Oleh : Fathurrahman Alfa, M.Ag
Stigma yang nampak mengenai sufisme adalah mereka mengentalkan senyawa iman dengan kandungan-kandungan spiritual. Tetapi, itu harus tidak menjauhkan penilaian kita bahwa mereka juga mengisinya dengan nilai-nilai etika. Bahkan produk etika dari pengalaman tasawuf telah mendorong ibadah ke dalam wilayah sosial, dan menjadikan kewajiban agama teraktualisasi dalam segala bentuk setiap waktu. Mereka memiliki kewajiban etika dalam bepergian, menetap, bersahabat, bertetangga, ketika mencari penghidupan, bergaul, ketika makan, ketika membesuk orang sakit, dan hubungan-hubungan mereka dengan keluarga dan anak1).
Stigma yang nampak mengenai sufisme adalah mereka mengentalkan senyawa iman dengan kandungan-kandungan spiritual. Tetapi, itu harus tidak menjauhkan penilaian kita bahwa mereka juga mengisinya dengan nilai-nilai etika. Bahkan produk etika dari pengalaman tasawuf telah mendorong ibadah ke dalam wilayah sosial, dan menjadikan kewajiban agama teraktualisasi dalam segala bentuk setiap waktu. Mereka memiliki kewajiban etika dalam bepergian, menetap, bersahabat, bertetangga, ketika mencari penghidupan, bergaul, ketika makan, ketika membesuk orang sakit, dan hubungan-hubungan mereka dengan keluarga dan anak1). Jadi tasawuf seluruhnya adalah akhlaq. Setiap dimensi waktu, tempat dan situasi memiliki muatan akhlaq. Dan siapapun mengimplementasikannya dalam wilayah praksis, dia telah mencapai derajat yang tinggi2).
Jika seluruh tasawuf adalah akhlaq, adalah suatu keharusan untuk membahas adab para sufi di dalam maqam (tingkatan ruhani) dan ahwal (kondisi mental)3). Sehingga makna-makna etika dalamjalan kesufian sebagaimana tertanam dalam pemahaman mereka terhadap kewajiban-kewajiban religius menjadi lebih nampak.
Seorang sufi, setelah melakukan pengosongan pada hatinya dari segala dosa dan kesalahan, masih tetap harus waspada terhadap hal-hal subhat, sehingga jika meragukan sesuatu ia harus meninggalkannya. Bahkan terkadang ia meninggalkan tujuh puluh pintu halal karena khawatir bila pada salah satu pintu itu, ia terperosok ke dalam yang haram4). Ini adalah maqam wara’, dimana tugasnya adalah menghindari segala hal yang subhat dan selalu melakukan introspeksi diri pada setiap kejapan mata5). Sikap wara’ seorang sufi tidak hanya antara ia dan jiwanya, melainkan juga dalam menghindari penindasan dirinya atas manusia lain, sehingga tiada seorangpun yang menerima dari dirinya kelaliman, keluhan, atau permintaan6).
Maqam zuhud (asketisme) adalah pijakan pertama bagi mereka yang menuju Allah. Barangsiapa tidak menguatkan dasar pondasinya dengan zuhud, maka apapun tidak sah baginya setelah itu. Zuhud tidak sebatas kosongnya hati dari apa yang dikosongkan dalam perut, tetapi hati yang tidak lagi berhubungan dengan masalah-masalah keduniaan. Hal ini karena cinta dunia adalah sumber seluruh kesalahan. Karenanya, zuhud bukan saja terputusnya keterkaitan sufi dengan kesenangan hidup dan nafsu-nafsu jiwa, tetapi juga menetapkan hubungan seorang sufi dengan manusia. Sebab, sebagian ajaran dasar kesufian adalah mendahulukan orang lain yang lebih membutuhkan, sebagai pengamalan atas firman Allah, “Dan mereka mengutamakan orang-orang lain atas diri mereka sendiri,kendatipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu”7).
Jika seorang sufi telah melewati maqam zuhud ini, ia akan sampai pada maqam faqr yang merupakan ciri para wali. Tak ada fadilah yang menurut mereka dapat melebur kesalahan, memperbesar kebajikan, dan mengangkat derajat sebesar faqr. Faqr menurut para sufi, bukan berarti tidak memiliki apapun, melainkan tidak ada sesuatu pun yang memilikinya. Sehingga, seorang sufi hidup di dalam kemuliaan – yaitu dalam “kefakiran” – di mana ia tidak meminta sesuatu secara lahir dan batin kepada seseorang, tidak menunggu sesuatu dari seseorang, tidak mengeluh, dan tidak menampakkan tanda-tanda kesusahan8), tetapi justru menampakkan kecukupan tanpa dibuat-buat. Kekafiran, pada gilirannya, menentukan hubungan seorang sufi dengan orang lain. Sebab, seroang sufi tidak bersikap tawaduk kepada orang kaya karena status kekayaannya. Jika tidak, berarti lenyaplah dua pertiga agamanya. Dan jika ia meyakini kelebihan orang itu dengan hatinya, sebagaimana ia bertawaduk kepadanya melalui ucapan-ucapannya, maka ia telah kehilangan seluruh agamanya. Demikian juga, seorang sufi tidak bersikap sombong kepada orang kafir – disini fakir dalam arti sesungguhnya – karena Allah telah membinasakan suatu kaum yang melecehkan dan merendahkan kaum fakir9).
Pada maqam sabar, seorang sufi tidak akan mengeluh dalam menerima setiap musibah, akan tetapi tegar berdiri dengan adab yang baik kepada Allah dan rela kepada ketentuanNya. Penting diketahui bahwa tidak menolaknya soerang sufi atas takdir yang menimpanya sama sekali tidak berarti berdiam diri atas kemungkaran atau kemaksiatan. Ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah kesabaran.
Kendati maqam tawakal mengesankan adanya Jabariyah murni dimana seorang sufi menerima pasrah takdir yang menimpanya, sesungguhnya tawakal tidak serta merta kosong dari nilai-nilai etika. hal ini mengingat tak ada seorangpun yang dapat mencapai maqam tawakal, melainkan hatinya telah bersih dari setiap ketamakan terhadap porsi orang lain. Selain itu, tawakal juga berkonsekuensi terhadap peniadaan sebab-sebab, sehingga seorang sufi hanya bergantung kepada Allah semata.
Jika seorang sufi telah mencapai maqam ridla, ia akan menanggalkan amarah. Sebab dalam pandangannya, segala nikmat dan setiap musibah adalah sama. Dan itu merupakan puncak maqam tawakal. Kendatipun mustahil seorang hamba mencapainya kecuali bila nafsu telah tercabut dari hatinya10). Ridla atau rela tidak berarti seorang sufi rela atas kemaksiatan dan segala nilai keburukan yang dilakukan umat Islam, sebab ridla berkaitan dengan takdir, bukan dengan kejahatan dan kemaksiatan manusia.
Jika maqam kesufian yang harus diupayakan melalui rentetan mujahadah yang ditegakkan terhadap jiwa ini mengandung makna etika, maka ahwal yang merupakan tempat-tempat persingahan hati mausia dan tidak dapat diupayakan ini juga pada urutannya tidak lepas dari tanda-tanda etika.
Jika seorang hamba mengetahui bahwa Allah mengawasi hatinya, maka ia akan memonitor bisikan buruk yang melintasi hatinya, sehingga ia dapat membersihkan jiwanya darihal tersebut. Dan pada kondisi dekat dengan Allah, seorang sufi mengetahui bahwa kedekatannya dengan Allah terjadi karena taqarrubnya kepada Allah melalui praktik ketaatan, sehingga ia akan memperbanyak melakukan kebaikan. Dan seorang hamba selalu berada antara kondisi cemas dan harap, mengharap rahmat dan ridla Allah dengan ketaatannya dan cemas jika perbuatan itu tidak diridlai Allah. Dan jika seorang sufi terbakar oleh rindu kepada Allah, pernyulutan yang hanya dapat dilakukan Allah itu lewat api yang dinyalakan di dalam hatinya, akibatnya, terbakarlah bisikan dan segala interes buruk, segala kebutuhan, dan seluruh permohonan. Dan jika seorang sufi merindukan Allah, ia harus segera berlari kepada kebaikan-kebaikan11).
Demikianlah, perambahan jalan seorang sufi berpenghujung pada aplikasi etika yang baik dan ini pada gilirannya memberikannya hasrat berlebihan dalam berhubungan dengan Allah. Jadi, tidak ada keterpisahan antara kehidupan ruhaniah spiritual dan nilai-nilai etika dalam perjalanan seorang sufi menuju Allah. hal ini karena jalan tersebut mengantarkan sufi kepada maqam fana, yakni kondisi spiritual dimana ia tidak menyaksikan wujud selain Allah. Fana mustahil dicapai sebelum seorang sufi melenyapkan perbuatan-perbuatan buruknya. Sementara baka tidak akan tercapai sampai sifat-sifat terpuji memancar dari dirinya12).
Mu’tazilah selaku madzhab rasionalis menjadikan etika sebagai sistem, sehingga mereka membangun sebuah sistem yang utuh dari keyakinan dasar bagi etika. Namun mereka menghadapi problematika perbuatan yang menjadi batu sandungan dimana rasionalisme mereka tidak mampu mengalahkannya. hal ini karena sebuah konsep tidak berkonsekuensi pada tindakan, dan karenanya mempunyai kekuasaan imperatid atasnya. Tetapi bagaimana mungkin etika tanpa perbuatan, sementara ia adalah ilmu praktik? dan apalah artinya kontemplasi nilai-nilai etika bila tidak dapat mewajibkan perbuatan baik dan meredam keinginan hawa nafsu?
Disinilah signifikansi peran tasawuf dengan metode intuisinya. Para sufi menjalankan etika sebagai latihan jiwa. Dengan perasaan yang memenuhi jiwa dan luapan tekad yang membara, para darwis menundukkan murid-murid mereka, mengajak mereka bertobat, sambil memberitahukan bahwa relung jiwa manusia memiliki bisikan buruk yang halus. Dengan begitu,para sufi telah mengedepankan solusi bagi persoalan perbuatan yang tidak mampu dilakukan para filsuf rasional. mereka menempatkan diri mereka sebagai madzhab etika praktik seperti Socratesisme dan kaum Stoa.
Tetapi para sufi tampaknya terlalu sibuk dengan perbuatan, sehingga mengabaikan wilayah pemikiran atau metafisika etika. Sebagian sufi yang memikirkan masalah fundamental agama ini pun memutuskan diri dengan wilayah praktik, atau mengemukakan sejumlah teori tasawuf yang tidak praktis sama sekali. sedang para sufi yang berkecimpung dalam praktik telah menyadari adanya kekosongan keyakinan, sehingga mereka menagdopsi keyakinan beberapa madzhab teologi, khususnya Asy’ariah. Tetapi adopsi ini tampaknya seringkali tidak senapas dengan metode intuisi para sufi, yang karenanya, dalam hal prinsipil, mereka tidak mengemukakan pemecahan bagi banyak persoalan teoritik-diskursif yang kerap melintas di benak seorang seorang murid. Sementara para sufi tidak mempercayai kemampuan akal dalam mencapai hakikat. Bahkan, sebagian sufi memandang rendah ilmu teori, dna mengangabnya sebagai penghalang bagi terbukanya rasa dan lupan ilahiah. Mengomentari hal ini, al-Ghazali menulis:
Jika jiwa tidak terlatih dengan pengetahuan-pengetahuan hakiki yang bersifat analisis, maka jiwa dengan bisikan-bisikannya menerima banyak delusi yang diduganya sebagai hakikat yang datang kepadanya. Berapa banyak sufi yang tetap berada di dalam sebuah delusi selama sepuluh tahun, sampai ia dapat terlepas darinya. Andai saja ia telah lebih dahulu menekuni sejumlah penegtahuan, niscaya ia dapat terlepas darinya secara aksiomatik saja13).
Al-Ghozali yang condong pada kesufian menyanggah pendapat di atas dengan mengatakan, “Adalah lebih baik bagi kebanyakan umat manusia untuk menyibukkan diri dengan bertindak dan mencukupkan diri dengan pengetahuan praktis sebatas yang dibtuuhkan perbuatannya”. Setelah itu, al-Ghazali menyebutkan keunggulan berpikir atas beribadah dan keutamaan ulama daripada abid14).
Demikianlah, tasawuf tidak banyak dapat diandalkan dalam wilayah pemikiran, seperti juga Mu’tazilah tidak banyak dapat diharapkan dalam wilayah praktik. Dan jika perbuatan sulit tercipta dari konsep belaka, maka pada gilirannya hal itu cukup membuat meditasi dijauhi dan inovasi pemikiran menjadi tidak lagi menarik.
Namun tidak adakah upaya mengintegralkan kecenderungan rasionalis danintuisionalis ini (Aqliyyah-dzauqiyyah). Tidak adakah madzhab elektik (taufiqi) yang memadukan pemikiran rasional dan perilaku praktik, sehingga madzhab itu tidak mengandung kelemahan seperti madzhab Mu’tazilah yang terpuruk dalam wilayah praktik dan tasawuf yang lemah dalam pemikiran. Wallahu A’lam.
CATATAN:
1. As-Siraj at-Tusi, al-Lu’ma’ fi at-Tasawuf, hal.29.
2. As-Suhrowardy, Awarif al-Ma’arif (Hamisy Ihya’ al-Ulum ad-Din), hal. 77.
3. Maqam, Lebih bersifat aquisisif, sementara hal cenderung given. Lihat, Ibrahim al-Baisyuni, Nasy’at-at-Tasawuf al-Islami-Maktabah al-Ma’arif, hal 59.
4. Dalam Tasawuf, segala sesuatu yang sekiranya menghalangi dzikir, termasuk dalam kategori haram.
5. Al-Qusyairi, ar-Risalah, al-Qusyairiyah, hal 54.
6. As-Siraj at-Tusi, Al-Luma’, hal 50.
7. Q.S. Al-Hasyr, hal 9.
8. As-Siraj at-Tusi, al-Luma’, hal 75.
9. Al-Qusyairi, ar-Risalah, hal 124.
10. As-Siraj, al-Luma’, hal 94.
11. Al-Harawi, Majazil as-Sairin, hal 48-52.
12. Al-Qusyairi, ar-Risalah, hal 36-37.
13. Al-Ghazali, Mizan, al-Amal, hal 44.
14. Ibid, hal 141.
Selengkapnya.....
Sobat fai tercinta, di bulan yang suci ini izinkan aq menyampaikan ucapan Marhaban Ya Ramadhan...atas nama pribadi Fia mo ucapin terimakasih atas jalinan pertemanan, persahabatan dan persaudaraan yang ada di antara sobat blogger tanah air. Sekaligus Fia minta maaf belakangan ini agak jarang berkunjung ke rumah sobat.Padahal bila aku liat shoutbox beberapa temen masih sering menyapaku disini...maafkan aku sobat. Aq bener-bener kehilangan minat berkoneksi dengan internet. Fia merasa jenuh yang luarbiasa, sehingga gairah untuk ngeblog bener-bener hilang. Sekali lagi maaf ya sob, bila aq jarang berkunjung. Mudah-mudahan perasaan bosan dan jemu itu segera sirna dan bisa berhaha-hihi dengan sobat blogger semua...Aamin ya Rabbal Alamin..
Oh ya sob, barangkali ada sobat blogger yang menginginkan animasi khusus menyambut bulan ramadhan, aq tahu ada salahsatu situs yang menawarkan animasi gratis khusus ramadhan plus code html-nya sehingga sangat mudah untuk ditaruh di blog kita. Sobat bisa pilih-pilih animasi yang relevan dan digemari sesuai blog sobat..dan ingat yah jangan banyak-banyak animasi ntar blognya ga loading-loading ( mirip blog aq ini...hi hi ..) ini neh situsnya : di Sini
OK sob ini aja salam persahabatan dari Fia untuk sobat semua, mohon maaf atas kekurangan dan kesalahan terutama sobat yang telah ngasih Fia award yang hingga kini Fia belum sempat bikin postingannya...mudah-mudahan ada energi untuk membuatnya. Semoga kita bisa menjumpai romadhan berikutnya..Amin Ya Rabbal'Alamin.. Met Berpuasa Saudaraku semua...
Apapun bahan penyusun diriku, baik itu tulang, air, darah, vitamin, DNA, kromosom, daging, rambut, kelenjar, syaraf de el el semuanya tidak bisa membuatku ‘mengenal siapa diriku’ sesungguhnya. Ya Rabb mengenal diriku saja aku tak mampu melakukannya, apalagi mengenal kerahasiaan-Mu, KeLutfian-Mu, KeSirr-anMu…apalah aku…serangkaian tulang yang suka mendendam dengan tulang-tulang yang laen. Tulang-tulang yang senang menceritakan aib orang lain, suka menghasut, menonton kepedihan dan penderitaan orang lain...apalah aku Rabb ?? Ya Rabb…ketika tulang-tulang ini nanti berbaur dengan tanah, ketika daging-daging ini sekarang dan dulu suka menimbulkan fitnah…di ‘puncak masa’-ku nanti ia hanya santapan lezat bagi cacing dan mahluq tanah lainnya. Kesombonganku, keangkuhanku, kecerdasanku kekayaanku, baju kebesaranku dan semua kebanggaanku lainnya tidak menghalangi para cacing tanah dan ‘pasukan belatung’ untuk dengan ‘ihlas’ menguliti dan menelan mentah-mentah tubuhku ini…sementara ruh-ku, nyawa-ku, spirit-ku..melayang entah kemana..?? kembali ke haribaan-MU kah…Ya Rabb?? Kembali ke jalan yang benar..atau malah tersesat ke arah yang penuh penderitaan dan malapetaka.
Aku yakin Ya Rabb..sekali nyawa ini sudah ‘pulang’…tiada kesempatan lagi bagiku untuk menahan langkah kaki dan membalikkan diri dari mengingkari seluruh perbuatan yang pernah aku lakukan di dunia ini. Siapakah aku ini Ya Rabb…?? Bila ku menyadari bahwa tubuhku hanyalah serangkaian tulang dan segumpal daging, betapa menakutkan arti hidup ini !

Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
A.Definisi Tasawuf Falsafi
Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis (العملي ), sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis (النطري ) sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.
Dari adanya aliran tasawuf falsafi ini menurut saya sehingga muncullah ambiguitas-ambiguitas dalam pemahaman tentang asal mula tasawuf itu sendiri. kemudian muncul bebrapa teori yang mengungkapkan asal mula adanya ajaran tasawuf. Pertama; tasawuf itu murni dari Islam bukan dari pengaruh dari non-Islam. Kedua; tasawuf itu adalah kombinasi dari ajaran Islam dengan non-Islam seperti Nasrani, Hidu-Budha, filsafat Barat (gnotisisme). Ketiga; bahwa tasawuf itu bukan dari ajaran Islam atau pun yang lainnya melainkan independent.
Teori pertama yang mengatakan bahwa tasawuf itu murni dari Islam dengan berlandaskan QS. Qaf ayat 16 yang artinya “Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahuapa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada dilehernya”. Ayat ini bukan hanya sebagai bukti atau dasar bahwa tasawuf itu murni dari Islam meliankan salah satu ajaran yang utama dalam tasawuf yaitu wihdatul wujud. Kemudian kami juga mengutip pendapat salah satu tokoh tasawuf yang terkenal yaitu Abu Qasim Junnaid Al-Baqdady, menurutnya “yang mungki menjadi ahli tasawuf ialah orang yang mengetahui seluruh kandungan al-qur’an dan sunnah”. Jadi menurut ahli sufi, setiap gerak-gerik tasawuf baik ‘ilmy dan ‘amaly haruslah bersumber dari al-qur’an dan sunnah. Maka jelas bahwa tasawuf adalah murni dari Islam yang tidak di syari’atkan oleh nabi akan tetapi beliau juga mempraktikkannya. Buktinya sejak zaman beliau (nabi Muhammada-red) juga ada kelompok yang mengasingkan diri dari dunia, sehingga untuk menjaga kekhusuan mereka beliau memberi mereka tempat kepada mereka di belakang muruh nabi. Meskipun istilah tasawuf itu belum ada tapi dapat di sinyalir bahwa munculnya ajaran-ajaran seperti itu (zuhud/ warok, mendekatkan diri pada Allah-red) sudah ada sejak zaman Islam mulai ada, dan nabi sendiri sejatinya adalah seorang sufi yang sejati.
Kemudian pendapat kedua yang mengatakan bahwa tasawuf adala kombinasi dari ajaran Islam dengan yang lainnya (non-Islam). Mereka memberi contoh beberapa ajaran yang ada di tasawuf sama dengan aliran (ajaran) lain, misal;
sumber dari Nasrani:
1.Konsep Tawakal
2.Peranan Syekh
3.Adanya ajaran tentang menehan diri tidak menikah.
sumber Hindu:
1. Al-fanah = Nirwana
2. Zuhud = menjahui dunia
sumber Yunani (fil. Barat):
1. Filsafat Ilmu jiwa
2. Filsafat Phytagoras
3. Filsafat Plotinus
4. Termasuk juga gnotisisme.
Dari sinilah nampak ada kemiripan dalam ajaran setiapa masing yang diakibatkan dari akulturasi sehingga terjadi penjumboan (bersatu) antara ajaran Islam dalam tasawuf dengan yang lain.
Pendapat yang ketiga ini yang mengatakan tasawuf itu bukan dari mana-mana yaitu independen, dengan berdasarkan dengan kisah bahwa pada waktu itu ada seorang raja yang hidup bergelimpangan dengan harta namun dia masih mengalami ketegangan dalam hidupdalam artian jiwanya belum tenang, akhirnya atas nasihat dari seseorang yang dia temui di hutan saat berburu mencoba mengasingkan diri ke bhutan dan meninggalkan semua hartanya. sehingga dari sini dapat di tarik bahwa tasawuf muncul untuk mengatasi kebosan seseorang dari kehidupan dunia tanpa adanya spiritualitas dalam jiwa sehingga mengalami kekeringan jiwa, yang kemudian diisi kembali dengan nilai spiritualitas dengan menjahui kehidupan dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dari pemaparan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa tasawuf itu benar-benar asali (murni) dari ajaran Islam yang tidak di syari’atkan atau di sunnahkan oleh nabi meskipun beliau juga melakukanya. Kemudian pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf itu berasal dari akulturasi ajaran lain termasuk gnotis itu juga tidak bisa disalahkan, sebab adanya pengklasifikasian tasawuf sehingga muncul beberapa tasawuf, seperti tasawuf sunni, salafi dan tasawuf falsafi membuat determinasi diantaranya. maka jikalau dikatakan tasawuf adalah akulturasi antara Islam dengan yang lain itu termasuk tasawuf falsafi yang mana telah mengedepankan asas rasio sehingga berbaur dengan fisafat-filsafat yang ada di ajaran lain, dimana dalam menganalisis tasawuf dengan paham emanasi Neo-platonisme dalam semua fariasi baik dari Ibn Sina samapai Mulla Shadra.
B. Latar belakang berkembangnya Tasawuf Falsafi
Perenungan ketuhanan kelompok sufi dapat dikatakan sebagai reaksi terhadap corak pemikiran teologis pada masa itu. Di pihak lain, para filosof dengan tujuan menjembatani antara agama dengan filsafat, terpaksa mempreteli sebagaian dari sifat-sifat Tuhan sehingga Tuhan tidak mempunyai kreativitas lagi. dengan perkembangan tasawuf yang mempunyai tipologi, secara global dapat diformasikan adanya tiga konsep tentang Tuhan yaitu; konsepti etikal, konsepi estetikal dan konsepsi union mistikal.
Konsepsi etikal berkembang pada zuhada, munurut mereka Dat Tuhan adalah sumber kekuatan, daya iradat yang mutlak. Tuhan adalah pencipta tertinggi, oleh kaena itu perasaan takut kepada Tuhan lebih mempengaruhi mereka ketimbang rasa pengharapan. timbulnya konsep ini bersumber dari keyakinan bahwa Tuhan adalah asal segala yang ada, sehingga antara manusia dengang Tuhan ada jalur komunikasi timbal balik. Doktrin ini belanjut kepada keyakinan, bahwa penciptaan alam semesta adalah pernyataan cinta kasih Tuhan yang direfleksikan dalam bentuk empirik atau sebagai mazhohir dari asma Tuhan.
Berkembangnya tasaawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucia batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, juga menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampl sejumlah kelompok sufi yang filosofis atau filosofis yang sufi. Konsep-konsep mereka yang disebut dengan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. ajran filsafat yang paling banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf adalah paham emanasi Neo-Plotinus.
Andaya pemaduan antara filsafat dengan tasawuf pertama kali di motori oleh para fisful muslim yang pada saat itu mengalami helenisme pengetahuan. Misalanya filsuf muslim yang terkenal yang membahas tentang Tuhan dengan mengunakan konsep-konsep neo-plotinus ialah Al-Kindi. Dalam filsafat emanasi Plotinus roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat lagi kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha. dari sini di tarik ke dalam ranah konsep tasawuf yang berkeyakinan bahwa penciptaan alam semesta adalah pernyataan cinta kasih Tuhan yang direfleksikan dalam bentuk empirik atau sebagai mazhohir dari asma Tuhan.
Namun istilah tasawuf fal safi bulum terkenal pada waktu itu, setelah itu baru tokoh-tokoh teosofi yang populer. Abu Yazid al-Bustami, Ibn Masarrah (w.381 H) dari Andalusia dan sekaligus sebagai perintisnya. orang kedu yang mengombinasikan antara teori filsafat dan tasawuf ialah Suhrawardi al-Maqtul yang berkembang di Persia atau Iran. Masih banyak tokoh tasawuf falsafi yang berkembang di Persia ini sepeti al-Haljj dengan konsep al-Hulul yakni perpaduan antara isan dengan Tuhan.
Perkembangan puncak dari tasawuf falsafi, sebenarnya telah dicapai dalam konsepsi al-wahdatul wujud sebagai karya pikir mistik Ibn Arabi. sebelum Ibn arabi muncul teorinya seorang sufi penyair dari Mesir Ibn al-Faridh mengembangkan teori yang sama yaitu al-wahdat asa-syuhud.
Pada umumnya konsep ini diterima dan berkembang dari kaum syi’ah dan bermazhabkan Mu’tazilah. Makanya nama lain dari tasawuf falsafi juga di sebut dengan tasawuf Syi’i. diterimanya konsep-konsep atau pola pikir tasawuf falsafi di kawasan Persia, karena dimungkinkann disana dulu adalah kawasan sebelum Islam sudah mengenal filsafat.
Semenjak masa Abu Yazid al-Busthami, pendapat sufi condong pada konsep kesatuan wujud. Inti dari jaran ini adalah bahwa dunia fenomena ini hanyalah bayangan dari realitas yang sesungguhnya, yaitu Tuhan. Satu-satunya wujud yang hakiki adalah wujud Tuhan yang merupakan dasar dan sumber kejadian dari segala sesuatu. Dunia ini hanyalah bayangan yang keberadaannya tergantung dengan wujud Tuhan, sehingga realitas hidup ini hakikatnya tunggal.
Atas dasar seperti itu tentang Tuhan yang seperti itu, mereka berpendapat bahwa alam dan segala yang ada termasuk manusia merupakan radiasi dari hakikat Ilahi. Dalam diri manusia terdapat unsur-unsur ke –Tuhanan, karena merupakan pancaran dari Tuhan.
Dari konsep seperti ini lah para sufi dari tasawuf falsafi ini mempunyai karakteristik sendiri sehingga dapat di pukul rata bahwa semua konsep yang ditawarkan oleh para sufi falsafi ini adalah konsep wihdatul wujud, meskipun dalam penjabarannya mengalami perbedaan dan perkembangan yang berbeda antara sufi yang satu dengan sufi yang lain.
Seperti hanya dalam konsep emanasi, Ibn Arabi menggunakan bentuk pola akal yang bertingkat-tingkat, seperti; akal pertama, kedua, ketiga dan sampai akal kesepuluh. Dimana ia mencoba mengambarkan bahwa proses terjadinya sesuatu ini berasal dari yang satu, kalau meminjam bahasanya Plotinus ialah The One.
Kemudian konsep itu terus disempurnakan bahwakan mengalami kritikana dari sufi-sufi yang lain. Misalnya sufi yang memperbarui konsep ajaran Ibn Arabi ini ialah Mulla Shadra yang lebih mencoba menggunkan konsep yang rasional dengan istilah Nur yang mana ia mencoba merujuk dari al-qur’an sendiri bahwa Tuhan adalah cahaya dari segala cahaya..
Akan tetapi Mulla Shadra membedakan cahaya kedalam dua kategori yaitu cahaya yang tidak mempunyai sifat dan cahaya yang menunjukkan sebuah sifat dari barang itu. Misal cahaya yang menunjukkan sifatdari benda itu ialah cahaya lampu, matahari, cahaya lampu lalulintas dan lain-lain. Sedangkan cahaya yang tak menggandung dari sifat benda ialah cahaya Tuhan itu sendiri. Bahkan dalam bukunya Syekh Adurun Nafis menggabarkan bahwa Nur Tuhan bukan cahaya, jadi nur adalah nur bukan cahaya.
Bisa kita tarik kesimpulan bahwa tasawuf falsafi muncul dari ketakajuban para filsuf Islam yang mencoba mengombinasikan konsep ajaran dengan tasawuf. Atau bisa dikatakan konsep tasawuf dikemas dan dipandang dari segi kacamata filosofis, sehingga memunculkan ajaran-ajaran yang sifatnya lebih ke teoritis dan tak lepas dari pengaruh dari konsep emanasinya Plotinus.
Pemikiran filsafat lainnya Silahkan Klik..
Beliau adalah Abu al Ma’ali Abdullah ibn Abi Bakr Muhammad ibn Ali ibn al Hasan ibn Ali al Miyanaji, terkenal dengan gelaran sebagai Ain al Qudhat al Hamadhani, dilahirkan di Hamadhan pada tahun 492/1098 M, dari keluarga terpelajar berasal dari Miyana di Azerbaijan, sebuah kotapraja yang terletak di antara Maraghah dan Tabriz.
A. Ringkasan Historis
Kakeknya adalah seorang Qadhi Hamadhan dan di sinilah ia meninggal sebagai seorang martir, demikian juga dengan ayahnya beliau meninggal akibat tindak kekerasan yang diakibatkan sedikitnya pemahaman umat islam tentang teori-teori kesufian. Hamadhan adalah sebuah kota kuno terletak di Persia Tengah dan dalam bayangan gunung Alwand Ibu Kota Medes dan Akhaemenid, jauh sebelum penaklukkan oleh Arab dan datangnya Islam. Pada paruh kedua abad ke-5 H / 11 M, ia berkembang menjadi pusat perdagangan yang ramai, bagian dari dominion Saljuk yang besar itu. Pada tahun 494 H/ 1100 M, kota itu dijarah oleh tentara, entah apa alasannya. Dalam keadaan demikian ini, barangkali, Ain al Qudhat,yang pada saat itu berusia 3 tahun, kehilangan kakeknya.
Catatan riwayat hidupnya tak begitu lengkap, penggalan sejarahnya tak berbicara apapun tentang masa kanak-kanak dan pendidikan Ain al Qudhat. Perihal dia terdidik sepenuhnya dalam bahasa Arab dan ilmu agama islam, dan perihal ia memperlihatkan dengan luar biasa cepatnya menjadi seorang yang dewasa, dapat disimpulkan dari tulisan-tulisnnya sendiri, terutama karya beliau yang berjudul Zubdat al Haqaiq dan Tamhidat. Beliau sendiri mengatakan “ Tak mengherankan kalau orang iri padaku, melihatku dalam usia dua puluh tahun lebih sedikit aku mampu menggubah buku yang -orang seumur antara llima puluh dan enam puluh tahun- sulit memahaminya apalagi menyusun dan menggubahnya”. Memang kelancaran dan keindahan tulisan-tulisan berbahasa arabnya membuktikan kecemerlangannya dalam studi-studi klasik, sekalipun jelas bahwa ia, dalam hal ini tidak lebih dari mengikuti suatu kebiasaan yang sudah lama dilakukan oleh kalangan sarjana Persia. Karena itu dapat dipastikan bahwa sebelum beralih ke Sufisme, Ain al Qudhat telah sepenuhnya menguasai tata bahasa Arab , filologi, dan sejarah sastra arab, tafsir al Qur’an , ilmu tentang sunnah dan hadis Nabi, teologi, ilmu fiqh (ia bermazhab Syafi’I dan memenuhi syarat untuk menjadi qadhi) logika, filsafat, pendeknya semua cabang ilmu pengetahuan yang istilah – istilah tekhnisnya ia kuasai dengan amat cepat dan mudah.
Ain al Qudhat menyatakan bahwa ia meninggalkan studi-studi sekular menjelang aqil baligh dan dewasa, ketika “dengan tekun menelaah ilmu keagamaan” dan menyibukkan diri dijalan sufi. Telaahnya terhadap buku-buku teologi hanya menambah kekacauan dan kebingungannya. . Berkat karunia Allah ia tertolong dari keadaan yang membahayakan ini melalui penelaahan teliti atas tulisan-tulisan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali. Hal ini dilakukannya hampir empat tahun lamanya, dan membuatnya terlepas dari kesalahan dan kebutaan. Hal yang sama pernah terjadi pada diri Imam al Ghazali ketika mengalami masa pancaroba dan peralihan dari ilmu-ilmu keagamaan menuju pengalaman sufisme. Ain al Qudahat mengalami kondisi ini pada usia dua puluh empat tahun yaitu pada tahun 516 / 1122 atau sebelas tahun setelah Abu Hamid al Ghazali wafat.
Tulisan-tulisan al Ghazali teristimewa karya besarnya Ihya’ Alumuddin, sedemikian berpengaruh pada Ain al Qudhat, sehingga seperti yang ia nyatakan “ mata visi ruhaniahku mulai terbuka, bukan mata visi intelektual”. Ia dalam keadaan demikian selama hampir setahun. Kemudian saudara lelaki Abu Hamid, Abu al Futuh ahmad al Ghazali, datang ke Hamadhan dan kehadirannya yang kurang dari dua puluh hari, membuat perubahan ruhaniahnya sempurna. Setelah itu sampai Ahmad meninggal, tahun 520/1126, keduanya selalu mengadakan hubungan melalui surat dan pertemuan. Tulisan-tulisannya terutama sekali Sawanih yang berbahasa persia , mengenai cinta ruhaniah, sedemikian mempengaruhi sufisme Persia selama berabad-abad. Ain al Qudhat memaparkan bahwa ayahnya juga hadir dalam lingkaran Ahmad, dan turut serta dalam tarian yang menyertai ritus-ritus sufisme.
B. KARYA_KARYA BELIAU
Ain Qudhat mencurahkan tenaganya untuk menulis, dan memahami dengan mendalam persoalan-persoalan dibidang keagamaan terutama kajian tentang sufism. Berikut ini adalah beberapa karya beliau baik yang masih bisa dilacak keberadaannya maupun yang sudah hilang.
1. Risalah, tampaknya ditulis ketika ia berusia empat belas tahun, Hilang
2. Qira’ al Asyi ila Ma’rift al ‘Uran wa a’ A’asyi, tentang masalah yang tidak diketahui, hilang
3. ar Risalah al ‘Ala’iyah, sebuah brosur singkat. Hilang
4. al Muftalad min at Tashrif, buku kecil tentang tata bahasa. Hilang
5. Amali al ‘Isytiyaq fi Layali al firaq. Hilang
6. Munyat al Haisub, tentang ilmu hitung, hilang
7. Ghayat al Bahts ‘an Ma’na al Ba’ts , tentang sifat sejati ramalan, disusun dalam usia dua puluh satu tahun. Hilang
8. Shaulat al Bazil al Amun ‘Ala ‘Bn al Labun. Hilang
9. Nuzhat al ‘Usysyaq wa Nuzhat al Musytaq,seribu sajak erotik. Hilang
10. al Madkhal ila al ‘Arabiyah wa al Riyadhah ‘Ulumiha al Adabiyah, tentang kesusasteraan tak lengkap, hilang
11. Tafsir Haqa’iq al Qur’an, ulasan esoterik atas al qur’an, tidak lengkap, hilang
12. Risala-yi Jamali , brosur kecil tentang ramalan. Masih ada
13. Zubdat al Haqa’iq tentang filsafat adan teologi, ditulis dalam usia dua puluh empat tahun . masih ada dan sudah diterbitkan
14. Tamhidat, tentang sufisme,disusun pada 512 / 1127,masih ada dan sudah diterbtikan
15. Maktubat,surat-surat. Masih ada
16. Syakwa al Gharib, tulisan tentang pembelaan disusun pada 525 / 1131 masih ada sudah diterbitkan dan diterjemahkan
Karya-karya berikut ini juga dianggap karya-karya Ain al Qudhat, di antaranya:
17. Syarh Kalimat Qishar Baba Thahir, sebuah daftar istilah sufi, masih ada
18. Risala-yi Yazdan – Shinakht, tentang pengetahuan mengenai Tuhan. Masih ada
19. Risala-yi Lawa’ih, tentang cinta Kesufian. Masih ada dan sudah diterbitkan.
C. PEMIKIRAN SUFISME DAN KELUARBIASAAN AIN AL QUDHAT
Nama baik ain al Qudhat sebagai hamba Allah segera menarik banyak pengikut. Beberapa tahun sebelum tutup usia, ia mengajar melalui lisna dan tulisan.”Setiap hari aku berbicara di dalam tujuh atau delapan kali pertemuan mengenai berbagai soal pengetahuan. Tidak kurang dari seribu kata, aku berbicara di dalam setiap pertemuan itu”. Pada waktu yang sama , kadang-kadang dalam dua atau tiga bulan ia harus memulihkan kembali kekuatannya karena amat letih. Ia menikah dan dikaruniai seorang anak laki-laki. Kemasyhurannya sebagai orang suci semakin lama semakin tersebar ketika keajaiban-keajaiban mulai dihubungkan dengan dirinya, termasuk menghidupkan orang mati”.
Semua itu menimbulkan kecemburuan dan permusuhan para teolog ortodoks. Peperanganpun berkobar anatara kaum ulama dan kaum sufi selama tiga abad, walau ada upaya-upaya mendamaikan oleh serangkaian penulis kesufian yang berpuncak pad karya besar Abu Hamid al Ghazali, hanya saja pertengkaran-pertengkaran itu masih saja berkobar dan meminta korban, kaum Martir.
Ain al Qudhat secara resmi telah diadukan oleh para ulama kepada menteri Saljuk dari Iraq, Abu al Qasim Qiwam ad Din Nashir ibn Ali ad Dargazini, yang terkenal alim dan haus darah. Menteri ini telah menjebloskan sang sufi ke dalam penjara di Baghdad, di sana ia menyusun pembelaannya. Setelah beberapa bulan ditahan di Baghdad, ia dikirm kembali ke Hamadhan, kampung halamannya. Di sana pada malam kedatangan sultan Saljuk, Mahmud, yang memerintah dari 511-524 / 1118-1131 ia menjalani hukuman mati secara biadab. Demikianlah pada 6-7 Jumadil Akhir 525, orang yang kepandaiannya luar biasa dan jarang ini-seorang cendekiawan, sufi, wali dan martir- dalam usia tiga puluh tiga tahun, diakhiri riwayatnya.
Tuduhan-tuduhan bid’ah yang dilemparkan pendakwanya telah disuusn agak terinci oleh Ain al Qudhat dalam pembelaannya. Pelanggaran pertama adalah sikapnya terhadap kenabian, “yang pemunculannya bergantung pada perwujudan suatu tahap dibalik tahap nalar”. Iapun melanjutkan “para filosof menyangkal keadaan-keadaan demikian ini karena mereka terkungkung dalam kesempitan nalar. Istilah nabi bagi mereka berarti seseorang yang telah mencapai tingkat tertinggi nalar. Akan tetapi itu sama sekali tidak sama dengan percaya kepada kenabian….Para ahli teologi masa kini mencelaku atas pemaparan ini antara lain karena mengira bahwa menyatakan adanya tahap dibalik tahap nalar berarti menghalangi orang kebanyakan untuk percaya kepada kenabian… “
Semua ini sepenuhnya sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Ain al Qudhat dalam Zubdat al Haqaiqnya. Ia mengklaim lebih lanjut bahwa pandangan apa yang ia utarakan tidak berbeda dengan pandangan Abu Hamid al Ghazali, suatu pernyataan yang bisa dibenarkan, meskipun benar tidaknya al Ghazali berpendapat demikian, masih diperselisihkan. Akan tetapi dalam Tamhidat, Ain al Qudhat mengajukan gagasan-gagasan tentang ajaran kenabian mengenai kehidupan setelah mati yang sama sekali berbeda dengan ortodoksi, dan dengan posisi keimanan yang dikemukakan dalam bagian penutup pembelaan itu.”Carilah pusara dalam dirimu sendiri…Sifat kemanusiaan seorang manusia adalah maqam…Pemeriksaan Munkar dan Nakir adalah juga di dalam diri….Ibn Sina , menjelaskan gagasan ini dengan kata-kata,’Munkar adalah perbuatan buruk, dan Nakir adalah perbuatan baik…’Jalan kecil (semua orang harus melaluinya pada hari Qiyamat) juga harus dicari di dalam diri…Keseimbangan adalah akal budi…Surga dan Neraka juga ada pada engkau dan harus dicari di dalam batin…Gagasan-gagasan tak ortodoks ini benar-benar sesuai dengan ajaran-ajaran Ibn Sina. Tentang al Ghazali ia memandang bahwa penyangkalan terhadap kebangkitan kembali jasad adalah sebagai bid’ah dan harus dihukum mati. Pernyataan bahwa neraka surga dan bidadari yang bersifat fisik adalah “semata-mata ibarat yang diciptakan untuk orang kebanyakan …adalah bertentangan dengan keyakinan semua orang Islam…”
Pelanggaran berat kedua Ain al Qudhat adalah pembicaraanya tentang “perlunya murid akan guru ruhaniah untuk membimbingnya menuju jalan kebenaran”. Pendakwa-pendakwanya menafsirkan dia sebagai “sejalan dengan kaum Ismailiyyah yang menganut kepercayaan bahwa Imam adalah Ma’shum” Salah tafsir terhdap ajarannya ini adalah bodoh sekali, terutama setelah memperhaitkan apa yang ditulis Ain al Qudhat tentang soal itu di dalam Zubdat al Haqaiq dan Tamhidat. Ia tidak menyimpang dari pendirian banyak sufi lain sebelum dia. Dalam surat-suratnya yang hingga kini belum diterbitkan, ia bahkan bertindak lebih jauh lagi, yakni meminta ketaatan penuh dari murid, sekalipun demikian ia bukan tanpa preseden.
Tuduhan berat ketiga yang dilemparkan kepada Ain al Qudhat adalah bahwa ia penganut panteisme. Serangan ini dikaitkan dengan “pernyataannya mengenai Pencipta dunia, bahwa Dia adalah Sumber dan Asal mula mahluq, Dia adalah ‘semua’ dia adalah ‘wujud Sejatinya’ dan semua selain Dia ,pada hakikatnya, adalah sia-sia, fana, tidak ada, dan maujud hanya sejauh Yang Maha Kuasa dan Maha Abadi menopang keberadaannya. (masalah sampingannya adalah dakwaan bahwa ungkapan-ungkapan ini secara tidak langsung menyatakan bahwa dunia ini ada dari keabadian – sebuah bid’ah tercela yang disangkal oleh Ain al Qudhat di tempat lain. Pelanggaran selanjutnya yang dinyatakan tanpa bukti adalah “paparan mengenai ajaran yang menyatakan bahwa Tuhan tidak tahu hal-hal yang terinci. Dengan demikian, para penuduh melengkapi dengan tiga bid’ah yang oleh al Ghazali dinyatakan cukup sebagai syarat untuk segera dijatuhi hukuman mati). Ain al Qudhat dalam membela dirinya terhadap tuduhan panteism, menggunakan ajaran sufi terkenal tentang fana’, yaitu luluhnya segala mahluq kedalam wujud Tuhan. Ajaran ini pada zamannya, benar-benar telah menjadi bagian amat pokok dan padu dari ajaran sufi, sehinggta agak mengherankan jika Ain al Qudhat harus digugat sehubungan dengan hal itu. Namun demikian mesti diingat bahwa ortodoksi yang ketat tidak pernah dapat dirukunkan dengan suatu teori yang, dalam bentuk ekstremnya, nampak hanya sedikit berbeda dengan bid’ah yang mengerikan, yaitu penitisan (hulul) Tuhan ke dalam manusia.
Demikian selintas biografi dan percikan pemikiran sufisme Ain al Qudhat sang martir yang meninggal akibat keteguhannya memegang prinsip-prinsip kebenaran sufisme.Selain beliau masih banyak sufi –sufi martir lain yang meninggal di tangan penguasa yang lalim. Bagaikan dedaunan setiap yang rontok akan tumbuh bersemi daun-daun baru yang lebih muda.
Disarikan dari Buku : a Sufi Martyr: The Apologia of Ain al Qudhat al Hamadhani,
editor :A.J. Arberry