Jurnal Ilmiah

Panduan SOS

Prog. SOS FAI

Prog. SOS FAI
Sistem Informasi Akademik Mahasiswa FAI Berbasis Online

Popular Posts

Followers

CELEBRITY

Tamu-nya FAI

Showing posts with label sejarah. Show all posts
Showing posts with label sejarah. Show all posts

Oleh : Khoirul Asfiyak

Semua orang yang menyaksikan peristiwa ditabraknya gedung WTC oleh pesawat yang diduga pelakunya adalah aktivis al Qaida, tentu tidak akan pernah bisa melupakan peristiwa hebat itu. Apalagi saksi mata yang menyaksikan dan mengalami langsung kejadian itu kemungkinan besar akan trauma sepanjang hidupnya.
Sejak peristiwa itu semangat anti Islam dan perasaan Islamphobia begitu menguat di Amerika dan seluruh dunia internasional. Dampaknya masyarakat muslim yang hidup di negara non muslim mengalami teror dan antipati dari warga non muslim lainnya. Namun dibalik peristiwa itu masih menyisakan sejumlah teori yang diyakini bisa menjelaskan siapa sebenarnya pelaku dan Inisiator dari kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada tanggal 11 september itu.

Para ahli sudah berusaha menguak beragam teori konspirasi penabrakan pesawat itu dengan sejumlah asumsi dan analisis yang hingga kini masih belum memuaskan banyak pihak. Mengurai kejadian besar, dahsyat dan sedikit sentuhan rekayasa tentu pekerjaan yang sangat berat. Akan tetapi kebenaran akan selalu berpihak,dan selalu berada di depan, meski kadang selalu mendapat cibiran atau bahkan 'Penyangkalan' dari orang yang dituduh atau tidak setuju dengan kebenaran itu.

Berikut ini adalah tayangan video yang berusaha memberikan sekelumit informasi berharga mengenai dugaan adanya Konspirasi Terencana oleh 'Oknum' yang diduga merencanakan penghancuran gedung WTC. Video berikut ini hanyalah deskripsi singkat tentang konspirasi itu dan tidak menggambarkan detil proses bagaimana Konspirasi itu mampu menghancurkan gedung kembar WTC dalam waktu yang singkat.



Dari analisis sederhana dapat kita simpulkan bahwa konstruksi gedung WTC tentulah dirancang dengan bahan-bahan yang tahan gempa, tahan api dan tahan bencana alam lainnya. Seperti bahan Molten Metal, salah satu konstruksi yang digunakan oleh gedung WTC ternyata ia termasuk Besi meleleh yang ditemukan baik di WTC menara utara, menara selatan & WTC gedung 7 dan fakta ini sangat menarik perhatian Professor Steven Jones. Steven Jones adalah Dia adalah peneliti utama eksperimental muon-katalis fusi 1982-1991 untuk Departemen Energi AS, Divisi Proyek Energi Advanced Amerika. Dari tahun 1990 sampai 1993, Jones mempelajari fusi dalam fisika benda terkondensasi dan deuterium di bawah Departemen Energi dan sponsor Electric Power Research Institute Amerika Serikat. Jones juga berkolaborasi dalam percobaan di laboratorium fisika lainnya, termasuk Triumf (Vancouver, British Columbia), KEK (Tsukuba, Jepang), dan Rutherford Appleton Laboratory di Universitas Oxford.

Pada tanggal 22 September 2005 Jones menyajikan pandangannya tentang runtuhnya menara World Trade Center dan World Trade Center 7 pada seminar di Brigham Young University ( BYU ) yang dihadiri oleh sekitar 60 orang ahli fisika. Menunjuk pada kecepatan dan simetri runtuh, karakteristik jet debu, laporan saksi mata ledakan gedung WTC, balok sebagian berkarat, logam cair di ruang bawah tanah yang masih merah panas seminggu setelah kejadian, dan gagasan bahwa tidak ada kenaikan tingginya suhu udara yang diakibatkan kebakaran, Jones menduga adanya teori peenghancuran terkontrol dalam kasus itu , sekaligus menyarankan untuk meneliti kembali melalui penggunaan nanothermite, jejak yang ditemukan dalam debu abu-abu / merah serpih. Dia menyatakan juga bahwa dalam sampel bekas reruntuhan gedung terdapat produk reaksi termit, aluminium oksida dan bola besi kecil juga dalam debu. Dia menyerukan penyelidikan ilmiah lebih lanjut untuk menguji teori penghancuran yang terkontrol dan pembukaan semua data yang relevan oleh pemerintah.

Hal ini dikarenakan konstruksi WTC terbuat dari "HIGH RISE STEEL FIRE PROOF CONSTRUCTION" yang FIRE PROOF atau Tahan API.Sehingga dalam kondisi api bagaimana pun maka konstruksi akan tetap terjaga.Dan tidak ada di dunia ini, di belahan bumi manapun, konstruksi HIGH RISE STEEL FIRE PROOF CONSTRUCTION dapat leleh hanya karena kebakaran biasa. Apalagi dalam kejadian WTC dimana seluruh konstruksi menjadi debu dengan hanya meninggalkan sangat sedikit sekali sisa.

Besi/baja hanya dapat meleleh jika dibakar dengan suhu yang sangat tinggi.
Dan ini tidak mungkin terjadi pada LANTAI DASAR dari WTC menara utara & WTC menara selatan serta WTC gedung 7.Dan barang bukti YANG DITEMUKAN ialah bukan dari hasil reaksi besi atau baja, tapi hasil dari reaksi THERMITE, sebuah bahan kimia yang sering digunakan dalam penggunaan bahan peledak tinggi.

Jika THERMITE digunakan, maka berarti CONTROLLED DEMOLISION / penghancuran gedung terkontrol. Dan jika CONTROLLED DEMOLISION, maka ini artinya dikerjakan oleh orang dalam / pemerintah.Semua ini karena untuk memasang bahan peledak ini dibutuhkan waktu paling kurang 1 bulan untuk mempelajari & memasang bahan peledak pada tempat yang ditentukan sebanyak 109 tingkat WTC dikali 2 gedung dengan konstruksi berbeda sehingga total setidaknya 218 tingkat !!! Belum lagi WTC gedung 7 yang juga ikut diledakkan dengan puluhan kejanggalan yang tidak masuk akal… Mustahil dalam tempo 1 jam dapat menyiapkan & memasang peledak sedemikian banyaknya untuk meledakkan WTC gedung 7.

setelah Professor Steven Jones giat mengkampanyekan usaha-usaha untuk menyelidiki teori konspirasi itu, mendadak artikel beliau di wesite BYU dihapus oleh admin universitas dan beliau 'dipurnatugaskan' ( sekedar menjadi paid leave professor) dari jabatannya di lembaga pendidikan BYU tersebut. Meski demikian kertas kerja prof steven Jones menarik banyak minat ilmuwan untuk meneliti lebih lanjut .

Bagaimanapun juga postingan sederhana ini adalah lebih bersifat informatif belaka dan tidak bermaksud untuk menguak kebenaran konspirasi yang terjadi dalam peristiwa tabrakan gedung kembar WTC. Informasi dalam batas sekecil apapun akan sangat berharga jika di dalamnya mengandung nilai-nilai kebenaran. Semoga Kebenaran terungkap dan kejahatan dilenyapkan dari muka bumi ini. Amin Ya Rabbal 'Alamin
Selengkapnya.....

Oleh : Khoirul Asfiyak, M.HI

Sementara pendapat yang kedua diwakili oleh filsuf abad modern lainnya, yakni Francis Bacon ( 1561- 1626 ). Menurutnya ada beberapa faktor yang mempengaruhi cara berfikir manusia yang dalam istilah filsafah ia sebut sebagai “Idols of Mind”. Faktor-faktor itu adalah : Idols of The Tribe, Idols of The Den, Idols of The Market dan Idols of The Theatre. Keempat-empatnya biasa disebut sebagai teori Arca atau Teori Patung.

Idols of The Tribe ( Arca Suku ) dalam pandangan Francis Bacon dikonsepsikan sebagai suatu bentuk hambatan dalam berfikir logis dan lurus. Alur fikir manusia seringkali tidak bisa memahami obyek pengetahuan , disebabkan ia terpengaruh oleh pendapat dan pemikiran kelompok , golongan atau suku (tribe) –nya. Alur fikir yang disusun tidak berdasarkan suatu metode yang sistematik dan saintifik, melainkan pemikiran manusia yang mengalami Idols of The Tribe ini akan senantiasa merujuk dan berpegang teguh pada pemikiran kelompok, dan golongan tertentu yang diyakini kebenarannya. Tanpa sekalipun ia menaruh kecurigaan terhadap validitas dan kelayakan hasil pemikiran kelompoknya itu. Setiap pemikiran orang lain yang berbeda dengan hasil pemikiran kelompok yang dianutnya, dianggap salah dan tidak bernilai. Dengan demikian metode berfikir seseorang dalam kerangka Idols of The Tribe ini selalu berbeda dalam kesimpulan yang dihasilkannya dan tidak bisa melihat kebenaran pada pemikiran kelompok lainnya.

Kondisi inilah yang senantiasa memicu ikhtilaf di kalangan umat islam, karena sebagian besar kaum muslimin lebih suka memegangi hujjah kelompok / golongannya tanpa disertai pemahaman yang memadai validitas dan ketepatan hujjah imam mazhabnya. Dan yang lebih parah dari semua itu adalah fanatisme buta pada imam mazhabnya, sekalipun seseorang mampu mengenali bahwa hujjah imamnya lemah, namun karena fanatisme yang berlebihan pada sang imam, ia lebih suka mengikuti gagasan fiqhiyyah imamnya.

Sebagaimana yang disinggung oleh al ‘Allamah Syah Waliyullah al Dihlawy ( Tt : 90 ) berikut ini :

“...Sungguh mengherankan, para ulama yang taqlid itu sebenarnya mengetahui bahwa argumen imamnya lemah dan dia tidak mampu untuk mempertahankannya, akan tetapi ia tetap saja taqlid. Dan dia meninggalkan pendapat ulama lain yang jelas, yang berdasarkan al Qur’an dan al Hadis ataupun berdasarkan Qiyas yang Shahih, hanya karena kefanatikannya dalam bertaqlid...”

Sementara Idols of The Den adalah keterkungkungan alur fikir manusia oleh hasil pemikirannya sendiri sehingga ia tidak dapat melihat realitas di luar hal-hal yang difikirkan oleh akalnya. Ini adalah sejenis hambatan ( arca ) yang diakibatkan oleh gangguan yang bersifat psikologis. Ibaratnya ia berfikir sendirian di tengah hutan atau di dalam gua yang sepi yang tidak ada orang lain yang bisa mendengar, memperhatikan dan mendebat pendapat atau hasil pemikirannya. Seolah-olah tidak ada kebenaran lain selain kebenaran yang berasal dari dirinya. Hambatan jenis ini seringkali disebabkan oleh tingkat pendidikan /wawasan seseorang yang sempit dan terbatas atau bisa juga diakibatkan oleh kukuhnya ia memegangi pengetahuan yang didapatnya dari otoritas yang sangat ia kagumi. Orang yang dihinggapi oleh Syndrome Idols of Den ini sangat sulit berbagi kebenaran dengan orang lain, sekaligus penghargaannya terhadap gagasan dan pemikiran orang lain sangat sedikit. Dengan demikian bila persoalan ini ditarik dalam wilayah khilafiyah antar mazhab, maka kecil sekali kemungkinan umat Islam bisa bersatu pendapat dan mencapai satu kesatuan ide dalam memproduk hukum yang bisa mengayomi kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Alih-alih kompromi atas hasil pemikiran ijtihadiyyah mujtahid itu, yang terjadi justru saling menyalahkan dasar-dasar istinbathiyah setiap hasil pemikiran ulama tersebut.

Arca yang ketiga adalah Arca Pasar ( Idols of The Market ) maksudnya adalah hambatan yang sering mengganggu kejernihan arus pemikiran manusia akibat banyaknya orang / pemikir / filsuf / cendekiawan yang pendapatnya ia dengar / pelajari sehingga ia merasa kesulitan untuk menentukan pendapatnya, atau jikapun ia menentukan pendapatnya, hasil pemikirannya itu tidak berdasarkan pemikirannya yang orisinil melainkan berdasarkan pendapat banyak orang. Laksana dalam keriuhan pasar, orang berdebat dan berargumentasi untuk sesuatu yang belum tentu diketahui nilai dan kualitas barang yang hendak dibelinya. Sama halnya dengan orang yang memikirkan , mengkaji dan membahas suatu obyek pengetahuan setiap diskusi debat dan argumentasi yang ia bangun sama sekali tidak memperjelas obyek itu sendiri. Alih-alih pemahaman tentang obyek pengetahuan bisa bisa tersusun, yang terjadi justru pertengkaran dan kesalahan-kesalahan yang tidak berujung pangkal. Sebagaimana perdebatan pengikut mazhab Syafi’iyyah dengan Hanafiyah, fokus perdebatan tidak tertuju pada substansi persoalan, akan tetapi lebih pada bagaimana mempertahankan pendapat guru atau tokoh mazhabnya dengan cara mengenyampingkan kekurangan dan kelemahan hujjah yang digunakan oleh gurunya. Sehingga dampak lebih lanjut ummat terpecah dalam beberapa kolompok yang fanatik terhadap qaul imam mazhab dan tidak kritis terhadap dasar-dasar argumentasi yang digunakan oleh imam mazhabnya itu.

Terakhir adalah Arca Panggung ( Idols of the Theatre ) ini adalah cara lain Francis Bacon mendeskripsikan pengetahuan filsafat dan ilmu yang selama ini menjadi penghambat diperolehnya pengetahuan yang sebenarnya. Kita telah didominasi oleh Idols of the Theatre karena sistem filsafat yang telah kita terima selama ini hanya menciptakan dunia teater atau dunia permainan. Para filsuf hanya memberikan permainan kata-kata atau konsep belaka. Idols jenis ini kata Bacon bersumber dari dogma dan pemikiran para filsuf. Hambatan semacam ini berasal dari keterpesonaan dan kekaguman seseorang pada tokoh besar, pemikir dan ilmuwan yang dalam anggapannya memiliki seluruh pengetahuan yang pernah ada.

Seseorang yang tengah memikirkan suatu obyek pengetahuan merasa tidak percaya diri dengan hasil pemikirannya sendiri, kecuali ia merujuk dan mengutip pendapat tokoh atau ilmuwan yang ia kagumi. Suatu pemikiran, perdebatan dan adu argumentasi akan diterima hasil dan kesimpulannya, jika dalam arus perdebatan itu disebutkan nama-nama tokoh pengggagas ilmu pengetahuan beserta hasil pemikiran mereka. Ada semacam keterikatan diri pada kata-kata atau pendapat tokoh besar, sosok figur yang mempesonakan dan mampu menyihir akal sehat manusia, sehingga ia tidak bisa berfikir logis. Keterikatan dan keterpesonaan pada tokoh besar yang berbeda jelas menimbulkan kesalahan dan perbedaan pendapat di antara manusia.
Sementara itu di dalam wacana ilmu keislaman –khususnya ilmu ushul fiqh- terdapat sebuah qaidah yang menyatakan bahwa :


Maksudnya : “ Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum dikarenakan oleh perbedaan zaman, tempat atau kondisi”

Menilik pengertian qaidah fiqhiyyah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia mempunyai kecenderungan atau bakat untuk senantiasa berbeda pendapat (terutama dalam masalah hukum fiqhiyah ) perbedaan pendapat itu sebagaimana bunyi qaidah tersebut bisa jadi karena perbedaan kondisi geografis, antara masyarakat tipe perkotaan ( Hadlarah ) dengan masyarakat pedesaan ( Baduwi ) jelas pola pemikiran mereka akan sangat dipengaruhi nilai-nilai lokal yang tumbuh berkembang dalam kesadaran masyarakat tersebut. Demikian juga faktor perbedaan zaman dengan segala bentuk permaslahan dan dinamikanya tentu berbeda-beda tiap generasi. Lebih-lebih perbedaan kondisi sosial masyarakat baik dari sisi sosial, ekonomi, pendidikan, filosofi yang dianut masyarakat tertentu, pastinya memberi andil dalam membentuk siap dan pola pikir masyarakat tersebut. Oleh karena itu para ulama ahli ushul bersikap sangat arif dalam memberikan toleransi terhadap setiap perbedaan pendapat yang muncul di tengah-tengah masyarakat.

Di sisi lain terdapat sebuah riwayat –sekalipun masih diperselisihkan kesahihannya-, betapapun sangat masyhur di kalangan umat Islam, yang bisa dijadikan dasar normatif bahwa perbedaan pendapat di kalangan manusia itu adalah suatu hal yang lazim terjadi. Bahkan ia merupakan salah satu bentuk rahmat yang diberikan Syari’ kepada umatnya. Riwayat tersebut adalah :

Artinya : Perbedaan pendapat di kalangan ummatku adalah rahmat

Hadits ini dikeluarkan oleh Nashr al-Maqdisi dalam al-Hujjah, al-Baihaqi dalam Risalah Asy’ariyah tanpa sanad [mu’allaq] begitu juga al-Halimi, Qadhi Husain, Imam Haramain dan lain-lain. Dan dalam menyampaikan hadits ini, mereka semua tidak menggunakan shighat pasti tapi menggunakan kata-kata “diriwayatkan”. Dan sebenarnya ini sudah termasuk bukti bahwasannya hadits di atas tidak maudhu'. Lantaran tidak mungkin mereka rela memasukkan hadits palsu atau maudhu' kedalam kitab-kitab mereka. Padahal kita tahu, mereka adalah kritikus-kritikus dalam bidang hadits yang handal (http://warkoplalar.blogspot.com/2011/05/perbedaan-itu-rahmat.html )

Berdasarkan riwayat ini dapat dipahami bahwa Syari’ sebagai satu-satunya yang berhak menetapkan hukum mengakui bahwa keragaman pendapat merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal, ia adalah sunnatullah. Bahkan lebih dari itu ia adalah rahmat yang diberikan Syari’ untuk ummatnya. Memaksakan kesatuan pendapat dalam masyarakat yang pluralis adalah tidak bijaksana dan mengingkari sisi humanisme yang melekat secara inheren dalam diri manusia.

Bahkan Nabi Muhammad SAW mengakui bahwa beliau sekalipun adalah utusan Allah, tidak mengetahui secara pasti kebenaran haqiqi terhadap suatu persoalan yang dihadapi atau diajukan kepada beliau. Bisa jadi Nabi memutuskan suatu perkara berdasarkan kebenaran, bisa jadi pula terdapat kekeliruan dari putusan yang telah dijatuhkan oleh beliau itu. Hanya bedanya kekleiruan ijtihad yang dilakukan oleh Nabi SAW senantiasa dikoreksi oleh wahyu, sehingga tidak mungkin Nabi SAW dibiarkan membuat keputusan yang salah terhadap ummatnya ( al Khatib, 1989 : 29 ). Hadis tersebut berbunyi :



Maksudnya : sesungguhnya saya adalah manusia biasa, suatu saat jika kamu mengajukan suatu perkara kepadaku sembari membawa bukti yang kuat (argumentatif) maka keputusanku berdaarkan bukti tersebut. Oleh karena itu barangsiapa aku menangkan perkaranya padahal ia tidak berhak atas perkara itu, hendaklah jangan diterima, karena sesungguhnya (sama saja) aku potongkan baginya potongan api neraka

Berdasarkan hadis tersebut maka jelas bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mengetahui secara pasti benar tidaknya sebuah persoalan. Apalagi manusia kebanyakan tidak memiliki kapasitas sebagaimana Nabi. Nabi Muhammad SAW hanya mengetahui hal-hal-hal yang dhahir semata berdasarkan data atau bukti yang diajukan kepada beliau. Oleh karena itu jika di tengah-tengah masyarakat terdapat perbedaan terhadap sebuah persoalan maka hal itu bisa dimaklumi.
Mengakhiri sub bab ini penting untuk diketengahkan sebuah maqalah Arab yang sangat terkenal yakni:


Maksudnya “ Metode lebih penting ketimbang essensinya “

Berdasarkan ruh/semangat dari maqalah ini nampaknya yang menjadi perhatian utama dalam Islam bukannya esensi / substansi persoalan itu benar atau tidak, akan tetapi lebih melihat pada aspek di luar persoalan itu, cara-cara , maksud, tujuan dan motivasi yang digunakan dalam mengkaji dan memamhami persoalan itu yang penting untuk diketengahkan. Nampak dalam beberapa hadis Nabi lebih berorientasi terhadap motif, metode (sesuatu yang ada di luar ) perbuatan seseorang daripada hasil, nilai atau validitas dari perbuatan itu. Terdapat hadis yang mendukung pernyataan ini , yakni dalam kasus perang dengan qaum Bani Quraizhah , di mana Nabi berpesan agar pasukan tidak sholat Ashar sebelum sampai di perkampungan Bani Quraizhah, dikarenakan perbuatan makar yang dilakukan oleh kaum tersebut. Bunyi hadisnya adalah :


( Janganlah kalian sholat Ashar kecuali jika telah sampai di perkampungan Bani Quraizhah )

Akan tetapi sebagian sahabat ada yang sholat di tengah jalan, sekalipun belum sampai di perkampungan tersebut, dengan alasan sudah masuk waktu sholat ashar. Sementara sebagian sahabat tidak sholat Ashar, sekalipun sudah masuk waktu sholat Ashar, karena belum mencapai atau memasuki area kampung Bani Quraizhah. Dengan demikian terdapat perbedaan pendapat dalam menyikapi maksud dan tujuan perintah Nabi tersebut. Sehingga pada akhirnya satu kelompok pasukan melakukan sholat Ashar tepat pada waktunya meskipun secara lahiriyah bertentangan dengan perintah Nabi. Sementara kelompok kedua melaksanakan sholat Ashar sesuai dengan perintah lahiriyah Nabi, betapapun sholat Asharnya itu dilakukan di luar waktu yang telah ditentukan oleh Nash ( artinya sudah memasuki waktu sholat Maghrib/Isya’ ). Setelah pasukan tersebut menyelesaikan peperangannya di perkampungan Bani Quraizhah , sebagian dari mereka menghadap Nabi dan menceritakan perihal perbedaan pendapat di kalangan sahabat itu. Terhadap kasus ini Nabi tidak menyalahkan atau membenarkan salah satu dari kedua pihak yang saling berbeda pendapat itu. Nampaknya yang penting bagi Nabi adalah bahwa sekalipun kedua kelompok itu berbeda pendapat , namun tujuan kedua kelompok pasukan itu adalah sama, yakni sama-sama ingin mematuhi dan menjalankan perintah / ajaran Islam. Kedua kelompok tersebut berbeda pendapat, perbedaan yang terjadi di antara mereka adalah dalam rangka ketaatan terhadap syari’at.

Sementara itu untuk memahami fenomena beragamnya pola pemikiran hukum imam mazhab, dapat didekati dengan teori deterministik yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Sebelumnya perlu dicatat bahwa manusia dan kemanusiaan yang menjadi obyek disiplin ilmu sosial ( fiqh/hukum adalah pranata sosial ) serta tingkah laku mereka sangat terbuka untuk dipengaruhi oleh hal-hal di luar dirinya. Seseorang bisa mempengaruhi bahkan memaksa orang lain agar melakukan perbuatan tertentu atau juga membatalkan perbuatan yang telah direncanakannya.
Manusia sebagai obyek ilmu sosial juga bisa melakukan penentangan (protes) terhadap sebuah situasi, sesuatu yang tidak ditemukan dalam ilmu kealaman. Penentangan terhadap situasi sosial tertentu dengan berbagai tingkat dan metodenya itu, menggambarkan adanya kekuatan subyektif dan karena itu obyek ilmu sosial harus bersifat obyektif.

Dalam analisis Durkheim , fakta-fakta sosial merupakan hal yang bersifat eksternal bagi individu. Sesungguhnya seseorang itu lahir di tengah masyarakat yang telah memiliki suatu organisasi dengan struktur tertentu yang pasti akan mempengaruhi kepribadiannya. Di sinilah substansi dari teori Deterministik oitu bermula sekaligus mencoba menggambarkan keterikatan individu terhadap masyarakat ( suatu organisasi sosial) (Craib, 1986 : 31-32 ).

Berdasarkan perspektif ini dapat dijelaskan bahwa manusia akan saling mempengaruhi atau saling dipengaruhi oleh sistem sosial ( dalam tingkat dan metode berbeda) yang berlaku aatau berlangsung di tengah-tengah masyarakat itu. Jika sistem sosialnya menolerir terhadap setiap perbedaan yang menucul maka tidak dapat diharapkan dalam masyarakat itu akan tumbuh suatu kesamaan atau kesatuan pendapat di antara unit-unit sosialnya. Menjadi suatu keniscayaan bila sistem sosialnya menganut paham pluralisme dan keberagaman nilai, maka ia akan menuntut bagi setiap individu untuk mengikuti dan memahami sistem yang berlaku itu.

Bagaimana cara memahami bahwa setiap individu akan terpengaruh oleh sistem sosial di sekitarnya ? selain dengan pendekatan Deterministik, Emile Durkheim juga menteorikan suatu analaisa yang menyeluruh tentang aspek evolusi sosial yang dalam pandangannya terbagi dalam dua kategori, yakni apa yang dinamakan dengan Solidaritas Mekanik ( Mechanical Solidarity ) dan Solidaritas Organik ( Organic Solidarity ) . Solidaritas Mekanik adalah semacam kategori bagi sebuah masyarakat primitif dan sederhana di mana nilai-nilai pekerjaan, keahlian dan profesionalitas masyarakatnya amat terbatas. Satu-satunya ikatan ( Bond or Glue ) masyarakat dalam tipe atau jenis ini adalah unsur keseragaman dan kesatuan ( Sameness / Similiarity ) dengan kata lain gap, jarak atau perbedaan antar individu tidak terlalu banyak ditemukan. Semua orang merasa terlibat dan terikat dalam keseluruhan aktifitas hidup sehari-hari secara kolektif. Muncullah apa yang dinamakan dengan kesadaran kolektif ( Consience Collective ) suatu kesadaran yang berupa wujud identiitas, perasaan dan pemikiran kelompok. Seluruh pengalaman , perasaan dan pernyataan perilaku kesehariannya dan kepercayaannnya ( pada sang ghaib ) seketika menjadi sama. Nilai-nilai individualisme –keinginan untuk berbeda pendapat, sikap/cara hidup- hampir-hampir tidak eksis lagi dan hal yang demikian ini memang tidak ditoleransi oleh kesadaran kolektif mereka. Oleh karena itu nilai moralitas seseorang diukur dari partisipasi atau keterikatan mereka dalam kesadaran kolektif itu ( Milovanovic, Tt : 25 ).

Adapun yang kedua adalah Solidaritas Organik , yakni semacam kategori bagi sebuah masyarakat yang eksis dalam dunia yang sudah maju/metropolitan/masyarakat urban, yang jenis-jenis pekerjaan, keahlian dan profesionalitas masyarakatnya amat beragam. Adapun yang menjadi ikatan / ciri identitas masyarakatnya adalah Mutual Dependence, yakni suatu keadaan yang lebih mengikat dibanding solidaritas mekanik, karena hal itu didasarkan pada unsur yang saling membutuhkan/ketergantungan antar individu dalam masyarakat tersebut. Dalam jenis masyarakat organik ini kesadaran kolektif jadi lemah, hilang dan tergantikan oleh kesadaran inidividualistik. Orang tidak lagi memiliki identitas bersama yang disepakati, melainkan mereka lebih mementingkan keakuannya ( Individualisme) –nya ( lihat juga http://blog.ub.ac.id/noermalasari/2012/03/13/teori-ilmu-sosial-2/ bandingkan tulisan serupa yang berkaitan dengan isu ini dengan http://fisip.uns.ac.id/blog/purwitososiologi/2011/06/13/solidaritas-mekanis-dan-solidaritas-organis-emile-durkheim/).

Oleh karena itu fenomena perbedaan pendapat dalam masyarakat muslim dahulu dan sekarang ini, dalam pandangan Emile Durkheim , bisa dimaknai akibat perubahan sosial masyarakatnya dari masyarakat sederhana, primitif ( Mekanik ) menuju masyarakat Modern, maju ( organik ), karena memang nilai-nilai lama telah tergantikan oleh nilai-nilai yang baru. Perubahan sosial atau evolusi sosial itu terjadi karena faktor Determinisme sejarah yang mau atau tidak mau selalu eksis ketika sarana dan prasyarat yang dibutuhkannya telah tersedia. Teori Deterministik ini juga mengajarkan bahwa jika fakta sosial telah eksis, maka nilai yang baru masuk dalam fakta sosial itu harus menyesuaikan diri atau secara sadar atau tidak sadar terpengaruhi oleh fakta-fakta sosial tersebut.

Dengan meminjam pisau analisis Durkheim maka perbedaan pendapat di kalangan ulama ( mujtahid) adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari, karena telah terjadi sebuah perubahan sosial dari masyarakat yang sederhana (komunal )menuju masyarakat yang serba kompleks ( Individual ). Sikap mencerca apalagi memusuhi setiap perbedaan pendapat yang muncul berkaitan dengan gagasan pemikiran dalam wilayah fiqhiyyah adalah sikap yang kekanak-kanakan dan dalam batas tertentu justru melampaui garis ketentuan sunnatullah. Sikap yang arif dan bijaksana adalah menjaga atmosfir kedamaian dan saling menghargai terhadap ikhtilaf yang muncul sembari berusaha mencari celah bagi harmonisasi perbedaan pendapat yang ada. Sehingga umat tidak lagi dibingungkan dengan beragam praktek ibadah dan multi tafsir terhadap ketentuan nash yang ada, karena fenomena tersebut adalah bagian dari kehidupan manusia yang wajar.
Selengkapnya.....


Beliau adalah Umar bin Khaththab bin Nufail keturunan abdul ‘Uzza al Quraisy dari suku ‘Adi bin Kaab bin Luai salah satu suku terpandang dan mulia. Beliau dilahirkan di Makkah empat tahun sebelum kelahiran Nabi SAW. Umar ibn Khathab masuk Islam pada bulan Zul Hijjah tahun keenam kenabian , yaitu tiga hari setelah keislaman shahabat Hamzah ra.
Nabi SAW memang telah berdoa kepada Allah SWT agar dia masuk Islam sebagaimana hadis yang dikeluarkan oleh al Tirmidzi -dan beliau menshahihkannya- dari ibnu Umar dan hadis yang dikeluarkan oleh al- Thabraniy dari ibnu Mas’ud dan Anas ra. bahwasanya Nabi SAW bersabda:

اللهم أعز الإسلام بأحب الرجلين إليك: بعمربن الخطاب أو بأبي جهل بن هشام

“Ya Allah, muliakanlah Islam ini dengan salah seorang dari dua orang yang lebih Engkau cintai ; “Umar ibn Khatthab atau Abu Jahal bin Hisyam”. Ternyata yang lebih dicintai oleh Allah adalah Umar ra.”

Umar ra. dikenal sebagai seorang yang sangat temperamental dan memiliki harga diri yang tinggi. Sangat banyak kaum muslimin yang telah merasakan beragam penganiayaan yang dilakukannya terhadap mereka. Sebenarnya telah terjadi pertentangan batin dalam dirinya. Di satu sisi dia harus menghormati tatanan adat yang telah dibuat oleh nenek moyangnya akan tetapi di sisi lain, dia merasa kagum terhadap mental baja kaum muslimin dalam menghadapi berbagai cobaan demi menjaga akidah mereka . Sisi yang lainnya lagi adalah timbulnya berbagai keraguan dalam dirinya, sementara sebagai seorang yang pandai dia beranggapan bahwa apa yang diseru oleh Islam bisa saja lebih agung dan suci dari agama lainnya. Oleh karena itu begitu ia memberontak, maka langsung saja Umar berteriak lantang, mengumbar emosi.

Mengenai ringkasan kisah keislamannya bermula dari tindakannya pada suatu malam, saat beliau bermalam di luar rumahnya, lalu dia pergi menuju Masjid al Haram dan masuk ke dalam tirai Ka’bah. Saat itu Nabi SAW tengah berdiri melakukan sholat dan membaca surat al Haqqah. Pemandangan itu dimanfaatkan oleh Umar untuk mendengarkan apa yang diucapkan Nabi SAW dengan khusyu’, sehingga membuat dirinya terkesan dengan susunan kalimatnya. Dia berkata,” Aku berkata pada diriku demi Allah, Benar, dia ini tukang syair sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Quraisy, lalu beliau Nabi SAW membaca ayat:

إنه لقول رسول كريم ؛ وما هو بقول شاعر قليلا ما تؤمنون

“Sesungguhnya al Qur’an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, dan al qur’an itu bukanlah perkataan seorang penyair, Sedikit sekali kalian beriman kepadanya (al Haqqah: 40-41)

Lantas aku berkata pada diriku “Kalau begitu, dia tukang tenung” lalu beliau meneruskan bacaannya (yg artinya) “Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Rabb Semesta Alam...” hingga akhir surat tersebut. Maka ketika itulah Islam memasuki relung hatiku.”Inilah awal benih Islam yang memasuki relung hati Umar ibn Khatthab . Akan tetapi kulit luar sentimentil Jahiliyah dan fanatisme terhadap tradisi serta kebangganaan akan agama nenek moyangnya, justru mengalahkan otak hakikat yang dibisikkan oleh hatinya. Sehingga dia tetap bersikeras dalam upayanya melawan Islam , tanpa menghiraukan perasaan yang bersemayam dibalik kulit luar tersebut.

Di antara bukti nyata kekerasan wataknya dan rasa permusuhan yang sudah diluar batas terhadap Rasulullah SAW adalah saat suatu hari dia keluar sambil menghunus pedang hendak membunuh Nabi SAW. Ketika itu dia bertemu dengan Nu’aim bin Abdullah an Nahham al ‘Adawiy, - ada riwayat lain yang mengatakan- “Seseorang dari suku Bani Zahrah” atau “Seseorang dari suku Bani Makhzum” Orang tersebut bertanya ,”Hendak kemana engkau wahai Umar?” Dia menjawab ”Ingin membunuh Muhammad!” Orang tersebut bertanya lagi “Kalau Muhammad engkau bunuh bagaimana engkau akan merasa aman dari kejaran Bani Hasyim dan Bani Zahrah?” Umar menjawab ”Aku rasa engkau telah menjadi penganut agama baru dan telah keluar dari agamamu!” Orang itu kemudian berkata kepada Umar “Maukah aku tunjukkan kepadamu yang lebih mengejutkanmu lagi, wahai Umar? Sesungguhnya adik perempuanmu dan iparmu juga telah menjadi penganut agama baru dan meninggalkan agama yang sekarang engkau peluk!”

Mendengar hal itu , Umar dengan segera berangkat mencari keduanya dan saat dia menjumpai mereka di sana, dia dapati Khabbab bin al Arrat yang membawa shahifah (lembaran al Qur’an) bertuliskan surat “Thaha” dan membacakannya untuk keduanya ( sebab dia secara rutin mendatangi mereka berdua dan membacakan al Qur’an untuk keduanya ). Tatkala Khabbab mendengar langkah Umar , dia menyelinap ke bagian belakang rumah, sedangkan adik perempuan Umar menutupi Shahifah tersebut. Ketika mendekati rumah, Umar telah mendengar Khabbab membacakan ayat untuk meereka berdua, karenanya saat masuk , dia langsung bertanya ”Apa gerangan suara bisik-bisik yang aku dengar dari kalian?” Keduanya menjawab ”Tidak ada apa-apa, hanya sekedar perbincangan di antara kami” Dia berkata lagi ”Nampaknya, kalian berdual telah menjadi penganut agama baru “ Iparnya berkata:”Wahai Umar ! bagaimana pendapatmu jika kebenaran itu berada pada selain agamamu ?”

Mendengar itu, Umar langsung melompat kearah iparnya tersebut, lalu menginjak-injaknya dengan keras. Lantas adik perempuannya datang dan mengangkat suaminya menjauh darinya, namun dia justru ditampar oleh Umar sehingga darah mengalir dari wajahnya – dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan bahwa dia memukulinya sehingga membuatnya terluka memar- Adik perempuannya berkata dengan penuh kemarahan , “Wahai Umar ! jika kebenaran ada pada selain agamamu, maka aku akan bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah!” Manakala ‘Umar merasa putus asa dan menyaksikan kondisi adiknya yang berdarah, dia menyesal dan merasa malu lalu berkata, “Berikan tulisan yang ada di tangan kalian tersebut kepadaku agar aku dapat membacanya!” Saudaranya itu berkata ”Sesungguhnya engkau itu najis, dan tidak ada yang boleh menyentuhnya melainkan orang-orang suci. Bangkit dan mandilah dulu!” Kemudian dia bangkit dan mandi, lalu mengambil tulisan tersebut dan membacanya ”Bismillahirrahmanirrahim” Dia bergumam ,”Sungguh nama-nama yang baik dan suci” Kemudian dia melanjutkan dan membaca surat Thaha hingga sampai pada firman Allah :

إننى أنا الله لا إله إلا أنا فاعبدنى وأقم الصلاة لذكرى

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Illah (yang hak) selain AKu, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (Thaha:14)

Dia bergumam lagi ”Alangkah indah dan mulianya kalam ini! Kalau begitu , tolong bawa aku kehadapan Muhammad!” Saat Khabbab mendengar ucapan Umar ini , dia segera keluar dari persembunyiannya seraya berkata .” Wahai Umar, bergembiralah karena sesungguhnya aku berharap engkaulah yang dimaksud dalam doa Rasulullah SAW pada malam Kamis :”Ya Allah! muliakanlah Islam ini dengan salah seorang dari dua orang yang paling Engkau cintai, Umar ibn al-Khathab atau Abu Jahal bin Hisyam” Sementara Rasululah SAW saat itu berada di rumah yang terletak di kai bukit Shafa. Umar mengambil pedangnya seraya menghunusnya lalu berangkat hingga tiba di rumah tempat Beliau Nabi SAW berada. Dia mengetuk pintu lalu seorang penjaga pintu mengintip dari celah-celah pintu tersebut dan melihat Umar sedang menghunus pedang. Penjaga tersebut kemudian melaporkan hal itu kepada Rasulullah SAW. Para Shahabat yang berjaga bersiaga penuh mengantisipasinya. Gelagat mereka tersebut ,mengundang tanda tanya Hamzah ”Ada apa gerangan dengan kalian?” Mereka menjawab “ Umar!” Dia berkata “Lalu ada apa dengar Umar! bukakan pintu untuknya! Jika dia datang dengan niat baik, kita akan membantunya akan tetapi jika dia datang dengan niat buruk/jahat, kita akan membunuhnya dengan pedangnya sendiri”

Saat itu Rasulullah SAW masih di dalam rumah dan sedang menerima wahyu, maka beliaupun keluar menyongsongnya dan menjumpainya di bilik. Beliau mencengkeram kerah baju dan gagang pedang Umar, lalu menariknya dengan keras seraya bersabda ,”Tidakkkah engkau berhenti dari tindakanmu, wahai Umar hingga Allah menghinakanmu dan menimpakan bencana kepadamu sebagaimana yang terjadi terhadap al Walid bin al Mughirah? Ya Allah! inilah Umar ibn al Khathab! Ya Allah! muliakanlah Islam dengan Umar ibn al Khathab!” Maka Umar berkata” Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhadi disembah) selain Allah dan engkau adalah utusan Allah” Dengan demikian dia telah masuk Islam dan disambut dengan pekikan takbir oleh penghuni rumah, sehingga terdengar oleh orang-orang yang berada di Masjid al Haram.

Umar RA. merupakan sosok yang memiliki harga diri yang tinggi dan keinginan yang tidak dapat dicegah. Oleh karena itulah keislamannya menimbulkan goncangan luar biasa di kalangan kaum musyrikin dan membuat mereka semakin merasa terhina dan dipermalukan sementara bagi kaum muslimin hal itu menambah ‘izzah, kemuliaan dan kegembiraan.Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya dari Umar, dia berkata ”Tatkala aku sudah masuk Islam, aku mengingat-ingat, siapa penduduk Makkah yang paling kejam terhadap Nabi SAW. Aku berkata, Pasti Abu Jahal-lah orangnya!. Lalu aku datangi dia dan aku ketuk pintu rumahnya. Diapun keluar menyambutku seraya berkata ”Selamat datang ! ada apa denganmu?” Umar menjawab ”Aku datang untuk memberitahumu bahwa aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya., Muhammad SAW, serta membenarkan apa-apa yang telah dibawanya” Lalu dia membanting pintu di hadapan wajahku seraya berkata ”Semoga Allah menjelekkanmu dan apa yang engkau bawa!”

Dalam versi Ibnu al Jauzy, disebutkan bahwa Umar RA berkata “ Dulu jika seseorang masuk Islam, maka orang-orang mendatanginya lantas memukulinya dan dia juga balas memukuli mereka, namun tatkala aku telah masuk Islam, aku mendatangi pamanku , al ‘Ashiy bin Hasyim dan memberitahukan kepadanya hal itu, dia malah masuk rumah. Lalu aku pergi ke salah seorang pembesar Quraisy – sepertinya Abu Jahal- dan memberitahukan padanya perihal keislamanku akan tetapi dia juga malah masuk rumah!” Ibnu Hisyam juga menyebutkan –demikian pula Ibnu al Jauziy secara ringkas- bahwa ketika dia (umar RA- masuk Islam) dia mendatangi Jamil bin Ma’mar al Jumahiy –yang merupakan orang Quraisy yang paling cepat menyebarkan berita - dan memberitahukan kepadanya tentang keislamannya, orang ini langsung berteriak dengan sekeras-kerasnya bahwa Umar ibn al Khathab telah menjadi penganut agama baru. Umar pun menimpali -di belakangnya- “Dia bohong, akan tetapi aku telah masuk Islam!” Merekapun menyergapnya sehingga akhirnya terjadilah pertarungan antara Umar seorang diri melawan mereka. Pertarungan itu baru selesai saat matahari sudah berada tepat di atas kepala mereka. Akan tetapi Umar sudah nampak kepayahan, dia hanya bisa duduk sementara mereka berdiri dekat kepalanya. Umar berkata kepada mereka ”Lakukanlah apa yang kalian suka. Sungguh aku bersumpah atas nama Allah, bahwa andai kami berjumlah tiga ratus orang, niscaya kami biarkan mereka untuk (melawan) kalian atau kalian biarkan mereka untuk (menolong) kami”

Setelah kejadian itu, kaum musyrikin berangkat dalam jumlah besar menuju rumahnya dengan tujuan untuk membunuhnya. Imam al Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, dia berkata ‘”Saat Umar berada di rumahnya dalam kondisi cemas, datanglah al ‘Ash bin Wail al Sahmiy (yang dikenal dengan sebutan) Abu ‘Amr, dengan memakai mantel dan baju terbuat dari sutera. Dia berasal dari suku Bani Sahm yang merupakan sekutu kami di masa Jahiliyyah. al Ash berkata kepada Umar ‘”Ada apa denganmu?” Umar menjawab “Kaummu sesumbar akan membunuhku karena aku masuk Islam!” al Ash melanjutkan “Tidak akan aku biarkan mereka melakukan hal itu kepadamu!” Abdullah bin Umar berkata ’”Setelah dia berkata demikian akupun merasa lega” al Ash kemudian keluar dan mendapatkan banyak orang yang sudah memadati lembah tersebut, lantas dia berkata kepada mereka ”Hendak kemana kalian?” Mereka menjawab ”Menemui si Ibnu al Khathab yang sudah menjadi penganut agama baru!” al Ash berkata ”Kalian tidak akan aku biarkan mengganggunya!” orang-orang itupun akhirnya membubarkan diri

Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan ,”Demi Allah ! seolah-olah mereka itu bagaikan pakaian yang dilepaskan dari (tubuh) nya”. Demikianlah dampak keislaman Umar terhadap kaum musyrikin sedangkan terhadap kaum muslimin adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Mujahid dari Ibnu ‘ Abbas dia berkata ,”Aku bertanya kepada Umar. Kenapa kamu dijuluki al Faruq?” dia berkata “Hamzah masuk Islam tiga hari lebih dulu dariku –selanjutnya di menceritakan kisah keislamannya dan kemudian berkata- lalu aku berkata (saat aku sudah masuk Islam), “Wahai Rasulullah! Bukankah kita berada di atas kebenaran, mati atau hidup?” Beliau Rasulullah SAW menjawab “ Tentu saja! Demi Zat Yang Jiwaku ditangan-Nya, Sesungguhnya kalian berada di atas kebenaran, mati ataupun hidup!” lalu aku berkata “Lantas untuk apa –kita- harus bersembunyi ? Demi Zat Yang telah mengutusmu dengan kebenaran, sungguh kita harus keluar (menampakkan diri) . lalu kami membawa Beliau keluar, kami terbagi dalam dua barisan, salah satunya dipimpin oleh Hamzah, dan yang lainnya, dipimpin olehku. Deru debu yang diakibatkannya ibarat ceceran tepung. Akhirnya kami memasuki Masjid al Haram. Kemudian kaum musyrikin Quraisy menoleh kearahku dan Hamzah, mereka tampak diliputi oleh kesedihan yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Sejak saat itulah Rasulullah SAW menamaiku “al Faruq”

Ibnu Mas’ud sering berkata “Sebelumnya,kami tidak berani melakukan shalat di sisi Ka’bah hingga Umar masuk Islam!” Dari Shuhaib bin Sinan al Rumi Ra. dia berkata ”Ketika Umar RA masuk Islam,barulah Islam menampakkan diri dan dakwah kepadanya dilakukan secara melingkar di sekitar Baitullah, melakukan Thawwaf, mengimbangi perlakuan orang yang kasar kepada kami serta membalas sebagian yang diperbuatnya” Dari Abdullah bin Mas’ud , dia berkata ”Kami senantiasa merasakan ‘izzah sejak Umar masuk Islam!”

B. Umar RA Memangku Jabatan Khalifah Rasyidun

Setelah beliau menjabat sebagai khalifah, maka banyak persoalan dan tantangan yang dihadapi dalam lapangan sosial dan politik akibat perubahan zaman dan perkembangan wilayah Islam. Kebijaksanaan yang dilakukan oleh Umar r.a sebagai kepala negara meliputi pengembangan daerah kekuasaan Islam, pembenahan birokrasi pemerintahan, peningkatan kesejahteraan rakyat, pembentukan tentara reguler yang digaji oleh negara, pengembangan demokrasi dan kebijakan –kebijakan yang lainnya. Pada pembahasan berikut ini akan disimpulkan langkah-langkah khalifah Umar r.a dalam mengorganisir pemerintahannya. Perluasan Daerah. Selama sepuluh tahun pemerintahan Umar (634 – 644 M) kekuasaan Islam telah melebarkan sayapnya melampaui jazirah Arabia. Penaklukan demi penaklukan dilakukan pada masa Umar. Bahkan dua negara adidaya kala itu, Persia dan Bizantium, berhasil jatuh ke tangan umat Islam.

Pada tahun 635 M, tentara Islam dibawah pimpinan Khalid ibn Walid berhasil menaklukkan Damaskus. Setahun kemudian setelah tentara bizantium mengalami kekalahan pada perang Yarmuk, praktis seluruh wilayah Syria berhasil dikuasai Islam. Pada tahun 637, dipimpin oleh panglima perang Sa’d ibn Abi Waqqash, Irak berhasil pula dikuasai setelah berkecamuknya perang di Qadisiyah. Seluruh Irak praktis berada dalam kekuasaan Islam menjelang Khalifah Umar r.a wafat. Kemudian pada tahun 639 M, dibawah komando Amr ibn ‘Ash, Mesir berhasil pula dikuasai. Setahun kemudian tentara Islam berhasil menhancurkan imperium Persia. Pada tahun berikutnya, 641 M, Palestina yang dikuasai Bizantium jatuh ketangan ummat Islam. Kota Yerussalem yang di dalamnya terletak Baitul Maqdis merupakan yang terakhir jatuh ke tangan Islam secara damai. Adalah Umar r.a sendiri yang datang ke sana untuk menandatangani perjanjian damai tersebut.

Sistem Pemerintahan
Luasnya daerah kekuasaan Islam ini membuat Umar r.a merasa perlu membenahi dan menyempurnakan sistem pemerintahan yang telah dijalankan khalifah Abu Bakar r.a sebelumnya. Umar mengadakan pembaharuan signifikan dalam bidang administrasi negara. Dengan tetap menjadikan kota Madinah sebagai pusat pemerintahan Islam, Umar meminta kepada tokoh-tokoh sahabat senior untuk tidak meninggalkan kota Madinah. Umar membutuhkan tenaga mereka untuk memberi masukan-masukan dalam pelaksannaan tugas-tugasnya. Para sahabat senior inilah yang menjadi anggota “Majlis Syura” sebagai teman bermusyawarah atau berfungsi sebagai penasehat untuk menentukan kebijakan-kebijakan politiknya. Umar juga menempatkan Ustman ibn Affan sebagai sekretaris negara. Selain majlis syura, Umar juga melakukan musyawarah secara umum dengan kaum muslimin, untuk mendengar dan mengetahui aspirasi mereka. Hasil musyawarah ini kemudian dibawa ke forum majelis syura, sehingga keputusan yang akan diambil sesuai dengan kemaslahatan umat.

Umar juga memanfaatkan musim haji sebagai forum untuk mengadakan evaluasi atas pemerintahannya. Pada saat itu, Umar mengumpulkan para pejabat negara dan gubernur-gubernur di daerah . Mereka memberi laporan terhadap perkembangan pemerintahan di daerah masing-masing dan keluhan-keluhan rakyatnya. Pada masa pemerintahannya daerah-daerah dibagi menjadi delapan propisnsi, yaitu Madinah, Makkah, Syiria, Jazirah, Kufah, Basrah, Mesir adan Palestina. Pada masa Umar lembaga-lembaga penting untuk pertama kalinya dibentuk. Umar membentuk lembaga kepolisian (Diwan al Ahdats) untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat dan lembaga pekerjaan umum (Nazhrat al Nafi’ah) yang menangani masalah pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial, seperti gedung-gedung pemerintahan irigasi dan rumah sakit. Lembaga peradilan (al Qadla) juga mulai berdiri sendiri terpisah dari kekuasaan ekskutif. Umar juga membentuk departemen perpajakan (Diwan al Kharaj) untuk mengerlola perpajakan daerah-daerah yang dikuasai. Untuk mempertahankan diri dari serangan luar Umar merasa bahwa tentara harus dikelola oleh negara secara profesional. Untuk itu Umar pun membentuk departemen pertahanan dan keamanan (Diwan al Jund) yang mengurus dan mengorganisir masalah-masalah ketentaraan. Tentara tidak lagi dari anggota masyarakat yang dibutuhkan tenaganya ketika akan berperang, akan tetapi disiapkan secara khusus dan profesional. Mereka mendapat gaji dari negara. Pembentukan tentara profesional ini merupakan konskuensi logis dari penaklukan-penaklukan Islam terhadap daerah-daerah sekitarnya . Umar memandang bahwa tentara yang kuat merupakan syarat mutlak untuk menjaga keamanan dalam negeri dan mengendalikan wilayah –wilayah yang dikuasai.

Di samping itu Umar juga mendirikan kantor Perbendaharaan dan Keuangan Negara (Bait al Mal) yang permanen, menempa mata uang dan menetapkan tahun hijriah sebagai sistem kalender Islam. Para ahli berbeda pendapat tentang kapan Umar mulai membentuk lembaga-lembaga tersebut. Menurut al Thabari, Umar membentuk lembaga-lembaga negara pada tahun 15 H, atau tahun ketiga pemerintahannya. Sedangkan ibn Saad menyatakan bahwa pembentukan itu dimulai pada bulan Muharram tahun 20 H. Pendapat kedua ini lebih kuat menurut pandangan Haikal karena pada tahun tersebutlah penaklukan besar-besaran dilakukan oleh Umar, termasuk negara adidaya Bizantium dan Persia, Umar sendiri membentuk lembaga-lembaga tersebut diilhami oleh sistem pemerintahan yang dijalankan oleh kedua negara tersebut.

Untuk pemerintahan di daerah Umar mengangkat gubernur yang mempunyai otonomi yang luas, mereka menjalankan tugas dan fungsi sebagai pembantu khalifah. Sebagaimana halnya peradilan di pusat yang terpisah dari keuasaan ekskutif , diberbagai daerah juga diangkat beberapa hakim yang bebas dari pengaruh gubernur dan Khalifah. Mereka melaksanakan peradilan yang bebas dan mandiri. Dalam rekruetmen pejabat, Umar terkenal sangat mementingkan profesionalisme dan kemampuan dalam bidang tugasnya. Di samping itu aspirasi rakyat setempat yang berkembang juga cukup didengar oleh Umar. Dengan demikian Umar menjauhkan diri dari kebijkasanan nepotisme dan main drop-dropan dari atas untuk menentukan pejabat. Dalam sebuah kasus Umar pernah memecat Ammar bin Yasr sebagai gubernur Kufah karena “arus bawah” tiadak meras puas atas kepemimpinannya. Menurut masyarakat Kufah, Ammar tidak mengetahui seluk beluk politik pemerintahan sehingga tidak pantas memegang jabatan tersebut. Selain itu Umar juga mewajibkan calon pejabat untuk menjelaskan secara terbuka kekayaan yang dimilikinya sebelum memangku jabatan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana ia memperoleh harta dalam masa jabatannya. Kalau ternyata ada yang berasal dari hasil tidak sah, maka Umar menyitanya sebagai milik negara. Umar pun pernah membebaskan Sa’d ibn Abi Waqqas dari jabatannya sebagai gubernur Kufah karena kasus tersebut di atas dan hartanya disita menjadi milik negara. Harta tersebut kemudian dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Demikian juga Abu Hurairah yang dibebaskan dari jabatannya sebagai kepala daerah di Bahrain karena kasus yang sama. Umarpun mewajibkan hidup sederhana kepada para pejabatnya.

Umar terkenal sangat tegas terhadap pejabat-pejabatnya namun lembut dan penuh kasih sayang kepada rakyatnya. Kepada rakyat yang dijumpai di Madinah atau ketika musim haji, Umar selalu mengatakan bahwa ia mengirimkan pejabat kepada mereka bukan untuk berlaku zalim atau memukuli mereka melainkan untuk mengajarkan agama dan membagi rampasan perang buat mereka. Karenanya ia tidak dapat menerima perlakuan pejabatnya yang mezalimi rakyat. Dalam sebuah kasus pernah Umar menghukum gubernur Mesir Amr ibn al ‘Ash karena menyakiti warga Mesir. Kisahnya berawal ketika Muhammad anak Amr ibn al Ash kalah dalam sebuah pacuan kuda dengan orang Mesir tersebut. Karena malu anak Amr tersebut mengasari dan memukuli orang Mesir tersebut dengan cemeti. Amr yang tahu kejadian ini tidak berbuat apa-apa, bahkan ia memenjarakan orang Mesir itu agar tidak memberitahukannya kepada Khalifah Umar. Akhirnya, setelah berhasil meloloskan diri dari penjara, orang Mesir tersebut pergi ke Madinah menemui khalifah dan menceritakan kasusnya. Umar memanggil gubernur beserta anaknya dan menyuruh warga Mesir tersebut bermalam di Madinah menunggu kasusnya diproses. Ketika gubernur Amr beserta anaknya dipertemukan dengan orang Mesir itu, Umar meminta orang Mesir itu untuk membalaskan (mengqishas) perlakuan buruk yang pernah dilakukan oleh Muhammad bin Amr sekaligus orang tuanya yakni Amr bin al Ash, karena selaku gubernur ia membiarkan anaknya berbuat zalim terhadap rakyat jelata dan bahkan memenjarakannya. Namun Amr keberatan dengan hukuman tersebut, karena ia merasa dilecehkan kedudukannya sebagai pejabat negara. Umarpun marah kepada Amr bin al Ash sambil mengatakan “Hai Amr, sejak kapan kamu memperbudak manusia padahal ia dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka?”

Dari gambaran diatas terlihat bahwa Umar telah membagi kekuasaan secara terpisah . Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam Umar mulai memisahkan kekuasaan Legislatif (Majlis Syura) Yudikatif (Qadla) san Ekskutif (Khalifah) mesklipun tentu saja pemisahan ini tidak bisa diperbandingkan dengan sistem pemerintahan modern trias politika seperti sekarang ini. Kebijakan ini menunjukkan bahwa Umar memang seorang negarawan dan administrator yang bijak. Umar tidak mencampuradukkan tiga kekuasaan tersebut, sehingga pemerintahan dapat berjalan dengan baik dan membawa kepada kemaslahatan umat Islam. Masa pemerintahan Umar dapat diangap sebagai masa peningkatan kesejahteraan rakyat. Perluasan daerah membawa dampak banyaknya devisa negara yang masuk baik dari rampasan perang maupun pajak yang dibayarkan oleh daerah-daerah yang ditundukkan . Karenanya Umar berusaha memanfatkan keuangan negara tersebut untuk kesejahteraan rakyatnya. Untuk itu Umar memberi tunjangan kepada kaum muslimin. Pemberian ini diatur berdasarkan nasab kepada Nabi, senioritas,dalam masuk Islam, jasa dan perjuangan mereka dalam menegakkan Islam. Rincian tunjangan tersebut adalah :
1. Keluarga Nbi:
a. Abbas ibn Abdul Muthallib: 25.000 dirham
b. Aisyah : 12.000 dirham
c. Istri-istri Nabi lainnya : 10.000 dirham
d. Shafiyah :6.000 dirham
e. Juwairiyah :6.000 dirham

2. Veteran perang Badar
a. Umar ibn al Khathab 5.000 dirham
b. Ali ibn Abi Thalib 5.000 dirham
c. Ustman bin Affan 5.000 dirham
d. Hasan bin Ali 5.000 dirham
e. Husein bin Ali 5.000 dirham

3. Kelompok Anshor
a. Abu Dzar al Ghiffari 4.000 dirham
b. Muhammad bin Maslamah 4.000 dirham

4. Tokoh-tokoh Badar hingga Hudaibiyah 4.000 dirham
5. Orang yang hijrah ke Habsyi 4000 dirham
6. Orang hijrah sebelum Fath al Mekkah 3000 dirham
7. Orang yang ikut dalam perjanjian Hudaibiyah hingga penumpasan gerakan murtad 3000 dirham
8. Orang yang hidup pada masa Fathu Makkah hingga perang Qadisiyah 2000 dirham
9. Orang yang hidup pada perang Qadisiyah hingga Yarmuk 1000 dirham
10. Panglima perang 7.000 s.d. 8000 dirham
11. Abdullah bin Umar 3000 dirham
12. Usamah bin Zaid 4000 dirham
13. Penduduk Yaman Syam dan Iraq 1000-2000 dirham
14. Istri-istri kaum Muhajirin dan Anshar 600 dirham
15. Penduduk Makkah 800 dirham
16. Ibu yang menyusui 200 dirham
17. Bayi yang baru dilahirkan 100 dirham.

Selain yang tercatat di atas, Umar juga menyediakan dana kesejahteraan kepada setiap anak pungut atau terlantar sebesar 100 dirham yang diambilkan dari Bait al Mal dan disampaikan oleh walinya. Makin besar anak itu, maka pemberian untuknyapun semakin besar pula. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa Khalifah Umar memberikan tunjangan sosial kepada setiap jiwa yang berhak. Untuk itu pertama kali dalam sejarah Islam, Umar mengadakan “sensus penduduk” untuk mengetahui cacah jiwa yang berhak mendapat bantuan. Untuk daerah Madniah Umar sendiri yang menyerahkan pemberian tersebut kepada rakyatnya. Demikian juga untuk kabilah-kabilah yang tidak jauh dari Madinah . Sedangkan untuk pemberian di daerah dilakukan oleh kepala-kepala daerah setempat dengan dasar sistem yang telah digariskan Umar.

Sistem Peradilan
Seperti disinggung di atas, Umar melakukan perubahan mendasar dalam kekuasaan peradilan dengan memisahkannya dari ekskutif. Umar mengangkat Abu Darda’ sebagai hakim di Madinah, sedangkan untuk hakim-hakim daerah Umar mengangkat Syuraih untuk Basrah, Abu Musa al Asy’ari untuk Kufah dan Utsman ibn Qais ibn Abi al Ash untuk Mesir. Mereka diberi kewenangan yang luas dan bebas dari intervensi kekuasaaan ekskutif. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa hakim-hakim baik di pusat maupun di daerah diberikan wewenang yang luas untuk menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan sengketa harta atau hukum perdata. Sedangkan untuk masalah-masalah tindak pidana seperti qishas atau hudud, Umar sendirilah yang menanganinya.

Dalam bidang hukum dan peradilan Umar banyak melakukan ijtihad dalam berbagai masalah umat. Ada bebrapa ijtihad Umar yang kontroversial dan menimbulkan polemik dikalangan sahabat, karena sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh NAbi SAW. maupun oleh Abu Bakar ra. Umar tidak pernah memotong tangan pencuri karena terpaksa. Umar juga tidak membagi-bagikan harta rampasan perang berupa tanah Sawad di Iraq dan di Syria kepada tentara yang berperang, akan tetapi membiarkannya tetap digarap oleh pemiliknya. Selain itu Umar juga tidak memberi bagian zakat kepada muallaf. Banyak sahabat yang mengritik kebijakan Umar terhadap masalah-masalah tersebut. Namun yang patut digarisbawahi adalah tradisi musyawarah yang tidak pernah ditinggalkan Umar di dalam memecahkan masalah-masalah tersebut. Dalam kasus rampasan perang misalnya, Umar membuka forum diskusi yang bebas dengan sahabat baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshor. Umar mendengar dan mempertimbangkan pendapat mereka. Dalam forum ini para sahabat tidak segan-segan mendebat dan membantah pendapat kepala negara. Sebaliknya Umarpun tidak melayani mereka dengan emosional, akan tetapi dengan rasional dan jawaban yang argumentatif. Akhirnya Umarpun dapat menyakinkan sahabat lainnya yang membantahnya sehingga pendapatnya dapat diterima.

Di antara sahabat yang paling banyak diajak berdiskusi tentang persoalan hukum dan kadang bahkan mengkritik ijtihad hukum yang dilakukan oleh Khalifah Umar adalah sahabat Ali ibn Abi Thalib. Dalam sebuah bukku karya Dr. Ruway”i ar Ruhailiy yang berjudul :Fiqhu Umar Ibn al Khathab Muwadzinan bi Fiqhi Asyhuri al Mujtahidin disebutkan beberapa contoh kasus dimana Sahabat Ali seringkali meluruskan keputusan hukum yang dijatuhkan Umar dalam kasus-kasus tertentu. Seperti dalam kasus seorang wanita gila yang berzina oleh Umar wanita itu hendak dirajamnya. Lantas Ali mengingatkan Umar tentang adanya hadis yang melarang menjatuhkan hukuman kepada tiga kelompok orang yakni orang gila sampai ia sembuh, orang yang tertidur sampai ia bangun dan anak kecil sampai ia dewasa. Atas saran Ali kemudian Umar mencabut hukuman rajam itu dan mengucapkan takbir. (H.R Sunan Abu Daud Jilid II, hlm.451 sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Ruhailiy)

Sistem Suksesi
Dalam masalah suksesi Umar menempuh cara yang berbeda dengan Abu Bakar ra . Setelah mengalami luka parah akibat tikaman seorang budak Persia bernama Abu Lu’luah para sahabat merasa khawatir kalau-kalau Umar meninggal dunia dan tidak sempat meninggalkan pesan tentang penggantinya. Ini bisa membahayakan umat islam, mengingat trauma Saqifah Bani Sa’diyah masih belum hilang. Mulanya Umar menolak memenuhi permintaan sahabat-sahabat tersebut. Menurutnya orang yang pantas untuk untuk menduduki jabatan puncak, untuk menggantikannya, sudah lebih dulu meninggal . diantara sahabat kemudian mengusulkan agar Umar menunjuk putranya ‘Abdullah menjadi penggantinya. Mendengar perminaaan ini Umarpun marah dan mengaskan bahwa cukup hanya seorang Umar dari keluarganya yang mendapat kehormatan menjadi pemimpin umat islam. Akhirnya sahabat pulang dari rumah Umar dengan perasaan kecewa.

Namun mengingat bahaya perpecahan semakin kelihatan bila umar tidak meninggalkan wasiat tentang penggantinya, para sahabat kemudian mengunjungi Umar lagi dan mendesaknya agar menunjuk penggantinya. Umar pun tidak bisa mengelak dari permintaan tersebut. Hanya saja Umar tidak langsaung menunjuk seseorang sebagai penggantinya seperti dilakukan oleh Abu Bakar terhadap dirinya . Umar memilih enam sahabat senior yang terdiri dari Ustman, Ali Karramallahu Wajhah , Abdurrahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah, Zubeir bin Awwam, Sa’d ibn Abi Waqqash dan putranya sendiri Abdullah. Mereka inilah tim formatur yang akan menunjuk siapa diantara mereka yang menjadi khalifah. Namun Umar menggaris bawahi bahwa putranya Abdullah tidak boleh dipilih. Di samping itu Umar juga menjelaskan aturan main pemilihan khalifah. Umar berpesan bahwa bila empat atau lima orang sepakat memilih seseorang untuk menjadi khalifah dan satu atau dua orang membangkang, maka yang membangkang tersebut harus dipenggal lehernya. Kalau suara berimbang 3:3 maka keputusan akan diserahkan kepada Abdullah ibn Umar. Tetapi kalau keputusan ibn Umar juga tidak dapat disepakati maka yang menjadi khalifah adalah calon yang dipilih oleh kelompok Abdurrahman bin Auf. Kalau ini tidak disetujui juga penggal saja orang yang membangkang tersebut.

Setelah Umar wafat dan dimakamkan, mulailah tim formatur –tolhah tidak ikut karena tidak ada di Madinah- mengadakan musyawarah. Sejak semula jalannya musyawarah ini benar-benar alot dan ketat. Masing-masing ingin menduduki jabatan khalifah . Abdurahman bin Auf menawarkan agar ada di antara anggota musyawarah yang mengundurkan diri. Namun tak ada seorangpun yang bersedia. Akhirnya Abdurrahman bin Auf sendiri yang memulainya. Setelah itu beliau melobi anggota lainnya. Ia menanyakan kepada Ustman siapa yang pantas menjadi khalifah, seandainya ia tidak terpilih, Utsman menjawab Ali, Lalu pertanyaan yang sama ditujukan kepada Zubeir dan Sa’d secara terpisah. Keduanya menjawab, Ustman. Ketika Ali disodorkan pertanyaan yang sama, jawaban yang diberikannya juga, Utsman.

Dari jawaban-jawaban tersebut dapat ditarik polarisasi kekuatan yaitu Ali dan Ustman. Polarisasi ini juga mengkristal dalam masyarakat Madinah. Selanjutnya Abdurrahman memanggil Ali dan menanyakan seandainya ia terpilih menjadi khalifah , sangggupkah ia melaksanakan tugasnya berdasarkan al Qur’an dan as sunnah. serta meneruskan kebijakan khalifah Abu Bakar dan Umar . Ali karena kepolosannya dan rasa tawadlu’nya hanya menjawab bahwa ia berharap dapat menjalankannya sesuai dengan pengetahuan dan kemampuannya. Setelah itu Abdurrahman bin Auf memanggil Utsman dan menyodorkan pertanyaan serupa Ustman pun menjawab:”Ya sanggup!” Akhirnya Utsman pun dibaiat menjadi khalifah ketiga dalam usia 70 tahun. Di lain fihak Ali sangat kecewa dan merasa dirugikan dengan sistem pemilihan yang dimotori Abdurrahman. Meskipun akhirnya Ali juga ikut membaiat Utsman. Dari sistem pemilihan yang digariskan di atas agaknya Umar sudah merasa kekuatan politik Islam sudah semakin kuat. Umar tidak merasa khawatir akan perpecahan dalam tubuh umat Islam seperti halnya Abu Bakar karena ia telah meletakkan sendi-sendi demokrasi dan memperkokoh Daulah Islamiyah. Oleh sebab itu Umar memberikan kesempatan kepada sahabat sepeninggalnya untuk melaksanakan sistem musyawarah yang digariskannya dalam memilih anggotanya.

Daftar Rujukan :
[1] Ibn Hisyam, al Sirah an Nabawiyyah, h. 292 [2] Sunan al Tirmizdi, Bab Manaqib Abu hafsh Umar ibn al Khathab, II / h. 209 [3] Abdurrahman bin al Jauzi, Tarikh Umar ibn al Khathab, h. 6 [4] Ibnu Hisyam, al Sirah an Nabawiyyah, h. 344 [5] Abdurrahman bin al Jauzi, Tarikh Umar ibn al Khathab, h. 10 [6] Abdurrahman bin al Jauzi, Tarikh Umar ibn al Khathab, h.7,10,11 juga Ibnu Hisyam, al Sirah an Nabawiyyah, h.343-346 [7] Ibnu Hisyam, al Sirah an Nabawiyyah, h.349, 350 [8] Abdurrahman bin al Jauzi, Tarikh Umar ibn al Khathab, h. 8 [9] Ibnu Hisyam, al Sirah an Nabawiyyah, h.349 [10] Abdurrahman bin al Jauzi, Tarikh Umar ibn al Khathab, h. 6,7 [11] Muhammad bin Abdul Wahhab at Tamimi an-Najd, Muhtashar Sirah ar-Rasul, h. 103 [12] Abdurrahman bin al Jauzi, Tarikh Umar ibn al Khathab, h. 13 [13] Shahih Bukhari, Bab Islamu Umar ibn al Khathab, I / h.545 14 Ahmad Amin, Fajr al Islam, (Kairo:Maktabah al Nahdlah al Mishriyyah, T.Tp)Jilid I, hlm .9-11 [15] Sulaiman M. al Thamawi, Umar Ibn al Khathab, (Kairo: dar al Fikr al Arabi, T.Tp, hlm. 307-308 [16] Thaha Husein, al Syaikhani, Ali Audah (Penerjemah) Dua Tokoh Besar dalam Sejarah Islam, Abu Bakar dan Umar (Jakarta:Pustaka Jaya , 1986) hlm. 234 [17] Thaha Husein, al Syaikhani, Ali Audah (Penerjemah) Dua Tokoh Besar dalam Sejarah Islam, Abu Bakar dan Umar (Jakarta:Pustaka Jaya , 1986) hlm. 235-236 [18] Sulaiman M. al Thamawi, Umar Ibn al Khathab, (Kairo: dar al Fikr al Arabi, T.Tp, hlm..281-282


Selengkapnya.....

Oleh : Khoirul Asfiyak

Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu al Abbas al Shaffah (750 – 754)M. Namun demikian pendiri yang sesungguhnya adalah Abu Ja’far al Manshur (754 – 775) M. dinasti Abbasiyah menjalankan imperium kekuasaannya hampir selama 7 abad yakni semenjak tahun 750 – 1258 M. dinasti ini runtuh akibat serangan bangsa mongol yang dikomandani oleh panglima besar mereka Hulagu Khan pada tahun 1258 M.


Berikut ini dipaparkan sekilas tentang kondisi peradilan pada masa Kejayaan Dinasti Abbasiyah :
a. Kebijakan politik Abbasiyah terhadap lembaga peradilan

Keberadaan peradilan pada masa ini sesungguhnya meneruskan tradisi dan kebijakan yang telah dijalankan oleh dinasti sebelumnya yakni masa kekuasaan Ummayah. Sebagaimana Ummayah yang melebarkan kekuasaannya ke berbagai penjuru kawasan, Abbasiyah juga memperluas kekuasaannya dan sekaligus membentuk pemerintah daerah di berbagai tempat. Pemerintahan daerah yang didirikan itu antara lain bertugas mengelola secara administratif kawasan-kawasan yang baru ditaklukkan. Para pemegang kekuasaan pemerintahan daerah itu disebut Amir, Qaid al Jund, Amil Khalifah atau Amil saja. Pada awalnya pemegang kekuasaan ini bertugas melakukan segala bidang yang berkaitan dengan pemerintahan daerah. Namun dalam perkembangan selanjutnya pada setiap bidang ditunjuk pejabat yang menanganinya . Penunjukan ini dilakukan oleh khalifah.

Salah satu dari pejabat daerah yang diangkat oleh khalifah adalah pejabat qadli ditingkat gubernur. Baik itu pada wilayah kekuasaan Mustakfi ataupun pada wilayah yang termasuk kawasan kekuasaan Istila’. Masing-masing dari dua bentuk kekuasaan ini terdapat hakim yang diserahi tugas untuk menerima, memeriksa dan mengadili setiap perkara yang diajukan umat islam kepada badan peradilan tersebut. Ketika hakim-hakim daerah ini membuat keputusan hukum, maka keputusan mereka itu bersifat mengikat bagi para pihak yang bersengketa. Kecuali jika para pihak menyatakan keberatannya terhadap putusan yang telah ditetapkan, maka mereka diperkenankan untuk mengajukan gugatan banding ke tingkat peradilan yang lebih tinggi yakni ke lembaga Qadli Qudhat (MA) yang berada di pusat ibu kota kerajaan Abbasiyah. Orang yang pertama kali menjabat kekuasaan Qadli Qudhat ini adalah Abu Yusuf murid dari Mujtahid Besar Persia Abu Hanifah.

Sejarah mencatat bahwa Qadli Qudhat ini pertama kali dibentuk pada masa Abbasiyah -tepatnya- pada masa kekuasaan Harun al Rasyid. Selain Abu Yusuf murid Abu Hanifah lainnya yang menjadi pejabat Qadli Qudhat adalah Muhammad Ibn Hasan al Syaibaniy. Perlu dicatat bahwa pada masa akhir kekuasaan Abbasiyah jumlah Qadli Qudhat tidak hanya satu, melainkan lebih dari satu. Hal ini disebabkan munculnya beberapa pusat kekuasaan baru baik di Mesir (Dinasti Fathimiyyah) di India (Dinasti Mughal)di Iran (Dinasti Safawiy) di teluk Balkan (Dinasti Ilkhan) sehingga di masing-masing tempat itu terdapat seorang qadli qudhat yang memiliki otorita hukum untuk menangani perkara banding yang diajukan kepadanya dalam batas wilayah negeri tersebut. Bahkan pada masa Dinasti Mamluk di Mesir setiap mazhab memiliki seorang Qadli Qudhat yang wewenangnya hanya terbatas di kalangan pengikut mazhabnya saja.

Jika pada masa 4 sahabat besar dan masa dinasti Ummayah, Khalifah hanya memegang kekuasaan Yudikatif dan ekskutif saja, maka pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam urusan peradilan. Dalam artian khalifah tidak lagi mengurus dan memeriksa perkara-perkara yang diajukan oleh umat islam ke pengadilan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan, maka para hakim yang ditunjuk oleh klhlaifah-lah yang akan mengusut perkara tersebut. Hal ini bisa dimengerti mengingat bahwa pada saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya memikirkan persoalan politik baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga tidak punya kesempatan lagi untuk membina peradilan secara langsung. Sehingga yang terjadi adalah khalifah tidak lagi memiliki kemmapuan ijtihad dan keahlian dalam hukum islam sebagaimana keahlian yang dimiliki oleh 4 khalifah rasyidun yang di samping sebagai seorang khalifah juga seorang ahli hukum.

Pada masa awal berdirinya, para khalifah dinasti Abbasiyah masih terlihat ikut campur tangan dalam keputusan-keputusan hukum yang dibuat oleh badan-badan peradilan. Khalifah hanya mengawasi dan mengontrol pekerjaan hakim, jika terdapat hakim yang melanggar dan menyimpang dari tugasnya maka khalifah segera memecatnya. Akan tetapi semenjak berkembang dan munculnya imam-imam mujtahid, kondisi seperti itu lambat laun mulai berubah. Hal ini mengingat adanya beberapa pertikaian dan pertengkaran yang terjadi antara hakim-hakim dengan pendapat pribadi mujtahid yang kadangkala berbenturan satu dengan yang lainnya.

Seringnya perdebatan di antara mereka itu, sebenarnya berdampak pada dua hal, (pertama), mendinamisasi wacana keilmuan di sekitar hukum Islam (fiqh ) namun di sisi lain, (kedua), menciptakan suasana ketidakpastian hukum di tengah-tengah masyarakat. Karena setiap keputusan hakim tentang suatu perkara kadang diperdebatkan dasar hukum dan kesahihannya oleh para mujtahid yang mengetahui kasus tersebut beserta hukum yang mungkin benar menurut pendapatnya. Pada akhirnya Khalifah melepaskan diri dari campur tangan terhadap lembaga peradilan itu, karena sesungguhnya pendapat hakim itu kebanyakan bukan murni keputusan hukum, melainkan berupa pesan-pesan yang diinginkan oleh khalifah untuk maksud-maksud tertentu.

Demikianlah dapat disimpulkan bahwa pada awalnya dinasti Abbasiyah berusaha mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh peradilan, akan tetapi pada masa-masa berikutnya karena berbagai faktor campur tangan itu akhirnya ditinggalkan. Khalifah akhirnya hanya membuat regulasi yang sifatnya umum dan formalitas belaka, seperti pengangkatan hakim-hakim daerah yang setiap hakim itu pada akhirnya memiliki otorita dan independenitas yang tinggi.

b. Sumber hukum dan Independensi Hakim

Jika pada masa Nabi perkara itu dengan mudah bisa diputuskan oleh beliau karena memang sumber hukum berasal dari diri beliau, baik al Qur’an maupun al hadis, maka pada masa dinasti Abbasiyah sumber hukum lebih bervariasi. Di samping al Qur’an dan al Hadis, sumber hukum yang banyak digunakan oleh hakim pada saat itu adalah Yurisprudensi atau Preseden hukum yang ditinggalkan oleh hakim-hakim sebelum mereka. Tidak dapat dipungkiri, bahwa sebelum masa ini, hakim-hakim Ummayah telah memutus berbagai persoalan baik yang ada ketetentuannya dalam nash maupun yang belum. Keputusan-keputusan itu merupakan warisan yang kaya yang bisa dijadikan sebagai rujukan bagi hakim-hakim masa dinasti Abbasiyah.

Di samping itu berkembangnya pemikiran hukum yang digagas oleh para imam mazhab, semakin memperkaya rujukan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara di sidang-sidang pengadilan yang mereka jalani. Banyak sekali hasil pemikiran mujtahid itu baik dalam bentuk Metodologi (Ushul Fiqh)nya maupun hasil (Fiqh)nya dapat daijadikan sebagai sumber hukum bagi peradilan. Perlu juga dicatat bahwa hakim kala itu di samping memiliki keahlian dalam memeriksa dan memutuskan perkara, mereka juga fuqaha yang ahli baik dalam epistemologi hukum islam maupun ilmu-ilmu yang lainnya.

Dari segi kebebasan berpendapat dan memutuskan perkara, kondisi hakim pada masa ini lebih baik daripada pada masa-masa sebelumnya. Hakim memiliki kebebasan untuk melakukan interpretasi terhadap teks yang masih ‘Am, Mutlaq, (Global) dll yang memerlukan penafsiran hukum. Khalifah tidak berhak membatasi kebebasan pemikiran hakim tersebut dan tidak ada satu fuqaha ataupun satu mujtahid yang bisa melarang seorang hakim berijtihad atau memberi fatwa terhadap suatu peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Kebebasan itu pada akhirnya memang berujud pada kompleksitas teks hukum yang dijadikan sebagai rujukan atau dasar putusan dalam lingkungan peradilan. Akibatnya tidak ada suasana kepastian hukum karena seorang pencari keadilan kadang harus menghadapi sidang yang hakim dan rujukan sumber hukumnya tidak sama dengan mazhab yang dianut oleh si pencari keadilan itu.

Dalam rangka menghindari pengulangan pemeriksaan perkara yang sama / yang pernah diajukan dan dalam rangka mencari kepastian hukum, keputusan-keputusan hukum itu lantas diregistrasi oleh pengadilan. Orang yang pertama kali melakukan pencatatan putusan pengadilan itu adalah Salim bin Anas, salah seorang hakim di Mesir yang kala itu menemui perkara yang sudah diputusnya namun diajukan lagi kepadanya.

c. Fungsi Hakim di Luar Lembaga Yudikatif

Ada beberapa fungsi hakim di luar jabatannya sebagai penegak keadilan, yakni :

1. Nazharul Mazhalim

Nazarul Mazhalim adalah lembaga yang melindungi masyarakat dari berbagai bentuk penganiayaan penindasan mapun permusuhan dari badan-badan pemrintah baik di pusat maupun di daerah. Lembaga ini timbul karena hakim tidak mempunyai wewenang untuk menangani hal-hal tersebut. Sebab terhdap hal-hal tersebut hanya khalifah atau para pembesar negara yang ditunjuk oleh khalifah sajalah yang berwenang menanganinya.

Asal usul lembaga ini berasal dari persia. Para Kaisar Persia yang pertama kali mempraktekkannya. Menjelang islam muncul lembaga yang demikian ini pernah muncul dan dipraktekkan oleh bangsa Quraisy dalam bentuk Pakta al Fudhul (al Hilf al Fudhul ) dalam islam lembaga nazarul mazalim baru uncul pada masa kekuasaan Ummayah , tepatnya pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Segala bentuk penyelewengan dan penganiayaan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah waktu itu ditangani langsung oleh khlaifah.

Ketika dinasti Abbasiyah muncul, pada mulanya lembaga tersebut dipegang langsung oleh khalifah. Tapi kemudian khalifah menunjuk seorang wakil yang disebut Qadhi al Mazhalim atau Shahib al Mazhalim. Pemegang jabatan ini sendiri tidak mesti seorang hakim, memang hakim lebih didahulukan karena pemahamannya terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum. Namun khalifah seringkali menunjuk pejabat lain yang lebih berwibawa, amanah, dan mampu memberikan perlindunganterahdap masyarakat sehingga kebrobokan dalam tubuh negara bisa dihentikan. Karena itu pejabat lembaga ini kadang kala adalah seorang menteri peperangan.

Selain itu tugas Nazharul Mazhalim adalah :(Pertama), mengawasi penegakan hukum yang dijalankan oleh khalifah/wali terhdap warga negara , pegawai perpajakan/ departemen tertentu, Jika mereka menyalahgunakan wewenangnya. (Kedua), mengawasi terhadap distribusi bantuan pemerintah terhadap orang miskin dari pengurangan , keterlambatan atau mungkin tidak sampainya bantuan tersebut. (Ketiga), Membantu qadhi melaksanakan keputusan-keputusan yang dibuat di pengadilan. (Keempat), mengawasi atau menjaga keberlangsungan praktik-praktik ibadah dan akhirnya mengembalikan barang hasil curian pada orang yang berhak. Pada masa sekarang ini lembaga Nazharul Mazhalim dikenal dengan istilah : Ombudsmen, dan Negara Indonesia sudah memiliki lembaga ini sejak zaman presiden Suharto.


2. Lembaga Hisbah

Pemegang atau pemangku otorita lembaga ini biasa disebut sebagai Muhtasib, dan ia bukan merupakan lembaga atau badan peradilan dalam pengertian an-sich seperti halnya badan peradilan biasa atau nazarul mazhalim. Akan tetapi lembaga ini merupakan lembaga keagamaan murni yang didasarkan pada seruan untuk melaksanakan kebajikan dan meninggalkan perbuatan yang mungkar. Pengertian mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran itu oleh lembaga hisbah diterjemhakan menjadi “kewajiban-kewajiban praktis yang sesuai dengan kepentingan umum kaum muslimin”.
Tugas praktis lembaga ini antara lain :
- Menangani persoalan yang berkaitan dengan pengurangan timbangan dan ukuran yang digunakan oleh penjual ketika bertransaksi barang dagangannya ( Sil'ah ) di pasar.
- Menangani persoalan penyembunyian cacat barang dagangan / komoditi atau penipuan barang / harga jual barang tersebut
- Memaksa orang yang berhutang untuk segera membayar hutangnya, jika ternyata ia mengulur-ulur pembayaran hutang itu, padahal ia mampu untuk segera membayar
- Mengawasi para guru agar tidak memukul atau berlaku kasar terhdap anak didiknya
- Mengawasi penggunaan binatang ternak/tunggangan untuk tidak membawa beban melebihi batas kemampuannya
- Menghukum orang yang suka menghina / mengucapkan kata-kata kotor agar tercipta suasana harmoni dalam masyarakat

3. Lembaga Ifta,

4. Lembaga Syurthah ( to be continued )

Daftar Kepustakaan:

1. JND Anderson, 1994,Islamic Law in The Modern world, Mahnun Husain (Penerjemeah),Yogyakarta:Tiara Waca
2. H.A. R Gibb, 1983, Mohammadanisme, Abu salamah (Penerjemah) Jakarata-New York: Yayasan Franklin
3. A. Hassan, 1994,The early development of Islamic Yurisprudence, Agar Gahnadi (Penerjemah) Bandung: PT Pustka
4. M. abdul Qadir Abu Faris, 1976, al Qadla Fi al islam, Amman, Yordan: Maktabah al Aqsha
5. Faisar Ananda Ismail, 1996,sejarah pemebntukan Hukum Islam, jakarta:Pustka firdaus
6.Nourouzzaman Shiddiqie, 1983, Pengantar Sejarah Muslim, Yogaykarta:Nur Cahaya
7. Suyuthi Pulungan, 1999, Fiqh siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada
8. M. Iqbal, 2000, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi doktrin Politik Islam, Jakrta:Gaya Media Pratama
9. Salam Madzkur, al Qadla Fil Islam,
10. Syalabiy,1981, tarikh Tasyri’ Islam wa tarikh an Nuzdm al Qadlaiyyah fi al Islam, Kairo: Maktabah al Nahdhah Lil Mishriyah
11.Abdul Mun’im Majid, Tarikh al Hadlarah al Islamiyah : Fi al Ushur al Wustha, Kairo; Maktabah al Anglu al Mishriyah
Selengkapnya.....

Download MK

MSI

Translator



English French German Spain Dutch Arabic

Recent Post

DAFTAR ISI BLOG

1.Blog Sejenis
2.Line Website UNISMA
3.Jam’ul Qur’an
4.Hadis Pra Modifikasi
5.Kampus Pusat Budaya
6.Qawaidul Fiqhiyyah
7.Sarjana Pengangguran
8.Penyimpangan dalam Penafsiran al Qur’an
9.Implementasi Ilmu Islam dalam Peguruan Tinggi Islam
10.Pemikiran Ibn Miskawaih Dlm Pendidikan
11.Otentisitas Hadis versi Orientalis
12.Maqashid al Tasyri’
13.Sejarah Peradilan Islam
14.Mengais Kembali Konsep Turats
15.Sufi Martir Ain Qudhat
16.Tema Pokok al Qur’an
17.Metodologi Penelitian
18.Nilai Maslahat dan HAM dalam Maqashid al Tasyri’
19.Pembaharuan Kurikulum Dasar Menengah
20.Pemikiran al Mawardi
21.Tasawwuf al Falsafi
22.Profil Dosen FAI UNISMA
23.Download Bahan Kuliah
24.Ikhtilaf al Hadis Part. I
25.Ikhtilaf al Hadis Part. II
26.Filsafat Ibn Rusyd
27.Inkar as Sunnah I
28.IInkar as Sunnah Part. II
29.Beasiswa Kuliah Gratis
30.Download MAteri Perkuliahan
31.Uji Timbang Blog
32.Award Pertama Buat FAI
33.Hakikat Manusia : Sebuah Renungan
34.Award oh Award
35.Pengumuman Mengikuti Beasiswa
36. Blog-ku Istana-ku
37.Kuliah Umum di FAI Unisma
38. Info LAnjutan Beasiswa
39. Dukungan Untuk Sang Guru
40. Zikir Akbar di Unisma
41.Ujian Seleksi Kuliah Beasiswa
42. Habil dan Qabil di Era Global
43. Suasana Ujian Seleksi Beasiswa
44. Mengapa aku harus memilih?
45.Pengumuman Hasil Ujian
46. award Dari Sobat Blogger
47. Psikotest Mahasiwa Beasiswa
48. Award Maning
49.Award Blogging 4 Earth
50. Pengumuman Hasil Ujian
51.Award Motivasi & Perilaku
52. Sistem Pembekalan Akademik
53. Award Tiad aPernah Berakhir
54. Light Up The Noght
55.Cap Jempol Darah
56.Awardmu-Awardku-AwardKita
57.Anti Mati Gaya Open Minded
58.Award Is Never Die
59.KEM tingkat Nasional
60.Pengumuman Kuliah Umum
61.Virus Malas Ngeblog
62.Pengumuman Hasil Seleksi Ujian
63. Prote Hasil Pilpres
64. Ramadhan Itu Datang Lagi
65.Orientasi Pendidikan MABA UNISMA
66.Download PPT HAM dan Gender
67.Gus Dur:Sang Guru Bangsa
68.Gerakan Fundamentalisme Islam
69.Download E-Book
70.FAI UNISMA
71.Umar Ibn al Khaththab
72.Beasiswa Kuliah Prodi PGMI
73.Ikhtilaf al Hadis Part. II
74.Gelar Doa sivitas FAI UNISMA
75.Pengumuman Pelaksanaan Tes Ujian Prodi PGMI
76.Pengumuman Hasil Tes Ujian Prodi PGMI
77.Beasiswa S2 Prodi Hukum Islam PPS UNISMA
78.Selamat Jalan Akhi
79.Pesta Demokrasi
80.Ordik MABA UNISMA
81.Islam Rahmat Lil Alamin
82.Beasiswa Bagi Guru PAI di Kemendiknas
83.Hasil Akreditasi PGMI
84.Rekonstruksi Kurikulum FAI UNISMA
85.Beasiswa Perkuliahan Prodi PAI
86. Ketentuan Lomba Lustrum
87. Pengumuman Hasil Psikotes
88. Beasiswa Untuk Guru PAI
89. Islam dan Ilmu Pengetahuan
90. Pengumuman Kelulusan Penerima Beasiswa
91. Pengumuman Hasil Seleksi Ujian Tulis
92. Maqamat dan Ahwal al Sufiyah
93. Ikhtilah Ulama