Jurnal Ilmiah

Panduan SOS

Prog. SOS FAI

Prog. SOS FAI
Sistem Informasi Akademik Mahasiswa FAI Berbasis Online

Popular Posts

Followers

CELEBRITY

Tamu-nya FAI

Showing posts with label al Hadis. Show all posts
Showing posts with label al Hadis. Show all posts


Oleh : Khoirul Asfiyak


Pendahuluan
Sesungguhnya semua ulama baik dari golongan mutaqadimin sampai pada masa muta’akhirin sepakat dan menyakini akan kehujjahan hadis untuk dijadikan sebagai dasar hukum atau dijadikan sebagai dalil dalam ajaran agama islam. Kesepakatan mereka itu bukannya tanpa alasan, akan tetapi beberapa ayat al qur’an memberikan dukungan yang cukup signifikan bahwa setelah al qur’an maka dasar hukum yang berikutnya adalah al hadis.



Hanya saja pada sebagian generasi masa lalu ditemukan sekelompok orang yang tidak mengakui al hadis untuk dijadikan sebagai dasar istinbath atau sumber ajaran agama. Jumlah kelompok yang tidak mengakui atau yang mengingkari eksistensi hadis ini tidak terlalu besar. Sehingga pada akhirnya pendepat mereka itu tidak sempat beredar dan menguasai pikiran umat islam sampai dalam jangka waktu yang berkepanjangan.
Pada zaman Nabi (632 M) ummat islam seluruhnya sepakat bahwa sunnah merupakan salah satu sumber ajaran islam disamping al qur’an. Sejarah belum atau tidak pernah menginformasikan kepada kita adanya suatu bukti yang menjelaskan bahwaw pad azaman nabi ada dari kalangan ummat islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran islam. Bahkan pada masa al khulafaur Rasyidin (632-661 M) dan bani Ummayah (661-750 M) belum terlihat secara jelas adanya kalngan umat islam yang mennolak sunnah sebgai alah satu sumber ajaran islam. Barulah pada awal masa Abbasiyyah (750-1258 H) muncul secara jelas kelompok kecil ummat islam yang menolak as sunnah sebagai sumber ajaran islam. Mereka ini kemudian dikenal sebagai orang-orang yang berpaham inkar as sunnah. Hal ini dapat dipahami dari uraian as syafi’i dalam kitabnya al ‘um (Tt:250-265) yang beliau kemukakan untuk menengarai tiga kelompok pengingkar sunnah pada zaman beliau. Menurut beliau ketiga kelompok itu adalah :
1. Golongan yang menolak seluruh sunnah
2. Golongan yang menolak as sunnah, kecuali jika sunnah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk al qur’an
3. Golongan yang menolak sunnah yang berstatus hadis ahad.
Sesudah pengingkar zaman as syafi’i ini maka munculah pengingkar-pengingkar modern baik secara terselubung maupun terang-terangan. Pengingkar as sunnah zaman modern ini muncul di berbagai tempat misalnya di mesir, antara lain, Dr. Taufiq Sidqi, di malaysia muncul Ahmad Kassim dan di Indonesia antar lain Muhammad ircham Sutarto (Ismal’il,1995 :14)
Munculnya orang-orang yang meragukan keberadaan sunnah sebagai dalil selain al qur’an sesungguhnya dikarenakan meeka tidak pernah atau tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ilmu hadis atau tidak mengerti seluk beluk hadis iitu sendiri. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat dari latar belakang oranmg-orang yang ingkar pada as sunnah ternyata adalah orang-orang yang tidak hidup dalam tradisi keilmuan di bidang hadis. Bahkan dasar hukum yang mereka gunakan untuk membantah kehujahan hadis sungguh sangat lemah dan mencerminkan ketidakmengertian mereka tentang hadis. Secara umum pengingkar sunnah pada masa modern ini lebih sering diakibatkan oleh pengaruh pengajaran barat lewat orientalisme. Selama berabad-abad pemikiran orientalis diajarkan didunia barat juga di akademi an universitas barat, dan pada masa terakhir ini banyak cendekjiawan muslim yang banyak belajar ke dunia barat dan mereka se[ulang m,enyelesaikan sekolahnya pola pemikiran orientalis sangat mempengaruhi mereka termasuk kecenderungan umum orientalis yang meragukan otentisitas hadis, bukan saja diragukan sebagai dasar hukum, akan tetapi diragukan pula sebagai kenyataan. Barat sangat meragukan bahwa hadis benar-benar otentik merupakan warisan orisinil dari Nabi tanpa adanya perubahan dan campur tangan dari kaum muslimin. Untung saja pendapat orientalis tersebut mendapat sanggahan dari para ulama yang ahli dibidangnya,
sehingga racun yang membahayakan dari pemikiran orientalisme tidak sempat berkembang lebih lama dan memakan abanyak korban lagi.
Berikut ini akan dibahas beberapa argumen yang diusung oleh para pengingkar as sunnah bahwa ada beberapa alasan yang bisa dugankan untuk menolak keberadaan as sunah sebagai dasar hukum.

A.ARGUMEN ARGUMEN PARA PENGINGKAR SUNNAH

Memang cukup abnyak argumen yang telah dikemukakan oleh mereka yang berfaham inkar as sunah baik oleh mereka yang hidup paza zaman syafi’i maupun yang hidup pada zaman sesudahnya. Dari berbagai argumen yang banyak jumlahnya itu aa yang berupa argumen argumen naqli (ayat alqur’an maupun hadis Nabi ) dan ada yang berupa argumen argumen non naqli. dalam bahasan ini akan dikelompokkan kepada dua macam argumen tersebut.

Argumen Naqli.
Adapun yang dimaksud dengan argumen argumen naqli tidak hanya berupa ayta-aayt al qur’an saja, akan tetapi juga berupa as sunnah atau hadis Nmabi. Memang agak ironis juga bahwa mereka yang berpagham inkar as sunnah ternyata telah m,engajukan sunah sebagaia rgumen untuk membela faham mereka itu. Cukup banyak juga srgumen naqli yang mereka ajukan , namun yang terpenting adalahs ebagai berikut :

(a) al Qur’an surat an Nahl 89 yang berbunyi :

ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء

artinya : …Dan Kami turunkan kepadamu alkitab (al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu…..

(b) al Qur’an surat al An’am 38 yang berbunyi :

ما فرطنا في الكتاب من كل شيء

artinya : ..Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al kitab….
Menurut para pengingkar sunnah kedua ayta tersebut menunjukkan bahwa al qur’an telah mencakup segala esuatu yang berkenaan dengan ketentuan agama. Dengan demikian tidak diperlukan adanya keterangan lain, semisl as sunnah, sebagai aturan disamping al qur’an. Menurut mereka salat lima waktu sehari semalam yang wajib didirikan dan yang sehubungan dengannya daarnya bukan as sunah atau al hadis, melainkan ayat-ayat al qur’an mialnya surat al baqarah :238; Hud ayat 114; al nisra’ ayat 78 dan 110; Thaha ayat 130; al hajj ayat 77; al Nur ayat 58; dan ar Rum ayat 17-18.
Dalam kaitannya dengan tatacara sholat, Kassim Ahmad seorang pengingkar as sunnah dari negara Malaysia mengatakan :

“Kita telah membuktikan bahwa perintah sembahyang telah diberi oleh Tuhan kepada Nabi Ibrahim dan kaumnya, dan amalan ini telah diperturunkangenerasi demi generasi, hingga kepada Nabi Muhammad dan ummatnya….Ada hikmahnya yang besar mengapa Tuhan tidak memperincikan bentuk dan kaedah shalat dalam al qur’an . Pertama, karena bentuk dan kaedah ini telah diajarkan kepada nabi ibrahim dan pengikut-pengikutnya dan disahkan untuk diikuti oleh ummat muhammad . Kedua, karena bentuk dan kaedah ini tidak begitu penting dan Tuhan ingin memberi kelonggaran kepada ummat nabi muhammad supaya m,ereka boleh melakukan salat mereka dalam keadaan apapun juga, sepertiu dalam perjalanan jauh, dalam peperangan, di kutub utara atau diangkasa lepas, mengikuti cara yang sesuai….”
Dengan demikian menurut pengingkar as sunnah tatacara sholat tidaklah begitu penting jumlah rakaat cara duduk,cara sujud, ayat dan bacaan yang dibaca diserahkan kepada masing-masing pelaku salat menurut kondisi apa yang mereka hadapi.jadi ibadah shalat boleh saja dilakukan dengan bahasa daerah yang mereka kuasai atau yang dominan disuatu daerah tertentu.
Menilik argumen yang mereka kemukakan di atas dapat difahami bahwa para pengingkar sunah yang mengajukan argumen itu adalah orang-orang yang berpendapat bahwa nabi muhammad tidak berhak sama sekali untuk menjelaskan dan mememrinci al qur’an kepada ummatnya. Nabi muhammad hanyalah bertugas untuk menerima wahyu dan menyampaikan wahyu itu kepada para pengikutnya, diluar hal tersebut nabi muhammad tidak memiliki wewenang. Dalam al qur’an dinyatakan bahwa orang orang yang beriman diperintahkan untuk patuh kepada rasulullah. Hal itu menurut para pengingkar as sunnah hanyalah berlaku tatkala rasulullah masih hidup yakni tatkala jabatan sebagai ulul amri berada ditangan beliau. Setelah beliau wafat maka jabatan ulul amri berpindah kepada orang lain dn karenanya kwajiban untuk patuh bagi orang orang yang beriman kepada Nabi Muhammad menjadi gugur.

( c) Sejumlah riwayat hadis yang antara lain berbunyi sebagai berikut:


“Apa yang datang kepadamu dari saya maka konfirmasikanlah dengan kitabullah , jika sesuai dengan kitabullah maka hal itu berarti saya telah mengatkannya. dan jika ternyata menyalahi kitabullah, maka hal itu bukanlah saya yang mengatkannya, dan sesungguhnya saya (selalu) sejalan dengan kitabullah dan dengannya Allah telah memberi petunjuk kepada saya “
Menurut para pengingkar as sunnah berdasarkan riawayat tersebut, maka yang harus dipegangi bukanlah hadis nabi melainkan al Qur’an. Dengan demikian menurut hadis di ats sunnah atau hadis nabi itu tidaklah berstatus sebagai sumber ajaran islam.
(d) Ayat-ayat al qur’an , antara lain :

Q.S. Fathir ayat 31 :


artinya : Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yakni al kitab (al qur’an) itulah yang benar.......
Q. S. Yunus ayat 36 :


artinya : Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali hanya persangkaan belaka, sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran....

Menurut para pengingkar as sunnah sesuatu yang berad pad tingkat Zhznny (sangkaan) tidak dapat dijadikan sebagai hujah. Hadis pada umumnya berstatus zhanny dan hanya sedikit saja yang berstatus qath’iy. Kalau agama didasarkan kepada sesuatu yang zhann maka berarti agama berdiri diatas dasar yang tidak pasti. Hal ini tidak boleh terjadi. Karenanya hadis atau sunnah bukanlah sumber ajaran islam. Sumber ajaran islam haruslah yang berstatus pasti (qath’iy) saja, yakni al qur’an.
Dalam hal ini kelompok pengingkar as sunnah terbagi dua satu kelompok menerima hadis mutawatir sebagai hujjah sebab hadis mutawatir berstatus qath’iy dan atu kelompok lagi menolak seluruh hadis, termasuk yang mutawatir sebab jumlah hadis yang berstatus mutawatir hanya sedikit saja, sedang yang terbanyak adalah hadis ahad, yakni hadis yang menurut mereka berstatus zhann. Karena yang dominan adalah zhann, maka dengan demikian hadis tidak dapat dijadikan hujjah. Tegasnya hadis atau sunnah bukanlah sumber ajaran islam.
Sesungguhnya masih banyak dalil naqliy yang dijadikan argumen namun dalil-dalil naqli yang telah dikutip di atas telah cukup memadai karena hampir semua yang berpaham inkar al sunnah telah mengangkatnya sebagai argumen yang mendasari paham mereka. Berikut ini akan diungkapkan berbagai argumen aqli yang diusung mereka untuk membantah kehujjahan hadis Nabi.

Argumen Aqli

Adapun yang dimaksud dengan argumen argumen aqli adalah dasar pemikiran yang tidak berupa ayat al qur’an dan atau hadis Nabi. Dengan kata lain argumen aqli aalah dasar pemikiran yang berpijak dan berbasis pada kekuatan akal; dan nalar manusia. Walaupaun sebagian dari argumen argumen itu ada yangmenyinggung sisi tertentu dari ayat al qur’an ataupun hadis nabi, namun karena yang dibahasnaya bukanlah ayat ataupun matan hadisnya secara khusus, maka argumen argumen tersebut dimasukkan dalam argumen argumen non naqli juga.
Cukup banyak pula alasan-alasan yang termasuk dalil aqli yang telah dimajukan oleh para pengingkar as sunnah diantaranya yang terpenting adalah sebagai berikut :
(a) Al Qur’an diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui malikat jibril dalam bahsa arab. Orang-orang yang memiliki pengetahuan bahsa arab mampu memahami al qur’an secara langsung tanpa bantuan penjelasan dari hadis Nabi. Dengan demikian hadis Nabi tidak diperlukan untuk memahami petunjuk al qur’an.
(b) Dalam sejarah, ummat islam telah m,engalami berbagai kemunduran disegala bidang. Ummat islam mundur karena mereka terpecah belah menjadi berbagai gfolongan dan firqoh-firqah yang beraneka macam. ragamnya. Perpecahan itu terjadi karen aummat islam berpegang pada hadis nabi . Jadi menurut para pengingkar as sunnah hadis nabi merupakan sumber kemunduran ummat islam. agar ummat islam maju, maka ummat islam harus meninggalkan hadis Nabi.
( c) Asal mula hadis Nabi yang dihimpun dalm kitab-kitab hadis adalah dongeng-dongeng semata. Dinyatakan demikian karena hadis nabi lahir setelah lama wafat Nabi. Dalam sejarah sebagian hadis baru muncul pada zaman tabi’in dan atba’ at tabi’in yakni pada tahun sekitar 40 atau lima puluh tahun sesudah Nabi wafat. Kitab-kitab hadis yang terkenal misalnya, shahih al bukhori dan shahih muslim, aalah kitab-kitab yang menghimpun berbagai hadis palsu. Disamping itu banyak matan hadis yang termuat dalam berbagai kitab hadis, isinya bertentangan dengan al qur’an ataupun logika.
Dasar argumen ini sebagaimana dinyatakan oleh kassim ahmad pengingkar sunnah dari malaysia, adalah pernyataan dari G.H.A Juynboll, seorang orientalis. Juynboll menyatakan pertumbuhan hadis tampaknya dimulai dari cerita-cerita tentang Nabi, puji-pujian terhadap ‘Ali dan Abu bakkar, serta tuntunan tentang halal-haram. Menuurt Juynboll hadis pad umumnya baru muncul pada zaman tabi’in dan atba’ at tabi’in. Kassim ahmad tidak mengajukan kritik terhadap pendapat juynboll tersebut.
(d) Menurut dokter Taufik Sidqi tiada satupun hadis nabi yang dicatat pada zaman Nabi. Pencatatn hadis terjadi setelah Nabi wafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadis itu, manusia berpeluang untuk mempermaiankan an merusak hadis sebagaimana yang telah terjadi.
(e) Menurut para pengingkar as sunnah , kritik sanad yang terkenal dalam ilmu hadis sangat lemah untuk menentukan kesahihan hadis dengan alasan sebagai berikut :
(1) Dasar kritik sanad itu, yang dalam ilmu hadis dikenal dengan sitilah ilmu jarh wa at ta’dil (ilmu yang membahsa ketercelaan dan keterpujian para periwayat hadis) baru muncul setelah satu setengah abad Nabi wafat. Dengan demikian para periwayat generasi sahabat Nabi, al tabi’in dan atba’ at tabi’in tidak dapat ditemui dan diperiksa lagi.
(2) Seluruh sahabat Nabi sebagai periwayat hadis pada generasi pertama dinilai adil oleh ulama hadis pada akhir abad ketiga dan awal abad keempat hijriah. Dengan konsep ta’dil as sahabat para sahabat Nabi dinilai terlepas dari kesalahan dalam melaporkan hadis.
Demikianlah berbagai argumen argumen naqli dan aqli yang disampaikan oleh para pengingkar as sunnah dalam rangka membantah dan meragukan kembali keberadaan as sunnah sebagai dasar hukum, lebih dari itu keingkaran mereka itu berlanjut pada keraguan eksistensi hadis apakah ia benar-benar hadis Nabi ataukah sekedar rekaan dan bikinan para ulama abad kedua. Berikut ini akan dibahas bantahan dan sanggahan terhadap seluruh argumen yang dikemukakan oleh para pengingkar as sunnah tersebut.

Selengkapnya.....



Oleh : Khoirul Asfiyak


Sekalipun tanpa pernah bisa dibuktikan apakah antara kedua perawi itu pernah saling bertemu, dan saling meriwayatkan. Berdasarkan pernyataan ini, maka jumhur muuhadisin lebih mengunggulkan al Bukhari daripada imam Muslim ketika terjadi ta’arudl antara dua mukharrij tersebut dalam hadis-hadis shahih yang mereka riwayatkan. Dengan demikian semakin jelaslah bahwa kesahihan sebuah hadis belum tentu dianggap sahih pula oleh ulama yang lain, sehingga ia enggan berdalil dengan hadis tersebut.



Keengganan ini tentunya berdampak pada hasil pemikiran hukumnya ketika ia hendak berijtihad dalam suatu persoalan tertentu. Oleh karena itu persoalan ikhtilaf al hadis ini menarik untuk dikaji agar ada informasi yang berimbang tentang bagaimana cara kita bersikap terhadap hadis-hadis nabi SAW. Di sisi lain, terdapat perbedaan metode ushuliyyah dalam istinbath al ahkam dan hasil atau kesimpulan hukum yang bermacam-macam tentang suatu persoalan. Sebagaimana diketahui bahwa ushul fiqh bukanlah ilmu yang tersusun secara sistematik sedemikian rupa keadaannya, sehingga semua ushuliyyun bisa dengan mudah mengasplikasikan teori-teori ushul itu dalam memahami teks dan konteks. Persoalannya, qaidah-qaidah ushul itu disusun setahap demi setahap sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi. Sehingga antara satu mazhab dengan mazhab yang lainnya tidak selalu menggunakan ushul yang sama dalam metode atau manhaj istibathiyyah mereka. Oleh karenanya sangat rasional jika ummat islam sekarang ini memiliki bentuk ritual dan praktik hukum yang berbeda-beda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Sebagai contoh imam malik meyakini bahwa ijma’ ahl al madinah adalah hujjah yang sah dalam menggali hukum syara’. Sementara itu jumhur ulama termasuk abu hanifah , imam syafi’I dan ahmad bin hanbal, berpendapat bahwa perbuatan penduduk madinah itu bukan hujjah, kecuali jika ia mendapatkan legitimasi (ijma’) dari keseluruhan ummat islam. Begitu juga dalam kasus legalitas qiyas, kelompok syi’ah tak bersedia menggunakan sebagai salah satu sumber tasyri’ islam, sementara sebagian besar jumhur ushuliyyun semuanya menggunakan qiyas. Hal serupa juga terjadi pada sumber hukum keempat yakni ijma’. Ulama tidak sepakat tentang apa yang dimaksud dengan ijma’ itu sendiri. Syi’ah beranggapan bahwa ijma adalah kesepakatan hukum hanya di kalangan ahl al bait saja. Sementara hanbali beranggapan ijma’ adalah kesepakatan hukum hanya di kalangan sahabat saja dan seperti diuraikan di muka menurut maliki ijma’ adalah kesepakatan ahl al madinah. Dari sudut pandang ini semakin jelas bahwa keberadaan hadis yang sangat variatif itu ditambahi dengan variatifnya metode istinbathiyyah ushuliyyun semakin menarik untuk dikaji dan dicermati. Hubungan di antara keduanya jelas menyiratkan adanya fenomena keragaman hukum yang dihasilkan dari proses ijtihad para ulama. Usaha untuk memahami kembali dan merekonstruksi bangunan keilmuan masa lalu mutlak diperlukan agar umat tidak selalu berada dalam situasi bersitegang, berhadap-hadapan dan saling berbeda pendapat.
Alasan lain yang mendasari kajian ini adalah fakta bahwa umat islam terpisah-pisah atau terkotak-kotak ke dalam berbagai mazhab pemikiran fiqh. Kondisi ini diperparah dengan mayoritas umat islam taqlid begitu saja pada pemikiran imam mazhab. Fenomena taqlid ini telah berlangsung selama berabad-abad semenjak abad IV hijriah sampai sekarang. Padahal ibn hazm telah mengharamkan taqlid pada salah satu imam mazhab. Perpecahan ini tentunya bukan citra umat islam yang ideal atau suatu komunitas yang diharap-harapkan oleh al qur’an. Jika perpecahan atau perbedaan pendapat itu bisa dirunut akar masalahnya pada satu faktor, hadis umpamanya, maka menjadi kewajiban generasi sekarang untuk mengkritisi kembali sumber hukum kedua itu dengan menempatkannya pada posisi yang proporsional. Hal yang demikian ini mutlak dilakukan agar umat islam tidak dalam kondisi sebagaimana yang diindikasikan oleh Izzudin bin Abd al Salam :
…Sungguh mengherankan, para ulama yang taqlid itu sebenarnya mengetahui bahwa argumen imamnya lemah dan dia tidak mampu mempertahankannya, akan tetapi ia tetap taqlid. Dan dia meninggalkan pendapat ulama lain yang jelas, yang berdasarkan al qur’an , as sunnah atau qiyas shahih, hanya karena kefanatikannya dalam bertaqlid…
Oleh karena itu berusaha mengkaji dan meneliti secara proporsional dan cermat terhadap hadis-hadis mukhtalaf akan banyak membantu di dalam mengikis atau meretas kungkungan taqlid yang membelenggu umat islam pada masa sekarang ini.
Berikutnya yang tidak kalah penting adalah tidak adanya kodifikasi dan unifikasi hukum islam yang bersifat universal yang bisa mengatasi seluruh perbedaan yang bersifat lokal, dan parsial. Dengan kata lain peradaban islam sampai sekarng belum mampu menciptakan suatu bangunan fiqh yang ketentuan-ketentuan hukumnya mengikat bagi seluruh kaum muslimin tanpa memandang kewarganegaraan dan mazhab yang dianutnya. Selama ini hukum islam hanya diberlakukan dalam lingkup yang terbatas, dalam sebuah negara tertentu dan lagi-lagi materi hukum yang diaturnyapun, sebatas persoalan-persoalan perdata saja. Sementara hukum yang berkaitan dengan persoalan jinayah, hampir-hampir sulit untuk diberlakukan dalam aturan hukum modern. Kesulitan mempositifkan hukum islam lebih dikarenakan oleh hal-hal yang sifatnya tekhnis daripada ketidakmampuan para ulama dan jurist muslim dalam mewujudkan suatu corpus fiqh islam yang komprehenshif dan universal. Banyaknya pendapat fuqaha dalam kitab-kitab klasik yang berpedoman pada nash-nash yang bersifat spekulatif-interpretatif menjadikan usaha kearah unifikasi-kodifikasi menjadi terhambat. Bervariasinya derajat dan kualitas hadis, diyakini memberikan dampak yang luar biasa bagi keengganan para yuris dan pemimpin muslim di negara tertentu untuk membakukan atau mengkodifikasikan suatu pendapat hukum tertentu, karena masih meragukan dasar argumentasi pendapatnya yang dikhawatirkan bertentangan dengan hadis lain yang dijadikan sebagai sandaran / rujukan oleh pendapat hukum yang berbeda. Andaikata para fuqaha atau kaum muslimin menyadari bahwa hadis-hadis yang dijadikan hujjah atau dalil bagi suatu pendapat hukum nilainya lemah dan bertentangan dengan hadis lain yang shahih, tentunya perbedaan pendapat itu bisa diminimalisir. Oleh karena tidak semua ahli fiqh pasti ahli hadis, tentunya umat islam tidak bisa menerima pendapat seorang mujtahid begitu saja, tanpa mengetahui secara persis bagaimana kualitas hadis yang dijadikan sebagai dasar hukum istinbathnya. Dengan demikian, mengetahui aspek kualitas hadis yang digunakan oleh mujtahid ketika ia menyatakan suatu pendapatnya tentang status hukum sesuatu hal, adalah layak dilakukan. Bermazhab yang adil dan bertanggungjawab itu adalah jika kaum muslimin mengetahui alasan-alasan yang digunakan mujtahid yang diikutinya dan bagaimana mujtahid mempersepsikan pandangannya terhadap keabsahan dalil tersebut. Sekali lagi upaya kodifikasi akan sulit diwujudkan jika di tengah-tengah kaum muslimin masih berkembang pendapat hukum yang beragam dengan metode istinbath dan kualitas atau derajat validitas nash yang beragam pula.
Hal lain yang patut dicatat adalah maraknya wacana reaktulasisasi dan revitalisasi terhadap ajaran-ajaran islam lama atau klasik, serta dibukanya pintu ijtihad oleh beberapa reformis islam kontemporer. Fenomena ini merupakan mega proyek abad 15 H sebagai titik balik bangunnya peradaban islam. Muhammad Abduh, Jamaludin al Afghani, Muhammad Iqbal, Hasan al Bana, Fazlurrahman adalah nama-nama penting yang berjasa dalam menyulut api pembaharuan dalam dinamika pemikiran islam modern. Semenjak itu muncul tokoh-tokoh semacam Mohammed Arkoun yang menggagas proyek “Islamologi terapan”, Hasan Hanafi mengusung proyek “Kalam Antrophosentrisme” dan tidak ketinggalan Abdullah Ahmed Na’im yang menggelar mega proyek “Syari’ah Modern” sebagai suatu usaha untuk mengaktualkan kembali ajaran-ajaran islam lama. Tidak bisa dipungkiri gerakan-gerakan yang mereka lakukan itu pastilah bersentuhan dengan pemikiran lama yang mendarah-daging dan memfosil dalam kehidupan keseharian ummat islam. Tidaklah mudah menggeser –atau bahkan menggantikan- sekian banyak warisan pemikiran klasik itu dengan kebutuhan / penafsiran modern. Arkoun jelas-jelas menyarankan agar kaum muslimin mengkritisi kembali warisan keilmuan masa lalu ( Turats) dengan pendekatan yang berbeda dengan yang selama ini digunakan oleh ulama tradisional. Padahal di awal tulisan ini telah dinyatakan bahwa perbedaan pendapat di antara ulama itu lebih banyak disebabkan oleh faktor hadis dengan segala permasalahnnya. Memegangi pendapat secara membabi buta –padahal bertentangan dengan realitas zaman- adalah suatu tindakan yang kurang adil dan tidak bertanggung jawab. Sehingga upaya untuk mengkritisi, mengevaluasi dan memverifikasi warisan klasik (Turast) tidak bisa dipandang sebagai tindakan melawan ijma’, tidak menghargai kecerdasan ulama masa lalu, atau bahkan merasa diri sebagai orang yang paling pintar. Kritis terhadap realitas zaman dengan senantiasa berpegang pada warisan lama yang valid dan sahih, merupakan langkah yang realistis dan mendesak untuk dilakukan oleh kaum muslimin dewasa ini. Oleh karena itu mengkaji hadis dengan segala variasi problem yang dihadapinya, mutlak untuk dilakukan dan bukan merupakan tindakan inkarussunnah sebagaimana tuduhan beberapa orang yang tidak menyetujuinya kritik ulang terhadap kesahihan atau validitas hadis-hadis nabi.
Sementara itu, perkembangan paradigma keilmuan kontemporer, khususnya yang berkaitan dengan model / pendekatan dalam melakukan penafsiran terhadap sebuah teks adalah alasan lain dibalik kajian ini. Tradisi fiqh islam mewariskan kepada kita beberapa tekhnik dalam memahami kandungan makna teks. Ada yang melalui petunjuk di dalam teks (Dalalah Lafdziyah) maupun indikasi-indikasi yang terdapat di luar teks (Dalalah Ghair Lafdziyah). Sementara peradaban barat memperkenalkan beberapa teori penafsiran atau pemaknaan terhadap teks baik lewat pendekatan Hermeneutik maupun uji analisis isi (Content Analysis). Di samping itu beberapa pemikir muslim kontemporer mencoba mendekati hadis lewat pendekatan teori Kebenaran baik teori Korespondensi maupun teori Koherensi. Penggunaan metode Hermeneutik mengundang perdebatan akademis bagi sebagian cendekiawan muslim, mengingat beberapa kekurangan metodologis pada pendekatan ini. Apapun alasannya sulit untuk dibantah bahwa pendekatan ini dalam batas-batas tertentu membantu kaum muslimin dalam menatap dan mengkritisi karya-karya ulama masa lalu. Memahami hadis-hadis yang saling bertentangan dengan kerangka atau cara pandang hermeneutik barangkali bisa lebih memperjelas obyek permasalahan, karena ada hadis yang memiiliki karakter-karakter tertentu maka pemahaman terhadapnya harus menggunakan cara-cara tertentu pula. Pendekatan tekstual dan kontekstual telah lama dikenal oleh umat islam dalam wacana pemahaman nash. Padahal antara hermeneutik dengan dua pemahaman tersebut memiliki titik persamaan yakni, mencermati dan mendalami aspek-aspek di luar redaksi bahasa yang memotivasi Nabi ataupun ulama dalam melakukan suatu tindakan.
Alasan terakhir -dan nampaknya yang paling penting dari semua alasan itu- adanya upaya dari beberapa ulama atau cendekiawan untuk mencari sintesa dari perbedaan antar mazhab sehingga perbedaan ikhtilaf yang berkepanjangan itu segera bisa berakhir. Mendekatkan (mensitesakan) perbedaan mazhab itu tidak akan mencapai keberhasilan, jika nash (al hadis) yang dipegangi oleh masing-masing mazhab tetap tidak tersentuh oleh cakrawala pemikiran ulama. Sejatinya keberadaan hadis pada masa lampau yang ditanggapi berbeda oleh ulama mujtahid kala itu bisa dipandang secara proporsional pada masa kini, agar kaum muslimin tidak terjebak pada lubang ikhtilaf yang sama. Perbedaan mazhab masa lalu banyak disebabkan oleh koleksi hadis yang berbeda-beda dan belum bakunya kriteria standarisasi kesahihan hadis di kalangan mujtahid. Kondisi ini jelas memicu mujtahid untuk menganggap shahih sebuah hadis dengan standar mereka sendiri yang pada gilirannya ia gunakan sebagai dasar atau hujjah / dalil setiap ijtihad atau istinbath yang dihasilkannya. Oleh karenanya jika dewasa ini gerakan penyatuan mazhab hendak dilakukan, maka kerja besar mereka-para penggagas ide penyatuan mazhab ini- adalah mengkaji dan menyeleksi hadis-hadis yang digunakan mujtahid sebagai dasar istinbathiyyah mereka kemudian memverifikasinya dengan jujur tentang kualitas hadis tersebut. Membiarkan hadis-hadis yang lemah atau diragukan kesahihannya dalam kitab-kitab klasik –apapun reputasi pengarangnya- adalah tindakan yang tidak bertanggungjawab. Sehingga kerja besar mereka itu nantinya secara metodologis bisa memiliki validitas dan kredibilitas yang tinggi dalam usahanya merekatkan setiap perbedaan pendapat yang muncul ke permukaan.
Demikianlah beberapa alasan yang mendorong bagi ditulisnya kajian tentang ikhtilaf hadis dan pengaruhnya terhadap perbedaan pendapat. Beberapa alasan di atas barangkali kurang memiliki simpul yang kuat dengan tema penulisan tesis ini. Akan tetapi perlu dicatat bahwa keterkaitan itu memang tidak dalam bingkai efek kejut. Artinya bahwa hubungan antara ikhtilaf hadis dan pengaruhnya terhadap perbedaan mazhab tidak secara langsung disebabkan atau dikenali oleh alasan-alasan yang mendasari kajian tesis ini. Barangkali dibutuhkan waktu dan kondisi tertentu agar ada keselarasan hubungan antara keduanya.


Selengkapnya.....


Oleh : Khoirul Asfiyak


A. Latar Belakang Masalah

Al Qur’an merupakan sumber utama dari berbagai ketentuan yang berkenaan dengan syari’ah baik itu persoalan aqidah, akhlaq, ibadah, lebih-lebih persoalan di sekitar fiqhiyyah. Ia menjadi rujukan utama bagi setiap persoalan hukum yang dihadapi oleh manusia . Sekalipun ia bukan kitab undang-undang dalam pengertian dan sistematika modern, akan tetapi beberapa ayatnya mengindikasikan teks-teks hukum yang manusia dituntut untuk memberlakukan ketentuan tersebut dalam setiap persoalan yang terjadi di antara mereka.



Terdapat sebuah hadis yang mendukung pernyataan ini, sekalipun dari segi sanad ia patut dipertanyakan - yakni:
كيف تقضى اذا عرض لك القضاء ؟ قال: اقضى بكتاب الله قال: فاءن لم تجد فى كتاب الله ؟ قال:فبسنت رسول الله , قال: فاءن لم تجد فيهما؟ قال: أجتهد رأي ولآالوآ….(رواه ابو داود)
Demikian pula al qur’an, ia adalah sumber utama yang digunakan oleh jumhur ushuliyyun di dalam menyusun dan merumuskan metode / manhaj istinbathiyyah dan ijtihad mereka. Melalui pendekatan , pengkajian dan penelitian (istiqra’) yang seksama terhadap ayat-ayat al qur’an, muncullah berbagai metode perumusan dalil (Istidlal ) yang membantu para mujtahid di dalam menganalisa setiap persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Metode-metode ijtihad yang pada masa sekarang dikenal sebagai epistemologi hukum islam itu, sangat membantu para mujtahid / ushuliyyun di dalam memahami teks-teks al qur’an, terlepas dari jenis , varian dan validitas metode yang mereka gunakan. Satu hal yang patut untuk dicatat adalah bahwa metode istinbath itu tidak ada satupun yang patut dianggap paling otoritatif, kredibel dan representatif untuk memahami kandungan makna al qur’an . Sejatinya semua manhaj istinbathiyyah itu keberadaannya saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya.
Adapun al hadis, ia merupakan sumber kedua sesudah al qur’an. Seluruh ulama menyatakan kesepakatan pendapatnya (ijma) terhadap kedudukan al hadis sebagai sumber hukum kedua . Sekalipun tidak bisa dipungkiri sejarah islam masa lalu mencatat adanya sekelompok orang yang meragukan dan bahkan menolak al hadis dijadikan sebagai sumber hukum. Berbagai dalih dan argumentasi mereka paparkan, akan tetapi ulama muhadisin berhasil mempertahankan keaslian hadis karena banyak teks-teks al qur’an yang mendukung dan membenarkan bahwa as sunah adalah sumber kedua setelah al qur’an. Seperti kesaksian ayat-ayat berikut ini:

- وانزلنا اليك الذكر لتبين للناس ما نزل اليهم و لعلهم يتفكرون ( النحل : 44)
- فلا وربك لايؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا فىانفسهم حرج مما قضيت ويسلموا تسليما ( النساء : 65)
- وما اتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا ( الحشر : 7)
- وأطيعوا الله والرسول لعلكم ترحمون ( ال عمران : 132)
- يايها الذين امنوا اطيعوا الله و اطيعوا الرسسول و اولى الامر منكم ( النساء :59)
- يايها الذين امنوا استجيبوالله وللرسول إذا دعاكم لما يحييكم ( الانفال : 34)
- من يطع الرسول فقد أطاع الله ( النساء : 80)
- قل إن كنتم تحبون الله فاتبعونى يحببكم الله ويغفرلكم ذنوبكم ( ال عمران : 31)
- قل اطيعوا الله والرسول فإن تولوا فإن الله لا يحب الكافرين ( ال عمران : 32)
- وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا فضى الله و رسوله أمرا ان يكون لهم الخيرة من أمرهم ومن يعص الله رسوله فقد ضل ضلالا مبينا ( الاحزاب : 36)
Demikian pula secara rasional orang tidak akan bisa mengoptimalkan dan mengoprasionalkan ayat-ayat al qur’an yang disusun dalam bentuk / sighat Am, Mutlaq, mujmal dll. tanpa ada penjelasannya secara rinci tentang bagaimana cara menjalankan ketentuan-ketentuan hukum itu. Dan yang paling otoritatif untuk menjelaskan ayat-ayat seperti tersebut di atas adalah Nabi Muhammad SAW melalui hadis-hadis yang disabdakannya.
Jumhur muhadisin mencatat setidak-tidaknya terdapat tiga fungsi hadis terhadap kandungan makna al qur’an. Adapun ketiga fungsi tersebut adalah sebagai berikut :
a. Fungsi Bayan al Ta’kid
b. Fungsi Bayan al Tafsir
c. Fungsi Bayan al Tasyri’
Oleh karena itu mustahil umat islam bisa melaksanakan aturan-aturan yang terdapat dalam al qur’an, tanpa menggunakan al sunnah sebagai media untuk memahami arti dan maksud yang dikehendaki oleh al qur’an. Ibaratnya al qur’an adalah UUD yang dalam implementasinya di tengah-tengah kehidupan sosial, ia membutuhkan UU dan PP untuk menjalankan aturan yang terdapat pada UUD tersebut. UU dan PP dapat diidentikkan dengan posisi al sunnah, sehingga ia tidak dapat dipisahkan dari keterkaitannya dengan al qur’an.
Hanya saja semenjak wafatnya Nabi, kaum muslimin menghadapi suatu persoalan yang besar dan berat. Sejak saat itu dapat dinyatakan bahwa wahyu / kalamullah telah terhenti untuk berdialog dengan realitas sosial di sekitarnya. Begitu pula pula as sunnah sebagai juru bicara al qur’an tidak lagi bisa menjelaskan secara rinci , detil dan pasti segala bentuk pertanyaan, keraguan dan kesamaran yang terdapat pada teks-teks al qur’an. Pada saat nabi hidup hampir dapat disimpulkan perbedaan pendapat di antara sahabat relatif sedikit, bahkan jarang terjadi. Karena ada figur nabi sebagai figur ideal, yang cerdas dan yang paling otoritatif di dalam menengahi segala bentuk pertikaian pendapat yang terjadi di kalangan shahabat. Adapun semenjak wafatnya Nabi, seketika itu juga kaum muslimin mulai bersitegang dan mulai muncul bibit friksi atau perbedaan pendapat itu. Contoh atau bukti yang paling nyata untuk mendukung pernyataan itu adalah kasus proses pergantian kepemimpinan dari Nabi SAW ke pengganti Beliau. Para ulama yang menekuni persoalan fiqh siyasah menyebutnya sebagai persoalan Istikhlaf. Di sini terbukti bahwa perbedaan pendapat yang terjadi dalam skala massal dan pertama kali itu , adalah kasus pergantian kekuasaaan. Inilah bibit-bibit awal perbedaan pendapat itu, suatu fenomena sosial yang pada zaman Nabi SAW sulit untuk ditemukan.
Semenjak munculnya perbedaan pendapat tentang pergantian kekuasaan tersebut, maka kuantitas dan kualitas ikhtilaf itu sendiri makin hari semakin berkembang. Sejarah mencatat perbedaan pendapat itu tidak melulu persoalan politik (perebutan kekuasaan), akan tetapi merambah pada wilayah yang lebih besar lagi seperti persoalan hukum dan teologi (kalam) . Keduanya diyakini sebagai penyumbang terbesar bagi terkotak-kotaknya kaum muslimin dalam berbagai aliran pemikiran / mazhab / sekte yang satu dengan yang lainnya secara diametral saling berhadap-hadapan . Hal ini masuk akal mengingat posisi nabi sebagai figur yang paling kredibel dalam menengahi setiap perbedaan pendapat yang muncul di kalangan umat islam, tak tergantikan oleh siapapun di antara umatnya. Sehingga masing-masing orang (ulama/cendekiawan) muslim merasa berhak / memiliki hak yang sama di dalam menafsirkan teks-teks agama menurut keyakinan dan kadar intelektual yang mereka miliki. Akibatnya semakin banyaklah penafsir-penafsir teks keagamaan tanpa diketahui mana sejatinya dari semua pendapat itu yang paling benar dan argumentatif . Oleh karena itu disusunlah kaidah-kaidah / metode yang baku / standard di dalam upaya memahami kandungan / maksud teks-teks al qur’an.
Selanjutnya para pengkaji hukum islam mulai mengkaji dan mempelajari kedua sumber ajaran islam itu dalam berbagai seginya. Umpamanya mereka mulai memberikan penekanan yang serius pada aspek bahasa yang digunakan al qur’an / al hadis dalam menjelaskan hukum-hukum yang akan dibebankan pada manusia (mukallaf). Suatu penggunaan bahasa tertentu, akan dilihat dari segi petunjuk (dalalah)-nya dan qarinahnya menuju pada suatu maksud-maksud tertentu yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh bunyi / redaksi ayat tersebut. Maka dibuatlah standarisasi lughawi yang digunakan untuk memberikan interpretasi yang mendekati kebenaran-setidak-tidaknya dalam pandangan ushuliyyun- mendekati maksud redaksi teks hukum tersebut. Di samping sisi kebahasaannya , ulama juga mengkaji isi / kandungan teks hukum (ayat / hadis) dengan berbagai pendekatan yang lazim digunakan dalam perspektif ilmu-ilmu humaniora . Sehingga pada abad IV hijriyah terciptalah ilmu-lmu yang membantu fuqaha/mujtahid di dalam upaya memahami teks ayat/hadis sebagai sumber hukum ajaran islam. Maka berkembanglah ilmu hadis, ilmu qur’an, ushul fiqh, logika dan lain-lain yang membantu para pengkaji hukum islam untuk menyimpulkan maksud sebenarnya dari pembacaan sebuah teks.
Munculnya ilmu-ilmu tersebut tidak serta merta pemahaman terhadap teks menjadi mudah dan terciptanya suatu interpretasi tunggal. Alih-alih kesatuan pendapat terjadi di kalangan ulama dan fuqaha, justru yang terjadi adalah perbedaan pendapat itu semakin melebar. Hal ini disebabkan ilmu-ilmu yang dijadikan sebagai standarisasi pemahaman teks memiliki derajat keterandalan dan validitas yang beragam di kalangan imam mazhab. Sehingga akibat perbedaan metode yang mereka pegangi dalam memahami kedua sumber hukum itu –dan latar belakang keilmuan tentunya-, maka berakibat pula bagi perbedaan pendapat yang muncul.
Al hadis sebagai salah satu teks hukum, tidak memiliki derajat validitas tunggal di kalangan muhadisin , sebagaimana al qur’an yang punya validitas tunggal di kalangan mufassirin. Hal ini diperparah dengan karakter internal dari matan hadis itu sendiri, yang tidak semua orang punya kemampuan untuk memahmai bahasa / ucapan nabi. Hadis nabi dalam bentuk jawami’ al kalim adalah salah satu contoh kualitas internal yang membuat penafsiran hadis menjadi amat subyektif dan multi tafsir. Sehingga sangat sulit ditemukan adanya kesepakatan ulama di dalam memahami arti suatu lafaz –lebih-lebih kesuluruhan matan- dari teks hukum yang sedari awalnya memang mengandung potensi-potensi ikhtilaf tersebut. Belum lagi koleksi hadis yang dimiliki oleh para mujtahid / mazhab itu sendiri juga berbeda-beda.
Oleh karena itu perlu suatu pemahaman ulang untuk mengais kembali setiap warisan keilmuan (Turats) masa lalu dengan cara merekonstruksi dan mendekonstruksi –jika memang mendesak- bangunan ontologi dan epistemologi hukum islam secara lebih cermat dan bertanggung jawab. Salah satu kata kunci untuk merekat kembali perbedaan pendapat di kalangan imam mazhab itu adalah persoalan di sekitar al hadis. Terdapat banyak kondisi baik internal maupun eksternal yang menyebabkan orang berbeda-beda pendapat karena memegangi hadis sebagai dasar hukum. Ada beberapa alasan bahwa al hadis berperan besar bagi wujudnya suatu iklim yang penuh dengan perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan imam mazhab.
Pertama, adanya persepsi dan pengamalan yang berbeda tentang pemberlakuan hadis sebagai dasar atau sumber ajaran islam. Sebagian besar ummat islam meyakini bahwa al hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al qur’an. Sejarah mencatat bahwa semenjak zaman nabi (w.632 M) sampai zaman ummayah (661-750 M) belum terlihat adanya gerakan untuk menolak as sunnah sebagai hujjah dalam agama. Barulah pada awal masa dinasti Abbasiyyah (750 – 1258 M) muncul secara jelas sekelompok kecil ummat islam yang menolak as sunnah sebagai salah satu sumber hukum islam. Hal ini dapat dipahami berdasarkan uraian yang dipaparkan imam al Syafi’I dalam kitabnya al Umm. Mereka itu oleh imam syafi’I dibagi dalam tiga golongan : Pertama, golongan yang menolak seluruh as sunnah, Kedua, golongan yang menolak as sunnah kecuali bila sunnah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk al qur’an, Ketiga, golongan yang menolak as sunnah yang berstatus hadis ahad, golongan ini hanya menerima sunnah yang berstatus hadis mutawatir.
Adanya tarik menarik antara kelompok yang meyakini hadis dapat dijadikan sebagai dalil dengan kelompok yang menolak hadis sebagai dasar ajaran islam menarik untuk dicermati. Kajian ini nantinya akan melihat latar belakang dan faktor-faktor yang menyebabkan adanya gerakan inkarussunnah muncul ke permukaan . Sekaligus untuk menarik benang merah dari hubungan yang terjadi antara bervariasinya kualitas dan kuantitas hadis dengan kemunculan gerakan inkarusunnah itu sendiri. Fenomena gerakan inkarussunnah sudah barang tentu berimplikasi terhadap pola pemikiran keagamaan bagi penganutnya. Oleh karena golongan ini tidak mempercayai hadis sebagai dasar / sumber hukum (mashadir al tasyri’), maka mereka hanya bertumpu pada nash (teks) al qur’an dan rasio semata di dalam mengistinbatkan hukum baik yang bersifat ta’abudiy maupun amaliy. Pada gilirannya penggunaan rasio itu justru melebihi batas kewenangannya, artinya mereka lebih mengandalkaan penafsiran atas teks daripada bunyi literal teks al qur’an itu sendiri. Sehingga tidak bisa dihindarkan lagi antara 2 kelompok ulama tersebut tidak mudah untuk bersatu pendapat dalam persoalan-persoalan furuiyyah ( fiqhiyyah ) yang al qur’an tidak menjelaskan ketentuan-ketentuan hukumnya.
Alasan berikutnya adalah fakta bahwa hadis yang tersebar dalam berbagai karya para ulama muhadisin memiliki derajat kualitas yang berbeda-beda. Sesungguhnya para mukharrij ketika meriwayatkan, menulis dan meneliti hadis, hasil penelitiannya itu bersifat ijtihadiyah. Dalam artian bahwa tidak dapat dibuktikan secara ilmiyah dan syari’y bahwa apa-apa yang mereka tahrijkan itu benar-benar qaul / peristiwa yang menyangkut diri nabi tanpa ada reduksi dan kekurangan / kesalahan di sana sini baik menyangkut penggunaan bahasanya, lebih-lebih yang berkaitan dengan isi, matan atau materi hadisnya. Kesahihan sebuah hadis bersifat zhan , karena metode verifikasi yang digunakan antara ulama yang satu dengan ulama yang lainnya berbeda-beda. Imam abu Hanifah diriwayatkan hanya mensahihkan tidak lebih dari 20 hadis saja. Sekalipun pendapat ini masyhur di kalangan ahli ushul, akan tetapi menurut as Shiba’iy tuduhan itu tidak beralasan. Perbedaan alat uji kesahihan hadis, jelas berdampak secara signifikan terhadap nilai dan kualitas sebuah hadis. Oleh karena itu memahami seluk beluk perbedaan kualitas dan kuantitas hadis adalah mutlak diperlukan bagi siapapun yang hendak berkutat dengan persoalan-persoalan di sekitar hukum islam. Sebagian mujtahid akan berhujjah dengan hadis yang dalam pandangannya bernilai shahih., sementara mujtahid yang lainnya justru menggunakan hadis yang berbeda, dengan anggapan bahwa hadis tersebut juga shahih. Hal yang demikian ini jelas berakibat pada perbedaan hasil pemikiran hukum yang mereka simpulkan dari dua nash yang berbeda dengan dua metode verifikasi yang berbeda pula. Sebagai contoh dalam kitab shahihnya, al Bukhari menggunakan dua kriteria utama untuk mengukur sebuah hadis dapat dinyatakan sebagai hadis shahih ataukah tidak. Kedua tolok ukur tersebut adalah unsur kesezamanan (Mu’ashir) dan unsur perjumpaan ( Liqa’ ). Artinya suatu hadis baru dapat dinyatakan sebagai hadis shahih, jika ia dapat dibuktikan secara meyakinkan rawi-rawi yang terdapat pada sanad hadisnya benar-benar pernah saling bertemu, ada hubungan guru-murid walaupun hanya sekali. Tidak cukup unsur kesezaman digunakan sebagai indikator bersambungnya sebuah sanad hadis. Hal ini berbeda dengan kriteria hadis shahih yang dipegangi oleh imam muslim, menurut beliau kemuttashilan hadis shahih cukup dengan dugaan kuat, bahwa kesezamanan antar dua perawi , menjadi indikator bahwa hadis tersebut tidak gugur sanadnya.


Selengkapnya.....

Oleh : Khoirul Asfiyak

As- Sunnah adalah sumber kedua – setelah al qur’an- dalam penetapan hukum fiqh maupun syari’at. Karena itu pembahasan tentang as sunnah sebagai dasar serta dalil bagi hukum-hukum syari’at dilakukan secara luas dalam semua kitab ushul fiqh dan oleh semua mazhab . Sedemikian pentingnya sampai-sampai al Auza’iy (w. 157 H) menyatakan bahwa al qur’an lebih membutuhkan as sunnah dibandingkan dengan kebutuhan as sunnah terhadap al qur’an. Dalam artian bahwa makna-makan ayang terkandung dalam al qur’an tidak akan bisa difahami dengan baik tanpa mengkaitkannya dengan sunnah nabi SAW tersebut.





A. Pendahuluan

Oleh karena itu setiap mazhab fiqh ketika mengistinbathkan hukum mereka akan mendasarkan dalil-dalilnya dengan menggunakan as sunnah sebagai dsar argumentasi baik yang berupa ucapan , tindakan atau taqrir nabi SAW. Sama saja dalam hal ini, apakah pengarangnya dikenal –dalam sejarah ilmu fiqh- sebagai tokoh atau pengikut madrasah ahlul hadis ataupun madrasah ahlur ra’y.
Demikian pula para ulama sepakat bahwa as sunnah memiliki tiga fungsi utama dalam rangka hubungannya dengan al qur’an, yakni kadangkala ia berfungsi sebagai bayan ta’qid terhdap ketentuan hukum yang ada dalam al qur’an, atau bayan tafsir terhadap kemujmalan al qur’an dan fungsi bayan tasyri’ terhadap segala sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam al qur’an. Oleh karena sedemikian sentralnya keberadaan sunnah nabi itu, banyak musuh-musuh islam berupaya meruntuhkan ajaran islamd engan cara mengkaji dan meneliti as sunnah dengan satu tujuan untuk meragukan dasar-dsar validitas as sunnah sebagai dalil / dsar argumentasi. Penelitian dan kajian-kajian yang dilakukan oleh musuh-musuh islam itu (diantaranya sebagaian dilakukan oleh oreintalis) itu sebenarnya mengajak umat islam untuk meragukan kebenran as sunnah. Dengan diragukannya hadis –hadis yang ada dalam kitab-kitab hadis karya ulama masa lalu, maka robohlah sudah satu pilar agama islam . Sehingga umat islam tidak memiliki kesatuan atau keseragaman dalam memahami al qur’an dan lebih jauh dalam mengaplikasikan ajaran-ajaran syari’at islam tentunya. Inilah tujuan utama kegiatan orientalis dalam mengkaji as sunnah. Yusuf Qardlawiy telah menengarai kelompok (musuh-musuh islam) itu terdiri dari para missionaris dan orientalis dan sebagian lagi murid-murid termasuk orang-orang yang terpesona dengan “metode ilmiah” yang mereka peragakan itu.
Di antara sekian banyak orientalis yang mengkaji, ada 3 nama besar yang berpengaruh dalam kegiatan penelitian hadis. Mereka itu adalah Goldziher , Schahct dan jyunboll. Berikut ini akan dibahas pola pemikiran mereka terhadap kesahihan hadis-hadis nabi saw.

B. Biografi Ketiga Orientalis
Ignaz Goldziher adalah orientalis hungaria yang dilahirkan dari keluarga yahudi pada tahun 1850 Masehi. Ia belajar di Budapest, Berlin dan Leipzig. Pada tahun 1873 ia pergi ke Syiria dan belajr pada Syaikh Thahir al Jazairi. Kemudian pindah ke Palestina lalu ke Mesir dimana ia belajar dari sejumlah ulama al Azhar. Sepulangnya dari al Azhar ia diangkat menjadi guru besar di Universitas Budapest. Karya-karya tulisnya yang membahas masalah keislaman banyak dipublikasikan dalam bahasa Jerman, Inggris dan Prancis. Bahkan sebgaian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan yang paling berpengaruh dari karya-karya tulisnya adalah buku yag berjudul: Muhammadanische Studien, di mana ia menjadi sumber rujukan utama dalam penelitian hadis di Barat. Di samping karyanya yang lain seperti: Le Dogme et Les Lois de L’Islam (The Principle of Law is Islam), Introduction to Islamic Theology and Law, Etudes Sur La Tradition Islamique. Ignaz Goldziher meninggal pada tahun 1921.
Sementara Josepht Schahct adalah seorang profesor kelahiran Silisie Jerman pad atanggal 15-3-1902. Karirnya sebagai orientalis diawali dengan belajar filologi klasik, teologi dan bahsa-bahasa timur di universitas Berslaw dan universitas Leipzig. Ia meraih gelar doktor dari universitas Berslaw pada tahun 1923 ketika berumur 21 tahun. Pada tahun 1925 ia diangkat jadi dosen di Universitas Fribourg dan pad atahun 1929 ia dikukuhkan sebagi guru besar. Pada thaun 1932 ia pindah ke universitas Kingsbourgh dan 2 tahun kemudian ia meninggalkan negrinya jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (universitas Cairo) di Mesir. Ia tinggal di Mesir samapai tahun 1939 sebagai guru besar. Karena meletus perang dunia II Schacht pindah ke Inggris dan belajar lagi di Pasca Sarjana Universitas Oxford. Gelar doktor diraihnya pada tahun 1952. Pada tahun 1954 ia pindah ke Belanda sebagai guru besar di universitas Leiden sampai tahun 1959.Ia pindah lagi ke universitas Columbia New York sebagai guru besar samapai ia meninggal pada tahun 1969.
Adapun G.H.A Jyunboll adalah pendukung setia kedua orientalis di atas. Karya-karyanya antara lain : The Authenticity of The Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt, juga tentang On The Origin of Arabic Prose Reflection on Authenticity, termasuk juga Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna.
C. Pemikiran Ketiga Orientalis tentang Otentisitas Hadis Nabi
Menurut Azami sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian tentang hadis adalah ignaz goldziher dalam bukunya : Muhammadanische Studien sebagaiman ayang dikutip oleh Dr. Ali Hassan Abdul Qadir (1965 : 127) dia mengatakan:”bagian terbesar dari hadis tak lain adalah hasil perkembnaan islam pada abad pertama dan kedua baik dalam bidang keagamaan, politik maupun sosial. Tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa hadis merupakan dokumen islam yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan) melainkan ia adalah pengaruh perkembnagan islam pada masa kematangan”
Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk meyakini otentisitas hadis sudah ada pada masa Nabi, Shahabt ataupun masa tabi’in. Hadis tidak lain adalah karya-karya ulama masa sesudah wafat nabi yang didaarkan pada fenomene-fenomena sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan keaslian hadis nabi adalah berdasarkan pad sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan hadis yang dilakukan oleh Ibn Syihab azZuhri. Menurut Goldziher , al Zuhri mengatakan :
ان هؤلاء الأمرا اكرهنا على كتابة احاديس
(Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz/Hisyam bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadis” )Kata-kata “ahadis” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang aslli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadis” yang berarti hadis-hadis yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadis-hdis yang berasal dari Nabi SAW.( as Sibai’I, 1978:12) Jadi pengertian ucapan al Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang pada saat itu suda ada , akan tetapi belum terhimpun dalma satu buku . semnetara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher radalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada pada saat itu.
Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadis yang dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena par aulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan, karenanya Goldziher kemudian ,menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan ( Azhami, 1982:127). Menurutnya kritik matan hadis itu mencakup berbagai aspek seperti ppolitik, sains, sosio kultural dll. Mengingat bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal dari adat kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani diriwayatkan telah disabdakan oleh Nabi SAW (Gibb, 1983:56-57). Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadis yang artinya berbunyi : “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawu dan Masjid al Aqsha” Menurut Goldziher Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (syria adan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya./ Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam.
Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al Zuhri agar membuat hadis dengan sanad yang bersambung ke Nabi SAW dimana isinya umat islam tidak diperintahkan pegi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawu dan Masjid al Aqsha. Jadi kesimpulannya hadis tersebut tidak shahih karena ia merupakan bikinan ibn Shihab al Zuhri dan bukan sabda Nabi SAW, meskipun hadis tersebut tercantum dalam kitabshahih al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh ummat islam, bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah al qur’an. Dari sini rasanya tidak tertalul sulit untuk menetapkan bahwa tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk meruntuhkan kepercayaan umat islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari yang selam ini telah terbina kokoh sejak abad ketiga hijriah sampai sekarang.
Pemikiran Barat yang “ilmiah” ini ternyata berdampak sangat luas terhadap sleuruh kajian-kajian tentnag islam. Pengaruhnya bukan saja di kalnagan orientalis saja melainkan juga di kalanagan pemikir muslim, misalnya Ahmad Amin, dalam bukunya “Fajrul Ilsam” juga terkecoh dengan meragukan bebrapa hadis akibat teorinya Ignaz tersebut. Begitu pula dengan Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya “Adhwa ‘Ala as Sunnah al Muhammadiyah” ia juga banyak mengikuti metode-metode kritik hadis versi goldziher. Demikian juga Dr. Thoha Husein, Syaikh Muhammad al Ghazaliy, Fazlurrahman dan lain-lain meski dalam batas dan kualitas yang berbeda-beda.
Orientalis berikutnya yang meragukan otentisitas hadis adalah Josepht Schahct, secara umum dapat disimpulkan bahwa pemikiran Josepht Schahct atas hadis banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadis, Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu. Dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadis Nabi SAW, Josepht Schahct menyusun beberapa teori berikut ini :
Pertama, Teori Projecting Back, maksudnya dalah untuk melihat keaslian hadis bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadis Nabi. Menurutnya hukum islam belum eksis pada masa al Sya’bi (110 H) Oleh karena itu jika ada hadis-hadis yang berkaitan denagn hukum islam, maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah al Sya’bi. Hukum islam baru eksis ketika ad akebijakan khalifah Ummayah mengangkat para hakim. Para Qadli ini pada akhirnya menjadi kelompok aliran fiqh klasik. Keputusan-keputusan hukum yang dibuat oleh mereka tentunya memmerlukan legitimasi dari “orang-orang yang memiliki otoritas” lebih tinggi. Karena itu keputusan itu mereka nisbahkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya, yang otoritatif dan kharismatik, tidak saja pada ulama yang jarak wafatnya dengan mereka dekat, melainkan juga dinisbahkan kepada tokoh yang jauh di be;lakangnya. Langkah selanjutnya untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat pendapat /keputusan hukum itu dinisbahkan kepada kepada tokoh yang lebih tinggi mislanya abdullah bin Mas’ud dll. Dan pada akhirnya keputusan itu dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW . Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad hadis menurut prof. Josepht Schahct yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pemdapat itu kepada tokoh-tokoh sejarah masa lalu .
Gerakan penisbahan hadis yang dilakukan oleh aliran fiqh klasik ini diimbangi oleh gerakan oposisi dari kalangan ahli hadis (madrasah hadis) Merka mulai enafsirkan hadis-hadis nabi untuk mengiumbnagi dan memngalahkan aturan-aturan yang dibuat oleh kelompok aliran fiqh klasik. Caranya dengan membuat sanad yang diakui kevalidannya bersambung dari seorang perawi samapi kepada Nabii SAW (Ya’qub,1995:22). Kesimpulan dari teori Josepht Schahct ini adalah baik kelompok ahli fiqh maupun kelompok madraah hadis, keduanya sama-sama memalsu hadis! Karena itu Josepht Schahct mengatakan : We shall not meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic (Schacht, 1975:149) (kita tidak akan dapat menemukan satupun hadis nabi yang berkaitan dengan hukum yang dapat dipertimbangkan sebagai hadis shahih)
Kedua, Teori E Silentio, sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadis dan gagal menyebutkannya/ jika satu hadis oleh sarjana (ulama/perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana sebelumnya menggunakan hadis tersebut, maka berarti hadis tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadis ditemukan pertam kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadis itu eksis/ tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadis itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi (Schacht,1975:40)
Ketiga, Teori Common Link, yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa dalam sebuah susunan sanad kadang terdapat tambahan tokoh-tokoh tertentu untuk mendukung keabsahan sebuah riwayat (Schacht,1975:167) Semua sanad yang terdiri dari hubungan keluarga (antara bapak dan anaknya) adalah palsu (Schacht,1975:169). Isnad keluarga tidak menjamin keaslian bahkan dipakai sebagai alat untuk membuat sebuah hadis kelihatan tanpa cacat (Schacht,1975:170). Sehingga isnad atas dasar famili adalah isnad buatan yang digunakan untuk jalur penghubung antara satu kelompok perawi dengan perawi lainnya.
Sembari mengutip karya imam syafi’I dalam kitab :ikhtilaful hadis, halaman 294 Josepht Schahct memberi contoh :
Nabi Nabi

Laki-laki dari Banu Salama Jabir bin Abdullah

‘Amr bin Abi ‘Amr

Sulaiman bin Bilal Ibrahim bin Muhammad Abdul Aziz

Imam Syafii

Amr bin abi Amr inilah yang disebut sebagai tokoh penghubung yang tanpa rgu-ragu diletakkan untuk menghubungkan anatra kelompok perawi satu dengan perawi lainnya (Schacht,1975:172). Dengan alasan bahwa biar isnadnya bersambung antara Muthalib dengan Sulaiman, Ibrahim dan Abdul Aziz, Muthalib menggunkan amr (bekas budaknya/berarti hubungan wala’) sebagai penghubuhng dirinya dengan ketiga perawi lain yang tak sezaman dengan dirinya.
Inilah dasar-daar pemikiran yang disusun Josepht Schahct untuk membuktikan bahwa kebanyakan hadis nabi adalah hasil rekayasa para ulama abad 2 hijriya.
Adapaun pemikiran orientalis yang ketiga adalah G.H. A. Jyunboll, dalam bebrpa karyanya seperti Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna, Jyunboll melakukan kritik hadsi yang sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih dari mengulang-ulang atau mendukung gagasan schacht dalam bukunya the Origin of Muhammadans Yurisprudence. Menurut muhadisin, isnad baru dipergunakan secra cermat setelah terjadiny a”fitnah” tragedi pembunuhan khalifah ustman (656 M) Jyunbolll menolak anggapan ini dnegan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad baru dimulai ketika “fitnah” tragedi peperngan antara abdullah bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya hadis-hdis palsu. Seperti hadis “man Kazaba…” Jyunboll menemukan sekurang-kurangnya 5 jalur sanad yang disandarkan pada abu hanifah. Dia beranggapan hadis itu disusun pada saat-saat tertentu setelah abu hanifah wafat. Hal ini sangat rasional mengingat abu hanifah adalah merupakan tokoh yang serig mengenyampingkan hadis (Jyunboll, 1960:121). Oleh karena itu jika ada koleksi hadis yang menggunakn namanya, maka hal tersebut harus dipandang sebagai ahsil dari suatu usaha dari par pendukung mazhab hanafi untuk mengkompromikan perbedaan antara madrasah ahl al ra’y dengan madrasah ahl al hadis (Jyunboll, 1960:123).
Jyunboll mendukung teori e silentionya schacht sembari menambahkan bahwa kolektor hadis (mukharrij) yang koleksi hadisnya berbeda atau tidak menemukan hadis yang dikoleksi oleh kolektor sebelumnya atau sesudahnya padahal hadis itu terkenal, dapat dijadikan alasan untuk meniadakan kebenaran hadis itu (Jyunboll, 1960:98).
Demikian juga dengan teori Common Linknya schacht dia menyebutnya sebagai teori yang brilliant (Jyunboll, 1960:207) sekaligus mendukungnya dengan menyimpulkan bahwa pertama, fenomena (tokoh penghubung) merupakan gambaran riel bagi ahl al hadis abad pertengahan, kedua, ulama muhadisin tidak pernah menjadikan fenomena (tokoh penghubung) itu sebagai alat untuk menyelidiki kepalsuan suatu hadis (Jyunboll, 1960:205).

B. Bantahan Para Ulama terhadap Kritik Orientalis
Pendapat Goldziher bahwa hadis belum merupakan dokumen sejarah yang muncul pada masa-masa awal peertumbuhan islam disanggah oleh bebrapa pakar hadis. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya. Karena ketidaktahuan mereka (kekurangpercayaan) pada bukti-bukti sejarah. Orientalis lain yakni Nabia Abbot, justru mengajukan buktii-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencattan hadis pada awal-awal periode islam, dalam bukunya Studies in Arabic Literary Papyri. Abbot menyimpulakn bahwa penulisan hadis bisa direkonstruksikan dalam 4 fase: pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah, ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn Syihab al Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadis kedalam buku-buku fiqh (Abbot, : 289) Sisi metodologi yang dikritik Azhami adalah bahwa kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakn perkembangan hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadis ritual. Sebgai contoh dari 47 hadis yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan topik yang didiskusikan (Azhami, :118)
Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab az Zuhri , Azhami menyatakan bahwa tiadak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi al Ahadis, akan tetapi ditulis dengan lafaz ahadis saja. Demikian juga ternyata tuduhan Goldziher bahwa al Zuhri dipaksa khalifah abdul malik bin marwan (yang bermusuhan dengan ibn Zubair) untuk membuat hadis, adalah palsu belaka. Hal ini mengingat al Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu dengan abdul malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya ibn Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Bahkan as Sibai menantang abdul Qadir profesornya untuk membuktikan kebenaran teks al Zuhri . Pada akhirnya terbukti bahwa Abdul Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen yang tidak ilmiah (Jyunboll,1999:51). Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadis itu sendiri. Sebagaiman atermaktub dalam kitab shahih Bukhari hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wjar mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertma bagi ummat islam.
Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada matan ( Shalih, 1988:284-287). Hanya saja secara teori memnag kurang mendapat porsi publikasi yang berimbang dibanding kritik sanad. Bahkan ternyata tawaran metodologis Goldziher itu dalam praktiknya justru mengundang kelemahan, karena alat analisa yang digunakan adalah bukku-buku sejarah (sirah Nabi) atau kitab-kitab maghazi dan kitab-kitab fiqh yang tidak terjaga ketelitian periwayatan sanadnya (Ismail, 1995:76-82)
Berikutnya adalah sanggahan terhadap kritikan Joseph Schahcht sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut Azhami kesalahan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat /sumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafi’I tidak bisa dijadiakan sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis (Azhami, 1978: ) . Azhami dalam rangka meruntuhkan teorinya schacht telah melakukan penelitian terhdap beberapa naskah hadis –dengan sanad abu hurairah, abu shalih, suhail…dst- yang ternyata dari hasil kajiannya sangat mustahil hadis bisa dipalsukan begitu saja (Azhami, :199).
Sementara teori e Silentio-nya schacht dikritk oleh Ja’far Ishaq Anshari salam buku beliau : The Authenticity of Tradition, A Critique of Joseph Schacht‘s Argument e Silention, begitu pula Azhami dalam On Schacht …Keduanya berkesimpulan bahwa schacht melakukan kontradiksi dalam berargumen, sebab dalam bukunya the origin ..schacht mengecualikan teorinya itu terhadap referensi yang berasal dari 2 generasi di belakang syafi’I ( Schacht, :57) , kenyataannya schacht justru menggunakan muwatha’nya Imam Malik dan Syaibaniy sebagai data-datanya- yang itu adalah referensi yang valid menurutnya. Muwatha’ adalah suatu karya yang oleh Ignaz Goldziher dikritik sebagai bukan kitab hadis dengan alasan (1) belum mencakup seluruh hadis yang ada (2) lebih menekankan pada aspek hukum , kurang fokus pada penyelidikan penghimpunann hadis (3) campuran qaul Nabi, Shahabatdan tabi’in (Ismai’,1995:115). Di samping itu Azhami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut. Sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru karena tidak mendukung teori hukum yang mereka anut (Azhami, : 119-121). Ketidakkonsistenan schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi (Azhami, :118)
Teori ketiga Schacht “ Common Link” juga tak lepas dari kritik Azhami . Menurut beliau schacht tidak cermat atau bisa jadi tidak memahami sanad yang dipakai syafi’I dalam bab Ihktilaf al Hadis halaman: 249 tersebut. Seharusnya ,menurut Azhami skema sanad yang beanr adalah :
Nabi Nabi

Jabin bin Abdullah Jabir bin Abdullah

Muthalib

‘Amr bin Abi ‘Amr

Sulaiman bin Bilal Ibrahim bin Muhammad Abdul Aziz

Imam Syafii

Sebab Imam Syafii telah menjelaskan bahwa abdul ‘aziz salah menyebut ‘Amr dengan sebutan “laki-laki dari banu salama” . Ibrahim bin Yahya lebih Siqah dari Abdul ‘Aziz dan pernyataannya didukung oleh sulaiman sehingga ‘Amr adalah satu-satunya perawi yang dijadikan sandaran oleh ketiga perawi tersebut (Azhami, : 199).
Terhadap kritik Jyunboll bahwa hadis palsu mulai muncul semenjak terjadi fitnah , yakni kasus permusuhan antara ‘abdullah bin Zubair dengan Muawiyah adalah lemah. Ulama ahli sejarah hendak memerinci dengan detil istilah-istilah keagamaan yang berbau politik sehingga bisa dibedakan suatu istilah tertentu pastilah merujuk pada peristiwa tertentu. Dan Ucapan Ibn Sirin bahwa sanad mulai digunakan ketika terjadi fitnah, maka yang beliau maksud dengan fitnah di sini adalah peristiwa terbunuhnya Utsman.
Selebihnya karena pemikiran Jyunboll lebih banyak mendompleng pemikiran schacht /Goldziher , maka ulama hadis kontemporer tidak banyak memberikan eaksi terhadap ide-ide Jyunboll.
Demikian makalah ini disusun kesimpulannya adalah bahwa ketekunan dan minat/gairah intelektual para orientalis untuk mempelajari hadis patut untuk direspon dengan baik. Hanya saja niat dan tujuan mereka yang jahat itulah yang patut diwaspadai . Keseluruhan ulama pendukung hadis, yakin bahwa kajian-kajian islam (terutama al hadis) yang dilakukan oleh orientalis tidak dimaksudkan kecuali dengan tujuan meragukan dan menyanggah kebenaran dasar-dasar syari’at islam.
Oleh karena itu ummat islam dituntut untuk terus mengkaji dan mengembangkan studi yang lebih intensif dan metodologis dalam rangka mempertahankan serangan-serangan dari fihak di luar Islam dan sekaligus mengembangkan pemahamna-pemahaman baru yang bisa lebih diterima oleh pemikiran yang rasional dan bertanggung jawab. Akhir al kalam Wallahu a’lam bi al Shawab.

Selengkapnya.....

Oleh ; Khoirul Asfiyak

A. HADIS PADA ZAMAN NABI

Membicarakan keberadaan hadis pada masa Nabi tidak bisa dipisahkan dengan bahasan tentang pribadi Nabi sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena hadis adalah segala aktifitas yang berkaitan dengan diri Nabi. Oleh karena itu pada bab ketiga akan dibicarakan tentang proses-proses dan kegiatan Nabi di dalam mengajarkan hadis-hadis beliau tersebut.



Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Mustafa Azami (1992:27) ada tiga metode atau manhaj yang ditempuh oleh Nabi di ketika mengajarkan hadis-hadis tersebut. Adapun metode yang dimaksud adalah :
1. Metode Pengajaran Hadis secaara verbal/lisan.
2. Metode Pengajaran Hadis secara Tertulis
3. Demontrasi (Praktek aktual)
Berikut ini akan dibicarakan secara garis besar masing-masing dari ketiga jenis metode
pengajaran hadis tersebut di atas.

I. Metode Pengajaran Hadis secara Verbal.

Melihat posisi sentral Beliau sebagai penyampai ajaran islam, maka secara tidak langsung Nabi sendiri adalah guru yang sesungguhnya terhadap sunah/hadis-hadisnya. Adapun langkah-langkah yang beliau tempuh untuk mengajarkan hadis-hadis tersebut adalah dengan mengulang-ulang ucapan beliau sebanyak tiga kali demi memudahkan menghafal dan memahami ucapan beliau tersebut.
Sekali waktu beliau menyempatkan diri untuk mendengarkan kembali segala ajaran-ajaran yang pernah disampaikan, demi memeriksa apakah ucapan beliau itu sudah dapat difahami secara benar oleh para sahabat/belum. Sebagaimana dapat dilihat pada kitab shahih Bukhari bab wudlu hadis no 75. Pengajaran hadis pada masa yang paling dini tidak melulu hanya berasal dari diri Nabi saja. Pada saat-saat tertentu ketika sahabat menghadapi suatu persoalan yang tidak didapatkan ketentuannya dalam ayat-ayat
al qur’an atau ajaran Nabi yang selama ini pernah mereka dapatkan, para sahabat banyak yang mengajukan berbagai macam pertanyaan. Bukti yang otentik terhadap pernyataan tersebut adalah adanya penggunaan kalimat “yas’alunaka” dan “yastaftinunaka” dalam berbagai ayat- ayat al qur’an. Tidak dapat dipungkiri bahwa al qur’an menggunakan kalimat ini adalah karena adanya suatu pertanyaan dari sahabat dan Nabi merasa tidak berkompeten untuk menjawabnya. Maka turunlah ayat yang menjelaskan semua pertanyaan-pertanyaan sahabat tersebut. Ayat-ayat ini menjadi bukti bahwa proses pembelajaran pada masa nabi tidak hanya berasal dari diri beliau, akan tetapi mengikutsertakan secara timbal balik peran serta dari sahabat-sahabatnya. Sehingga bisa diidentifikasikan bahwa terhadap pertanyaan sahabat yang bisa dijawab oleh Nabi, maka konteks ucapan itu menjadi sebuah hadis/sunah. Sementara terhadap pertanyaan sahabat yang Nabi menangguhkan dan menyerahkan persoalan itu kepada Allah, sambil menunggu keputusan wahyu, maka konteks jawaban itu menjadi satu bagian dari al qur’an.

2. Metode Pengajaran Hadis secara Tertulis

Sejarah mencatat bahwa sebagai seorang pemimpin tertinggi dari sebuah kekuasaan yang berpusat di Madinah, Nabi Muhammad telah melakukan suatu kebijaksanaan yang dalam istilah kekinian disebut sebagai praktek-praktek otorita-administratif. Berbagai dokumen resmi baik berupa surat menyurat atau hasil kerja sama termasuk di antaranya
piagam, perjanjian, traktaat atau apapun istilahnya yang dikirimkan atau yang dibuat dengan fihak-fihak yang lain merupakan suatu bukti yang otentik bahwa Nabi mengajarkan hadisnya dengan secara tertulis.
Surat-surat Beliau kepada para panglima atau komandan perang, gubernur muslim atau penguasa daerah lainnya juga kepada penguasa atau raja non muslim yang diajak masuk islam merupakan suatu bentuk pengajaran hadis secara tertulis. Setiap surat tertulis yang dibuat oleh Nabi lewat sebagian kuttab-nya, kadangkala secara panjang lebar menjelaskan dan merangkum tentang berbagai masalah hukum yang berkaitan dengan zakat, pajak, bentuk-bentuk ibadah dan lain sebagainya disesuaikan dengan orang atau fihak yang disurati.
Semua surat-surat yang dikirimkan oleh beliau itu tentunya bukan beliau sendiri yang menulisnya. mengingat bahwa beliau adalah pribadi yang ummiy, tidak bisa membaca dan menulis. Berdasarkan apa yang diinformasikan oleh Mustafa al azami (1992:28) Nabi memiliki sekitar 45 penulis-penulis wahyu atau penulis untuk kepentingan aktifitas kenegaraan beliau.
Sebuah hadis yang amat terkenal barangkali bisa menjadi bukti bahwa Nabi memang memiliki beberapa kuttab yang melayani segala keperluan beliau, hadis tersebut berbunyi : اكتبوا لابي شاه ( الحديث )
bunyi teks hadis ini berkaitan dengan suatu peristiwa yang terjadi pada haji wada’ diketika itu Nabi menyampaikan suatu ajaran-ajaranNya dan ada seorang ulama Yaman yang merasa berkepentingan dengan isi ajaran yang disampaikan oleh beliau tersebut. Pada akhir ceramahnya ulama tersebut meminta kepada Nabi agar bersedia menuliskan inti ceramah tersebut untuk dirinya. Kemudian nabi menyuruh para sahabatnya untuk menulis ajaran yang baru saja beliau sampaikan. Sekali lagi ini adalah bukti bahwa proses pengajaran hadis nabi itu kadangkala menggunakan media tulisan.

3. Metode Pengajaran Hadis dengan cara Demonstrasi (Praktek Aktual)

Hukum-hukum yang terdapat di dalam al qur’an kadang tersusun dalam sighat ‘Am dan mutlaq. Oleh karena itu maka diperlukan suatu penjelasan dan penafsiran dari Nabi tentang beberapa kewajiban syar’i dan larangan-larangan syar’i agar bisa dijadikan pedoman bagi ummat islam untuk menaati seluruh ajaran islam tersebut. Dalam banyak hal perintah-perintah al qur’an di sampaikan dalam bentuk yang tidak terperinci. Umpamanya kewajiban tentang sholat, zakat puasa dan lain-lain, ketiga bentuk kewajiban di dalam al qur’an ini tidak diikuti dengan suatu penjelasan yang rinci tentang bentuk, jumlah dan cara bagaimana kewajiban itu bisa dilaksanakan oleh ummat islam. Oleh karena itu datanglah as sunnah untuk memerinci bentuk-bentuk dan ukuran atau jumlah dan perincian dari masing-masing kewajiban tersebut. Proses bagaimana Nabi menjelaskan hukum-hukum dalam bentuk yang detail itu, sesungguhnya merupakan satu bagian dari sunnah Nabi dalam bentuk demonstrasi atau praktek yang aktual dari beliau. Hadis-hadis yang berupa penjelasan ketentuan umum al qur’an atau hadis-hadis yang memang merupakan hukum yang ditetapkan nabi sebagai syari’ dalam bentuk perilaku atau perbuatan tertentu termasuk metode yang ditempuh oleh Nabi dalam rangka mengajarkan as sunnah terhadap sahabatnya. Cara-cara berwudlu’ , kaifiyah sholat, cara manasik haji adalah salah satu dari metode pengajaran yang diajarkan langsung oleh Nabi.

A. Penulisan hadis pada zaman Nabi

Sejarah periwayatan hadis nabi berbeda dengan sejarah periwayatan al qur’an. Periwayatan al qur’an dari nabi kepada para sahabatnya berlangsung secara umum dan massal. Para sahabat setelah mendengarkan ayat-ayat al qur’an yang disampaikan langsung oleh nabi Muhammad, mereka lantas menghafalnya. Di samping itu dikalangan para sahabat nabi ada yang membuat catatan ayat-ayat tersebut. Para pencatat itu ada yang disuruh oleh nabi dan ada yang karena inisiatif mereka sendiri. Kemudian secara berkala hafalan para sahabat itu diperiksa oleh Nabi Muhammad. Sementara hafalan nabi sendiri menurut beberapa riwayat yang mu’tabar diperiksa oleh jibril pada tiap bulan ramadlan, dan khusus pada tahun kewafatannya hafalan Nabi diperiksa dua kali. Kemudian setelah nabi muhammad wafat periwayatan al qur’an berlangsung secara mutawatir juga dari zaman kezaman. Periwayatan itu bukan hanya secara lisan saja, melainkan juga secara tertulis. Khusus periwayatan dalam bentuk tertulis, penghimpunan seluruhnya secera resmi dilaksanakan pada zaman khalifah Abu Bakar al Shidiq (w. 13 H) dan digandakan kemudian disebarluaskan dengan tujuan keseragaman bacaan pada zaman khalifah Ustman bin Affan (w. 35 H), karenanya sangat sulit orang-orang yang tidak bertanggung jawab mengadakan pemalsuan al qur’an. Fakta sejarah ini merupakan salah satu bukti kebenaran jaminan Allah terhadap pemeliharan al qur’an pada sepanjang zaman. Adapun periwayatan hadis hanya sebagian kecil saja yang berlangsung secara mutawatir periwayatan hadis yang terbanyak berlangsung secara ahad (Abu Rayyah, Tt : 279-280).
Dalam pada itu suatu ketika nabi pernah melarang para sahabatnya untuk menulis hadis Nabi. Nabi memerintahkan para sahabat agar menghapus seluruh catatan selain dari catatan ayat al qur’an. Pada kesempatan lain Nabi Muhammad saw pernah pula menyuruh para sahabat untuk menulis hadis. Nabi menyatakan apa yang keluar dari lisannya adalah benar karena itu nabi Muhammad saw tidak berkeberatan bila hadisnya ditulis. Jadi dilihat dari kebijaksanaan nabi sendiri dapatlah dinyatakan bahwa hanya sebagian saja periwayatan hadis berlangsung secara tertulis pada masa Nabi. Sekiranya Nabi tidak pernah melarang sahabat untuk menulis hadis, niscaya masih juga tidak mungkin seluruh hadis dapat ditulis pada zaman Nabi. Hal ini disebabkan karena (a) terjadinya hadis tidak selalu dihadapan sahabat nabi yang pandai menulis hadis (b) perhatian nabi sendiri sebagaimana yang tampak dalam sabdanya yang melarang penulisan hadisnya demikian juga para sahabat nabi pada umumnya lebih banyak tertuju kepada pemeliharaan qur’an. (c) walaupun nabi memiliki beberapa orang sekretaris, akan tetapi para sekretaris itu hanya diberi tugas untuk menulis wahyu yang turun dan surat-surat nabi. dan (d) sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal seseorang yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain, apalagi dengan peralatan yang masih sangat sederhana. Jadi bagaimanapun periwayatan hadis lebih banyak berlangsung secara lisan dari pada secara tertulis.
Selama ini seolah-olah berkembang suatu pendapat yang menyatakan bahwa sebelum islam lahir bangsa Arab tidak mengenal dan mengerti kegiatan tulis menulis dan tidak membiasakannya, karena kelangkaan sarana yang ada dan adanya kepercayaan mereka terhadap ingatan dalam memelihara warisan lama cerita dan karya sasteranya. Suatu hal yang tidak dapat disangsikan lagi bahwa bagian utara jazirah arab sudah mengenal baca tulis. Makkah, sebagai kota perdagangan menjadi saksi akan adanya orang-orang yang dapat membaca dan menulis lebih banyak daripada kota madinah. Sekalipun ada anggapan yang menyatakan bahwa Makkah pada waktu itu hanya memiliki beberapa puluh orang saja yang mampu baca tulis, akan tetapi menurut hemat Dr. Subhi Shalih (1988:24) sekalipun pendapat itu dianggap benar, tentunya tidak berasarkan pada perhitungan secara mendetail atau berdasarkan suatu penelitian yang benar-benar ilmiah. Jadi khabar tersebut lebih bersifat perkiraan (spekulatif) yang tidak meyakinkan. Hanya saja kita memang tidak memiliki bukti-bukti dan dalil-dalil baik aqli maupun naqli yang bisa menguatkan dugaan kami akan banyaknya orang Arab pada masa itu yang dapat membaca dan menulis.
al Khatib al Baghdady (w.463 H) adalah seorang yang paling banyak melakukan kajian terhadap hadis-hadis tentang penulisan hadis pada masa nabi muhammad saw. Bukunya yang berjudul Taqyid al ‘Ilm adalah buku yang paling bagus yang membahas masalah tersebut dan sampai sekarang belum ada buku lain yang mengungguli buku al Bagdhady tersebut. Pada masa-masa terakhir ini memang telah terdapat buku-buku yang membahas penulisan hadis, namun tidak meruipakan kajian khusus untuk masalah penulisan hadis. Misalnya karya Muhammad ‘Ajjaj al Khatib yang berjudul as sunnah qabla tadwin dan karya Muhammad Mustafa al Azamiy yang berjudul Dirasat fi al Hadis an Nabawiy wa Tarikh Tadwinih.
Al Bagdadiy menuturkan bahwa ada tiga buah hadis yang melarang penulisan hadis masing-masing diriwayatkan oleh Abu Said al Khudriy, Abu Hurairah dan Zaid bin Tsabit. Dari ketiga jalur ini yang dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya adalah riwayat yang disampaikan oleh oleh abu Said al Khudriy. yaitu hadis yang berbunyi :
لا تكتب عني غير القران و من كتب عني غير القران فليمحه ( الحديث )
Pada saat yang sama terdapat pula delapan buah hadis yang mengizinkan bahkan menyuruh para sahabat untuk menulis hadis. Antara lain pada waktu kota Makkah dibebaskan (Fath Makkah) Nabi muhammad saw berpidato dihadapan ummat islam. Ketika itu ada seorang yang berasal dari daerah Yaman yang bernama Abu Syah meminta kepada Nabi untuk dituliskan isi pidato itu kepadanya. Nabi muhammad saw kemudian menyuruh para sahabat “Tuliskan untuk abu Syah” (Ya’qub,1995:61)
Hadis-hadis yang memerintahkan penulisan hadis ini secara umum juga dinilai shahih. karenanya kini terdapat dua versi hadis, yang satu melarang penulisan hadis, dan yang kedua menyuruh penulisan hadis. Dua versi hadis ini tidak mungkin ditinggalkan semuanya atau salah satunya, karena kedua-duanya sama-sama kuat kualitasnya. Maka para ulama menempuh metode jama’ yaitu menggabungkan pengertian kedua versi hadis itu dengan alternatif-alternatif sebagai berikut :
pertama , larangan penulisan hadis itu telah dihapus (dinasakh) dengan hadis-hadis yang mengizinkan atau menyuruh penulisan hadis.
kedua, larangan penulisan hadis itu berlaku apabila hal itu dilakukan dalam satu lembar kertas kerja bersama al qur’an, karena bila hal ini tejadi dikhawatirkan al qur’an akan tercampur dengan al hadis.
Prof. Dr. M. M. Azami seorang pakar ilmu hadis masa kini cenderung kepada alternatif yang kedua dengan alasan bahwa nabi Muhammad saw pernah mendiktekan hadisnya kepada para sahabat dan beliau juga mengizinkan para sahabat untuk menulis hadis. Dengan demikian argumen kelompok inkar as sunnah yang berkeyakinan bahwa al hadis tidak pernah terdokumentasikan atau tertulis pada masa nabi, karena ada hadis yang melarang untuk itu- tidak dapat dibenarkan secara ilmiah. Justru sebaliknya nabi Muhammad saw pernah mengizinkan bahkan menyuruh para sahabat untuk menulis hadis.
Sesungguhnya dari sekian banyak pendapat dan dasar argumentasi yang dimunculkan oleh orang yang meragukan adanya penulisan hadis pada masa nabi, sebagian besar berasal dari orang-orang yang tidak memiliki keahlian dibidang ilmu hadis, atau Ia hanya memiliki sedikit saja pengetahuan tentang al hadis. Kemudian atas sebab satu dan lain hal Ia mengemukakan pendapatnya yang menyalahi kebenaran itu, sekalipun sesungghuhnya tanpa bekal yang memadai.
Apabila umat islam pada masa awal telah memiliki kemampuan untuk menulis dan membaca dan apabila nabi Muhammad saw telah menganjurkan para sahabat untuk menulis hadis, maka pertanyannya yang muncul sekarang ini adalah apakah ada suatu dokumen sejarah yang mampu memberikan bukti yang cukup signifikan bahwa para sahabat telah menulis hadis pada masa itu, atau dengan kata lain apakah ada kitab-kitab hadis yang ditulis pada masa awal islam ?
Pertanyaan semacam ini selalu muncul kepermukaan karena masih ada sementara orang yang beranggapan bahwa orang yang pertama kali menulis hadis adalah ibn Syihab az Zuhri pada masa pemerintahan khalifah umar bin abdul aziz. Fakta sejarah menyajikan sebuah bukti bahwa imam ibn Syihab az Zuhri meninggal pada tahun 123 H, maka ada sementara orang yang berkesimpulan bahwa penulisan hadis yang pertama kali pastilah baru dimulai jauh sesudah wafatnya nabi Muhammad saw. hal ini disebabkan karena jauhnya jarak waktu antara masa hidup nabi Muhammad saw dengan penulisan hadis beliau maka akan mungkin sekali terjadi pemalsuan-pemalsuan terhadap hadis sehingga tingkat otentisitas dan validitasnya tidak dapat dipertanggung jawabkan. dan karenanya hadis tidak dapat dijadikan sumber syari’at islam.
Sesungguhnya kesimpulan yang bisa ditarik adalah bahwa tradisi tulis menulis sudah tersebar pada masa nabi Muhammad Saw., dalam scope yang lebih luas daripada masa pra-islam. Sebab al qur’an telah memerintahkan belajar dan Nabi muhammad sendiri juga menganjurkan akan hal itu. Karakter risalah membawa konskuensi maraknya para pelajar, pembaca dan penulis karena wahyu memerlukan juru tulis. Surat-surat perjanjian-perjanjian dan keputusan-keputusan yang menyangkut aspek kenegaraan juga memerlukan juru tulis. Kenyataan menunjukkan bahwa setelah islam datang banyak terdapat juru tulis untuk memenuhi kebutuhan negara yang baru. Rasulullah saw memiliki penulis-penulis wahyu yang jumlahnya mencapai empat puluh orang. Beliau juga memiliki ahli tulis sedekah ahli tulis hutang piutang dan ahli tulis untuk surat menyurat dengan bahasa asing (al Khatib, 1988:129) Nama-nama penulis rasulullah saw yang disebutkan oleh sejarawan tidaklah menunjukkan jumlah yang terbatas. Sejarawan hanya menyebut mereka yang kontinyu menulis dihadapan Nabi. Ini nampak jelas dalam pernyataan as Mas’uidy: Nama-nama penulis rasulullah saw yang kami sebutkan hanyalah mereka yang menjadi penulis tetap, melakukan kegiatan tulis menulis setiap hari dan yang menekuni keahlian itu dalam waktu yang relatif lama. Memang ada riwayat-riwayat shahih berkenaan dengan orang yang diperintah oleh nabi muhammad saw menulis satu, dua atau tiga buah surat. Akan tetapi hal itu tidak bisa menjadikannnya mendapat sebutan penulis. Disamping itu penyebutan tersebut juga dikaitkan dengan jumlah tulisannya.(al Khatib, :129)
Jumlah penulis jadi bertambah banyak setelah hijrah nabi ke Madinah, tatkala pemerintahan islam telah stabil. Sembilan masjid yang ada di madinah disamping masjid rasulullah saw menjadi pusat kegiatan kaum muslimin. Mereka mempelajari al qur’an al karim ajaran-ajaran islam, membaca dan menulis. Kaum muslim yang mampu tulis, baca tanpa memungut upah mengajari kawan-kawannya. Yang paling terkenal di antara pengajar-pengajar masa awal itu adalah sa’d ibn ar rubi’ al khazrajiy , salah seorang di antara dua belas perwira kesohor. Busyair bin sa’d ibn tsa’labah, abban ibn sa’d ibn al ‘ash dan lain-lain.
Di samping masjid-masjid itu ada juga sekolah-sekolah tempat anak-anak belajar tulis menulis dan membaca, disamping belajar al qur’an al karim. Sesungguhnya belajar tulis menulis tidak hanya berlaku di kalangan anak laki-laki saja. Akan tetapi kaum wanita juga mempelajarinya dirumah mereka. Abu Bakar ibn Sulaiman ibn abi Khaitsamah meriwayatkan dari asy Syifa’ binti Abdullah bahwa Ia berkata : Rasulullah saw mengunjungiku pada saat aku berada bersama Hafshah lalu bersabda kepadaku :

ألا تعلمين هذه رقية النملة كما علمتها الكتابة
artinya :”Mengapa kamu tidak mengajari wanita ini mengobati cacar, sebagaimana engkau mengajarinya menulis ?”
Kegiatan belajar bertambah meluas dan tersebar diberbagai kawasan islam, seiring dengan tersebarnya sahabat. Kelompok-kelompok belajar semakin marak, dan terbentuk di masjid-masjid. Ada kelompok belajar yang memuat seribu penuntut ilmu lebih, para pendidik juga bertambah banyak. Sekolah bertebaran diberbagai kawasan islam dan dipenuhi oleh para siswa sampai ad Dhahak ibn Muzahim mendesak guru untuk mengendarai himar dalam membimbing siswa disekolahnya, yang jumlahnya mencapai tiga ribu orang.(al Khatib, :130)
Pendapat bahwa al hadis tidak tertulis pada masa nabi oleh karena tiadanya sarana alat tulis, minimnya penulis dan rendahnya kualitas tulisan mereka adalah suatu hal yang sulit untuk bisa diterima. Hal ini mengingat bahwa juru tulis nabi untuk menulis ayat-ayat al qu’an melebihi dari 30 orang juru tulis, disamping mereka-mereka yang ditugaskan Nabi utnuk menulis urusan-urusan lain yang sifatnya kenegaraan. Begitu pula dengan alasan bahwa ada larangan dari Nabi untuk menulis hadis adalah hal yang tidak bisa diterima kala sehat. Berikut ini akan dibahas beberapa atsar yang melarang dan membolehkan penulisan hadis, sehingga m,enjadi jelas letak permasalahannya.
B. Riwayat Tentang Larangan Menulis Hadis.
Abu sa’id al Khudriy meriwayatkan bahwa rasulullah saw bersabda :
لاتكتب عنى و من كتب عنى غير القرأن فليمحه
artibnya : “Janganlah kalian tulis riwayat dariku, barangsiapa yang menulis riwayat dariku selain al qur’an hendaklah Ia menghapusnya”
2. Abu Sa’id al Khudriy mengatakan :
جهدنا بالنبي صلى الله عليه و سلم أن يأذن لنا فى الكتاب فأبى
artinya “Kami merengek dihadapan Nabi Saw agar beliau mengijinkan kami menuliskan (riwayat dari beliau selain al qur’an) tetapi beliau tetap tidak berkenan”
Riwayat lain menyebutkan :
استأذنت النبي صلى الله عليه و سلم في الكتابة فلم يأذن لنا
artinya : “Kami memohon ijin kepada nabi muhammad saw untuk menuliskan (riwayat dari beliau selain al qur’an) Tetapi beliau tidak berkenan memberikan ijin kepada kami”
3. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia berkata : Rasulullah saw keluar dan kami sedang menulis beberapa hadis , lalu beliau bertanya:”apa yang kalian tuliskan itu ?”kami menjawab:”Hadis-hadis yang kami dengar dari tuan”Beliau bersabda:

كتاب غير كتاب الله ؟ أتدرون؟ما ضل الأمم قبلكم إلا بما اكتبوا من الكتب مع كتاب الله تعالى
artinya :”Kitab selain Kitabullah ? Tahukan kalian ? Tidakkah tersesat umat-umat sebelum kamu kecuali karena kitab-kitab yang mereka tulis bersama kitab Ta’ala"

C. Riwayat Tentang Bolehnya Penulisan.

1. Abdullah ibn Amr ibn al ’Ash mengatakan aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari rasulullah saw untuk aku hafalkan. Tetapi kaum quraisy melarangku seraya beralasan :”Engkau menulis semua yang engkau dengar dari rasulullah. Padahal rasulullah saw adalah manusia biasa, yang berbicara di saat marah dan lega. Lalu aku menghentikannya. Kemudian hal tersebut saya laporkan kepada rasulullah saw Lalu beliau menunjuk mulut beliau seraya bersabda :
أكتب فو الذى نفسي بيده ماخرج منه إلا حق
artinya “Tuliskanlah, demi Zat Yang menguasai jiwaku, tidaklah keluar dari mulut ini kecuali yang benar”
2. Abu Hurairah r.a berkata;
مامن أصحاب النبى صلى الله عليه و سلم أحد أكثر حديثا عنه منى إلا ماكان من عبد الله ابن عمرو فإنه
كان يكتب ولا أكتب
artinya :” Diantara sahabat nabi saw tidak ada seorang yang lebih banyak meriwayatkan hadis dari beliau dibanding diriku, kecuali yang ada pada Abdullah bin Amr karena ia menulis sedang aku tidak”
3. Diriwayatkan dari Rafi’ ibn Khudaij bahwa ia berkata : Kami bertanya kepada rsulullah saw “Wahai rasulullah kami mendengar banyak hal darimu. Apakah kami boleh menuliskannya ?” Beliau menjawab :
أكتبوا ولا حرج
artinya :”Tuliskanlah dan tidak mengapa “
4. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa tatkala Allah SWT membukakan Makkah bagi rasulullah saw, beliau berdiri dan berceramah dihadapan masyarakat. Lalu ada seorang warga Yaman yang dikenal dengan nama Abu Syah berdiri, lalu berkata :”Wahai Rasululah tuliskanlah untukku. Lalu beliau bersabda;
اكتبوا لأبي شاه !
artinya : “Tuliskanlah hadis untuk Abu Syah !”
Melihat adanya dua riwayat yang saling bertentangan sebagaimana tersebut pada paragraf di atas, maka jumhur muhadisin menyimpulkan hal-hal berikut ini :
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis Abu Said al Khudriy bernilai mauquf alaih artinya ditangguhkan. Sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Pendapat ini diriwayatkan dari al Bukhari dan yang lain.Hanya saja kita tidak bisa menerima pendapat ini. Karena hadis ini juga ada pada Imam Muslim dan berkualitas shahih. Ia bisa memperkuat kesahihan hadis di atas, yang juga dari Abu Said al Khudriy, yaitu :
إستأذنت النبى صلى الله عليه و سلم ان أكتب الحديث فأبى أن يأذن لى
artinya :”Saya meminta ijin kepada nabi Muhammad saw untuk menuliskan hadis akan tetapi beliau enggan memberikan ijin kepadaku”
2. Bahwa larangan penulisan hadis terjadi pada awal islam karena khawatir terjadi percampuran antara al qur’an dengan al hadis. Namun tatkala kaum muslimin bertambah banyak dan mereka telah mengenal al qur’an dengan baik serta bisa membedakannya dengan hadis, maka hilanglah kekhawatiran itu. Sehingga hukum larangan itu terhapus artinya menjadi dibolehkan. Dengan kata lain larangan penulisan hadis itu lebih disebabkan pada penggunaan media yang sama dalam menulis antara lafaz hadis dan al qur’an. Oleh karena itu jika lafaz al hadis ditulis dalam media yang berbeda dengan lafaz al qur’an maka penulisan itu tidak apa-apa.
3. Bahwa larangan belaku bagi orang yang bisa diandalkan hafalannya dan dikhawatirkan memiliki ketergantungan terhadap trulisan. Sedang kebolehan penulisan hadis beralaku bagi orang yang tidak bisa diandalakan hafalannya, seperti Abu Syah.
4. Bahwa larangan itu bersifat umum. Sedang kebolehan itu bersifat khusus berlaku bagi orang yang mahir baca tulis, yang tidak khawatir melakukan kesalahan tulis dan tidak dikhawatirkan melakukan kekeliruan, seperti abdullah ibn amr. karena kekhawatiran seperti itu tidak ada padanya, maka ia diperbolehkan melakukan penulisan hadis.
Mencermati beberapa pendapat yang dimunculkan oelh berbagai kalanagan ulama di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pendapat pertama yang mengatakan hadis said al khudriy mauquf alaih sehingga tidak bisa dijadikan hujjah adalah pendapat yang salah. Karena ulama sepakat bahwa riwayat said al khudriy sekalipun melalui sanad yang berbeda dan masing-masing berbeda kualitasnya ada salah satu diantaranya yang bernilai sahih. Sehingga hadis tentang larangan dan kebolehan menulis hadis itu bisa dijadikan hujah. Adapun pendapat yang kedua sampai keempat ada kemungkinan benar. Artinya bisa saja nabi muhammad saw melarang menulis hadis bersama dengan al qur’qn dalam satu lembaran karena khawatir terjadi campur aduk. Mungkin juga larangan beliau itu terjadi pada masa awal islam sehingga kaum muslimin tidak tersibukkan oleh hadis dan melupakan al qu’an. Beliau ingin agar kaum muslimin memelihara al qur’an didalama dada mereka dan di atas sabak, lembaran-lembaran, maupun tulang belulang untuk mengukuhkan penjagaaan terahapnya. Sementara hadis dibiarkan karena telah terjaga melalui praktek sehari-hari. Sebab mereka selalu menerapkannya. Mereka melihat Nabi sebagai sosok yang ideal yang patut dicontoh.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendapat para pengamat baik dari kalangan orientalis Barat atau ilmuwan dari Timur sendiri, sesungguhnya tidak berdasarkan pada kajian yang ilmiah. Semua ulama sudah mengetahui bahwa pendapat yang menyimpang itu adalah pendapat yang samasekali tidak memiliki dasar argumentasi yang kuat. Oleh karena itu tidak pada tempatnya untuk membahas secara panjang lebar keberatan-keberatan orang barat dan orang-orang yang meragukan kekuatan al hadis sebagai dasar hukum.
Kesimpulannya adalah bahwa as sunnah adalah salah satu dari beberapa sumber hukum yang diakui dalam penetapan hukum islam. Secara hirarkhis posisi al hadis adalah sumber yang kedua setelah al qur’an. Karena dari berbagai seginya baik dari segi qath’iy al wurudl dan qath’iy al dalalah al hadis menunjukkan pada posisi yang meyakinkan untuk dijadikan sebagai dasar penetapan hukum syar’iy.

Selengkapnya.....

Download MK

MSI

Translator



English French German Spain Dutch Arabic

Recent Post

DAFTAR ISI BLOG

1.Blog Sejenis
2.Line Website UNISMA
3.Jam’ul Qur’an
4.Hadis Pra Modifikasi
5.Kampus Pusat Budaya
6.Qawaidul Fiqhiyyah
7.Sarjana Pengangguran
8.Penyimpangan dalam Penafsiran al Qur’an
9.Implementasi Ilmu Islam dalam Peguruan Tinggi Islam
10.Pemikiran Ibn Miskawaih Dlm Pendidikan
11.Otentisitas Hadis versi Orientalis
12.Maqashid al Tasyri’
13.Sejarah Peradilan Islam
14.Mengais Kembali Konsep Turats
15.Sufi Martir Ain Qudhat
16.Tema Pokok al Qur’an
17.Metodologi Penelitian
18.Nilai Maslahat dan HAM dalam Maqashid al Tasyri’
19.Pembaharuan Kurikulum Dasar Menengah
20.Pemikiran al Mawardi
21.Tasawwuf al Falsafi
22.Profil Dosen FAI UNISMA
23.Download Bahan Kuliah
24.Ikhtilaf al Hadis Part. I
25.Ikhtilaf al Hadis Part. II
26.Filsafat Ibn Rusyd
27.Inkar as Sunnah I
28.IInkar as Sunnah Part. II
29.Beasiswa Kuliah Gratis
30.Download MAteri Perkuliahan
31.Uji Timbang Blog
32.Award Pertama Buat FAI
33.Hakikat Manusia : Sebuah Renungan
34.Award oh Award
35.Pengumuman Mengikuti Beasiswa
36. Blog-ku Istana-ku
37.Kuliah Umum di FAI Unisma
38. Info LAnjutan Beasiswa
39. Dukungan Untuk Sang Guru
40. Zikir Akbar di Unisma
41.Ujian Seleksi Kuliah Beasiswa
42. Habil dan Qabil di Era Global
43. Suasana Ujian Seleksi Beasiswa
44. Mengapa aku harus memilih?
45.Pengumuman Hasil Ujian
46. award Dari Sobat Blogger
47. Psikotest Mahasiwa Beasiswa
48. Award Maning
49.Award Blogging 4 Earth
50. Pengumuman Hasil Ujian
51.Award Motivasi & Perilaku
52. Sistem Pembekalan Akademik
53. Award Tiad aPernah Berakhir
54. Light Up The Noght
55.Cap Jempol Darah
56.Awardmu-Awardku-AwardKita
57.Anti Mati Gaya Open Minded
58.Award Is Never Die
59.KEM tingkat Nasional
60.Pengumuman Kuliah Umum
61.Virus Malas Ngeblog
62.Pengumuman Hasil Seleksi Ujian
63. Prote Hasil Pilpres
64. Ramadhan Itu Datang Lagi
65.Orientasi Pendidikan MABA UNISMA
66.Download PPT HAM dan Gender
67.Gus Dur:Sang Guru Bangsa
68.Gerakan Fundamentalisme Islam
69.Download E-Book
70.FAI UNISMA
71.Umar Ibn al Khaththab
72.Beasiswa Kuliah Prodi PGMI
73.Ikhtilaf al Hadis Part. II
74.Gelar Doa sivitas FAI UNISMA
75.Pengumuman Pelaksanaan Tes Ujian Prodi PGMI
76.Pengumuman Hasil Tes Ujian Prodi PGMI
77.Beasiswa S2 Prodi Hukum Islam PPS UNISMA
78.Selamat Jalan Akhi
79.Pesta Demokrasi
80.Ordik MABA UNISMA
81.Islam Rahmat Lil Alamin
82.Beasiswa Bagi Guru PAI di Kemendiknas
83.Hasil Akreditasi PGMI
84.Rekonstruksi Kurikulum FAI UNISMA
85.Beasiswa Perkuliahan Prodi PAI
86. Ketentuan Lomba Lustrum
87. Pengumuman Hasil Psikotes
88. Beasiswa Untuk Guru PAI
89. Islam dan Ilmu Pengetahuan
90. Pengumuman Kelulusan Penerima Beasiswa
91. Pengumuman Hasil Seleksi Ujian Tulis
92. Maqamat dan Ahwal al Sufiyah
93. Ikhtilah Ulama