil dengan hadis tersebut.



Keengganan ini tentunya berdampak pada hasil pemikiran hukumnya ketika ia hendak berijtihad dalam suatu persoalan tertentu. Oleh karena itu persoalan ikhtilaf al hadis ini menarik untuk dikaji agar ada informasi yang berimbang tentang bagaimana cara kita bersikap terhadap hadis-hadis nabi SAW. Di sisi lain, terdapat perbedaan metode ushuliyyah dalam istinbath al ahkam dan hasil atau kesimpulan hukum yang bermacam-macam tentang suatu persoalan. Sebagaimana diketahui bahwa ushul fiqh bukanlah ilmu yang tersusun secara sistematik sedemikian rupa keadaannya, sehingga semua ushuliyyun bisa dengan mudah mengasplikasikan teori-teori ushul itu dalam memahami teks dan konteks. Persoalannya, qaidah-qaidah ushul itu disusun setahap demi setahap sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi. Sehingga antara satu mazhab dengan mazhab yang lainnya tidak selalu menggunakan ushul yang sama dalam metode atau manhaj istibathiyyah mereka. Oleh karenanya sangat rasional jika ummat islam sekarang ini memiliki bentuk ritual dan praktik hukum yang berbeda-beda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Sebagai contoh imam malik meyakini bahwa ijma’ ahl al madinah adalah hujjah yang sah dalam menggali hukum syara’. Sementara itu jumhur ulama termasuk abu hanifah , imam syafi’I dan ahmad bin hanbal, berpendapat bahwa perbuatan penduduk madinah itu bukan hujjah, kecuali jika ia mendapatkan legitimasi (ijma’) dari keseluruhan ummat islam. Begitu juga dalam kasus legalitas qiyas, kelompok syi’ah tak bersedia menggunakan sebagai salah satu sumber tasyri’ islam, sementara sebagian besar jumhur ushuliyyun semuanya menggunakan qiyas. Hal serupa juga terjadi pada sumber hukum keempat yakni ijma’. Ulama tidak sepakat tentang apa yang dimaksud dengan ijma’ itu sendiri. Syi’ah beranggapan bahwa ijma adalah kesepakatan hukum hanya di kalangan ahl al bait saja. Sementara hanbali beranggapan ijma’ adalah kesepakatan hukum hanya di kalangan sahabat saja dan seperti diuraikan di muka menurut maliki ijma’ adalah kesepakatan ahl al madinah. Dari sudut pandang ini semakin jelas bahwa keberadaan hadis yang sangat variatif itu ditambahi dengan variatifnya metode istinbathiyyah ushuliyyun semakin menarik untuk dikaji dan dicermati. Hubungan di antara keduanya jelas menyiratkan adanya fenomena keragaman hukum yang dihasilkan dari proses ijtihad para ulama. Usaha untuk memahami kembali dan merekonstruksi bangunan keilmuan masa lalu mutlak diperlukan agar umat tidak selalu berada dalam situasi bersitegang, berhadap-hadapan dan saling berbeda pendapat.
Alasan lain yang mendasari kajian ini adalah fakta bahwa umat islam terpisah-pisah atau terkotak-kotak ke dalam berbagai mazhab pemikiran fiqh. Kondisi ini diperparah dengan mayoritas umat islam taqlid begitu saja pada pemikiran imam mazhab. Fenomena taqlid ini telah berlangsung selama berabad-abad semenjak abad IV hijriah sampai sekarang. Padahal ibn hazm telah mengharamkan taqlid pada salah satu imam mazhab. Perpecahan ini tentunya bukan citra umat islam yang ideal atau suatu komunitas yang diharap-harapkan oleh al qur’an. Jika perpecahan atau perbedaan pendapat itu bisa dirunut akar masalahnya pada satu faktor, hadis umpamanya, maka menjadi kewajiban generasi sekarang untuk mengkritisi kembali sumber hukum kedua itu dengan menempatkannya pada posisi yang proporsional. Hal yang demikian ini mutlak dilakukan agar umat islam tidak dalam kondisi sebagaimana yang diindikasikan oleh Izzudin bin Abd al Salam :
…Sungguh mengherankan, para ulama yang taqlid itu sebenarnya mengetahui bahwa argumen imamnya lemah dan dia tidak mampu mempertahankannya, akan tetapi ia tetap taqlid. Dan dia meninggalkan pendapat ulama lain yang jelas, yang berdasarkan al qur’an , as sunnah atau qiyas shahih, hanya karena kefanatikannya dalam bertaqlid…
Oleh karena itu berusaha mengkaji dan meneliti secara proporsional dan cermat terhadap hadis-hadis mukhtalaf akan banyak membantu di dalam mengikis atau meretas kungkungan taqlid yang membelenggu umat islam pada masa sekarang ini.
Berikutnya yang tidak kalah penting adalah tidak adanya kodifikasi dan unifikasi hukum islam yang bersifat universal yang bisa mengatasi seluruh perbedaan yang bersifat lokal, dan parsial. Dengan kata lain peradaban islam sampai sekarng belum mampu menciptakan suatu bangunan fiqh yang ketentuan-ketentuan hukumnya mengikat bagi seluruh kaum muslimin tanpa memandang kewarganegaraan dan mazhab yang dianutnya. Selama ini hukum islam hanya diberlakukan dalam lingkup yang terbatas, dalam sebuah negara tertentu dan lagi-lagi materi hukum yang diaturnyapun, sebatas persoalan-persoalan perdata saja. Sementara hukum yang berkaitan dengan persoalan jinayah, hampir-hampir sulit untuk diberlakukan dalam aturan hukum modern. Kesulitan mempositifkan hukum islam lebih dikarenakan oleh hal-hal yang sifatnya tekhnis daripada ketidakmampuan para ulama dan jurist muslim dalam mewujudkan suatu corpus fiqh islam yang komprehenshif dan universal. Banyaknya pendapat fuqaha dalam kitab-kitab klasik yang berpedoman pada nash-nash yang bersifat spekulatif-interpretatif menjadikan usaha kearah unifikasi-kodifikasi menjadi terhambat. Bervariasinya derajat dan kualitas hadis, diyakini memberikan dampak yang luar biasa bagi keengganan para yuris dan pemimpin muslim di negara tertentu untuk membakukan atau mengkodifikasikan suatu pendapat hukum tertentu, karena masih meragukan dasar argumentasi pendapatnya yang dikhawatirkan bertentangan dengan hadis lain yang dijadikan sebagai sandaran / rujukan oleh pendapat hukum yang berbeda. Andaikata para fuqaha atau kaum muslimin menyadari bahwa hadis-hadis yang dijadikan hujjah atau dalil bagi suatu pendapat hukum nilainya lemah dan bertentangan dengan hadis lain yang shahih, tentunya perbedaan pendapat itu bisa diminimalisir. Oleh karena tidak semua ahli fiqh pasti ahli hadis, tentunya umat islam tidak bisa menerima pendapat seorang mujtahid begitu saja, tanpa mengetahui secara persis bagaimana kualitas hadis yang dijadikan sebagai dasar hukum istinbathnya. Dengan demikian, mengetahui aspek kualitas hadis yang digunakan oleh mujtahid ketika ia menyatakan suatu pendapatnya tentang status hukum sesuatu hal, adalah layak dilakukan. Bermazhab yang adil dan bertanggungjawab itu adalah jika kaum muslimin mengetahui alasan-alasan yang digunakan mujtahid yang diikutinya dan bagaimana mujtahid mempersepsikan pandangannya terhadap keabsahan dalil tersebut. Sekali lagi upaya kodifikasi akan sulit diwujudkan jika di tengah-tengah kaum muslimin masih berkembang pendapat hukum yang beragam dengan metode istinbath dan kualitas atau derajat validitas nash yang beragam pula.
Hal lain yang patut dicatat adalah maraknya wacana reaktulasisasi dan revitalisasi terhadap ajaran-ajaran islam lama atau klasik, serta dibukanya pintu ijtihad oleh beberapa reformis islam kontemporer. Fenomena ini merupakan mega proyek abad 15 H sebagai titik balik bangunnya peradaban islam. Muhammad Abduh, Jamaludin al Afghani, Muhammad Iqbal, Hasan al Bana, Fazlurrahman adalah nama-nama penting yang berjasa dalam menyulut api pembaharuan dalam dinamika pemikiran islam modern. Semenjak itu muncul tokoh-tokoh semacam Mohammed Arkoun yang menggagas proyek “Islamologi terapan”, Hasan Hanafi mengusung proyek “Kalam Antrophosentrisme” dan tidak ketinggalan Abdullah Ahmed Na’im yang menggelar mega proyek “Syari’ah Modern” sebagai suatu usaha untuk mengaktualkan kembali ajaran-ajaran islam lama. Tidak bisa dipungkiri gerakan-gerakan yang mereka lakukan itu pastilah bersentuhan dengan pemikiran lama yang mendarah-daging dan memfosil dalam kehidupan keseharian ummat islam. Tidaklah mudah menggeser –atau bahkan menggantikan- sekian banyak warisan pemikiran klasik itu dengan kebutuhan / penafsiran modern. Arkoun jelas-jelas menyarankan agar kaum muslimin mengkritisi kembali warisan keilmuan masa lalu ( Turats) dengan pendekatan yang berbeda dengan yang selama ini digunakan oleh ulama tradisional. Padahal di awal tulisan ini telah dinyatakan bahwa perbedaan pendapat di antara ulama itu lebih banyak disebabkan oleh faktor hadis dengan segala permasalahnnya. Memegangi pendapat secara membabi buta –padahal bertentangan dengan realitas zaman- adalah suatu tindakan yang kurang adil dan tidak bertanggung jawab. Sehingga upaya untuk mengkritisi, mengevaluasi dan memverifikasi warisan klasik (Turast) tidak bisa dipandang sebagai tindakan melawan ijma’, tidak menghargai kecerdasan ulama masa lalu, atau bahkan merasa diri sebagai orang yang paling pintar. Kritis terhadap realitas zaman dengan senantiasa berpegang pada warisan lama yang valid dan sahih, merupakan langkah yang realistis dan mendesak untuk dilakukan oleh kaum muslimin dewasa ini. Oleh karena itu mengkaji hadis dengan segala variasi problem yang dihadapinya, mutlak untuk dilakukan dan bukan merupakan tindakan inkarussunnah sebagaimana tuduhan beberapa orang yang tidak menyetujuinya kritik ulang terhadap kesahihan atau validitas hadis-hadis nabi.
Sementara itu, perkembangan paradigma keilmuan kontemporer, khususnya yang berkaitan dengan model / pendekatan dalam melakukan penafsiran terhadap sebuah teks adalah alasan lain dibalik kajian ini. Tradisi fiqh islam mewariskan kepada kita beberapa tekhnik dalam memahami kandungan makna teks. Ada yang melalui petunjuk di dalam teks (Dalalah Lafdziyah) maupun indikasi-indikasi yang terdapat di luar teks (Dalalah Ghair Lafdziyah). Sementara peradaban barat memperkenalkan beberapa teori penafsiran atau pemaknaan terhadap teks baik lewat pendekatan Hermeneutik maupun uji analisis isi (Content Analysis). Di samping itu beberapa pemikir muslim kontemporer mencoba mendekati hadis lewat pendekatan teori Kebenaran baik teori Korespondensi maupun teori Koherensi. Penggunaan metode Hermeneutik mengundang perdebatan akademis bagi sebagian cendekiawan muslim, mengingat beberapa kekurangan metodologis pada pendekatan ini. Apapun alasannya sulit untuk dibantah bahwa pendekatan ini dalam batas-batas tertentu membantu kaum muslimin dalam menatap dan mengkritisi karya-karya ulama masa lalu. Memahami hadis-hadis yang saling bertentangan dengan kerangka atau cara pandang hermeneutik barangkali bisa lebih memperjelas obyek permasalahan, karena ada hadis yang memiiliki karakter-karakter tertentu maka pemahaman terhadapnya harus menggunakan cara-cara tertentu pula. Pendekatan tekstual dan kontekstual telah lama dikenal oleh umat islam dalam wacana pemahaman nash. Padahal antara hermeneutik dengan dua pemahaman tersebut memiliki titik persamaan yakni, mencermati dan mendalami aspek-aspek di luar redaksi bahasa yang memotivasi Nabi ataupun ulama dalam melakukan suatu tindakan.
Alasan terakhir -dan nampaknya yang paling penting dari semua alasan itu- adanya upaya dari beberapa ulama atau cendekiawan untuk mencari sintesa dari perbedaan antar mazhab sehingga perbedaan ikhtilaf yang berkepanjangan itu segera bisa berakhir. Mendekatkan (mensitesakan) perbedaan mazhab itu tidak akan mencapai keberhasilan, jika nash (al hadis) yang dipegangi oleh masing-masing mazhab tetap tidak tersentuh oleh cakrawala pemikiran ulama. Sejatinya keberadaan hadis pada masa lampau yang ditanggapi berbeda oleh ulama mujtahid kala itu bisa dipandang secara proporsional pada masa kini, agar kaum muslimin tidak terjebak pada lubang ikhtilaf yang sama. Perbedaan mazhab masa lalu banyak disebabkan oleh koleksi hadis yang berbeda-beda dan belum bakunya kriteria standarisasi kesahihan hadis di kalangan mujtahid. Kondisi ini jelas memicu mujtahid untuk menganggap shahih sebuah hadis dengan standar mereka sendiri yang pada gilirannya ia gunakan sebagai dasar atau hujjah / dalil setiap ijtihad atau istinbath yang dihasilkannya. Oleh karenanya jika dewasa ini gerakan penyatuan mazhab hendak dilakukan, maka kerja besar mereka-para penggagas ide penyatuan mazhab ini- adalah mengkaji dan menyeleksi hadis-hadis yang digunakan mujtahid sebagai dasar istinbathiyyah mereka kemudian memverifikasinya dengan jujur tentang kualitas hadis tersebut. Membiarkan hadis-hadis yang lemah atau diragukan kesahihannya dalam kitab-kitab klasik –apapun reputasi pengarangnya- adalah tindakan yang tidak bertanggungjawab. Sehingga kerja besar mereka itu nantinya secara metodologis bisa memiliki validitas dan kredibilitas yang tinggi dalam usahanya merekatkan setiap perbedaan pendapat yang muncul ke permukaan.
Demikianlah beberapa alasan yang mendorong bagi ditulisnya kajian tentang ikhtilaf hadis dan pengaruhnya terhadap perbedaan pendapat. Beberapa alasan di atas barangkali kurang memiliki simpul yang kuat dengan tema penulisan tesis ini. Akan tetapi perlu dicatat bahwa keterkaitan itu memang tidak dalam bingkai efek kejut. Artinya bahwa hubungan antara ikhtilaf hadis dan pengaruhnya terhadap perbedaan mazhab tidak secara langsung disebabkan atau dikenali oleh alasan-alasan yang mendasari kajian tesis ini. Barangkali dibutuhkan waktu dan kondisi tertentu agar ada keselarasan hubungan antara keduanya.


0 komentar

Post a Comment

Terimakasih atas komentar dan kunjungannya, salam manis buat sobat semua

Download MK

MSI

Translator



English French German Spain Dutch Arabic

Recent Post

DAFTAR ISI BLOG

1.Blog Sejenis
2.Line Website UNISMA
3.Jam’ul Qur’an
4.Hadis Pra Modifikasi
5.Kampus Pusat Budaya
6.Qawaidul Fiqhiyyah
7.Sarjana Pengangguran
8.Penyimpangan dalam Penafsiran al Qur’an
9.Implementasi Ilmu Islam dalam Peguruan Tinggi Islam
10.Pemikiran Ibn Miskawaih Dlm Pendidikan
11.Otentisitas Hadis versi Orientalis
12.Maqashid al Tasyri’
13.Sejarah Peradilan Islam
14.Mengais Kembali Konsep Turats
15.Sufi Martir Ain Qudhat
16.Tema Pokok al Qur’an
17.Metodologi Penelitian
18.Nilai Maslahat dan HAM dalam Maqashid al Tasyri’
19.Pembaharuan Kurikulum Dasar Menengah
20.Pemikiran al Mawardi
21.Tasawwuf al Falsafi
22.Profil Dosen FAI UNISMA
23.Download Bahan Kuliah
24.Ikhtilaf al Hadis Part. I
25.Ikhtilaf al Hadis Part. II
26.Filsafat Ibn Rusyd
27.Inkar as Sunnah I
28.IInkar as Sunnah Part. II
29.Beasiswa Kuliah Gratis
30.Download MAteri Perkuliahan
31.Uji Timbang Blog
32.Award Pertama Buat FAI
33.Hakikat Manusia : Sebuah Renungan
34.Award oh Award
35.Pengumuman Mengikuti Beasiswa
36. Blog-ku Istana-ku
37.Kuliah Umum di FAI Unisma
38. Info LAnjutan Beasiswa
39. Dukungan Untuk Sang Guru
40. Zikir Akbar di Unisma
41.Ujian Seleksi Kuliah Beasiswa
42. Habil dan Qabil di Era Global
43. Suasana Ujian Seleksi Beasiswa
44. Mengapa aku harus memilih?
45.Pengumuman Hasil Ujian
46. award Dari Sobat Blogger
47. Psikotest Mahasiwa Beasiswa
48. Award Maning
49.Award Blogging 4 Earth
50. Pengumuman Hasil Ujian
51.Award Motivasi & Perilaku
52. Sistem Pembekalan Akademik
53. Award Tiad aPernah Berakhir
54. Light Up The Noght
55.Cap Jempol Darah
56.Awardmu-Awardku-AwardKita
57.Anti Mati Gaya Open Minded
58.Award Is Never Die
59.KEM tingkat Nasional
60.Pengumuman Kuliah Umum
61.Virus Malas Ngeblog
62.Pengumuman Hasil Seleksi Ujian
63. Prote Hasil Pilpres
64. Ramadhan Itu Datang Lagi
65.Orientasi Pendidikan MABA UNISMA
66.Download PPT HAM dan Gender
67.Gus Dur:Sang Guru Bangsa
68.Gerakan Fundamentalisme Islam
69.Download E-Book
70.FAI UNISMA
71.Umar Ibn al Khaththab
72.Beasiswa Kuliah Prodi PGMI
73.Ikhtilaf al Hadis Part. II
74.Gelar Doa sivitas FAI UNISMA
75.Pengumuman Pelaksanaan Tes Ujian Prodi PGMI
76.Pengumuman Hasil Tes Ujian Prodi PGMI
77.Beasiswa S2 Prodi Hukum Islam PPS UNISMA
78.Selamat Jalan Akhi
79.Pesta Demokrasi
80.Ordik MABA UNISMA
81.Islam Rahmat Lil Alamin
82.Beasiswa Bagi Guru PAI di Kemendiknas
83.Hasil Akreditasi PGMI
84.Rekonstruksi Kurikulum FAI UNISMA
85.Beasiswa Perkuliahan Prodi PAI
86. Ketentuan Lomba Lustrum
87. Pengumuman Hasil Psikotes
88. Beasiswa Untuk Guru PAI
89. Islam dan Ilmu Pengetahuan
90. Pengumuman Kelulusan Penerima Beasiswa
91. Pengumuman Hasil Seleksi Ujian Tulis
92. Maqamat dan Ahwal al Sufiyah
93. Ikhtilah Ulama