Oleh : Khoirul Asfiyak, M.HI
Abstrak
Adanya kesenjangan pada
kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan menyebabkan perempuan belum dapat
menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial,
ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan pembangunan.Selain itu
rendahnya kualitas perempuan turut mempengaruhi kualitas generasi penerusnya,
mengingat mereka mempunyai peran reproduksi yang sangat berperan dalam
mengembangkan sumber daya manusia masa depan. Keadilan gender adalah suatu
proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada
pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap
perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai
dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan
demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas
pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
A. Pendahuluan
Dalam dua dasawarsa terakhir isu-isu
yang bersinggungan dengan persoalan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) semakin membuncah dalam berbagai forum baik yang
berskala regional, nasional lebih-lebih di tingkat internasional. Semakin banyak bermunculan individu maupun komunitas yang peduli dan concern
dalam membincang dan menjadi penggiat kesetaraan gender dalam berbagai forum
ilmiah maupun dalam kehidupan praktis di lapangan. Gerakan
peduli kesetaraan gender ini pada mulanya digagas oleh masyarakat kampus, hal
ini dibuktikan dengan semakin banyaknya pembentukan Pusat Studi Gender di
berbagai universitas di tanah air. Inisitif kalangan akademisi ini pada
akhirnya disambut pemerintah dengan diresmikannya
secara politik pemikiran kesetaraan dan keadilan gender ini dalam sebuah kebijakan nasional
sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999, UU No. 25 th. 2000 tentang Program Pembangunan Nasional -PROPENAS 2000-2004, dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun
2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan nasional, sebagai
salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.
Kebijakan pemerintah orde baru
menggelontorkan proyek Pengarus Utamaan Gender ini merupakan langkah yang
cerdas sebagai bagian dari mengikis, menghapus, dan menghilangkan pola pikir
masyarakat Indonesia yang secara umum masih dibelenggu oleh gaya pemikiran yang
sarat dengan bias gender. Tanpa usaha yang sungguh-sungguh dalam aksi nyata di
tengah kehidupan masyarakat maupun dukungan pemerintah berupa payung hukum yang
memberi landasan kuat dalam kehidupan bernegara, maka isu-isu kesetaraan dan
keadilan gender itu hanya akan berhenti dalam tataran ide dan tidak bisa
menyentuh sisi kehidupan riel masyarakat indonesia. .
Semua orang dapat dipastikan memiliki
keyakinan yang sama bahwa kehidupan bernegara dan berbangsa mempersyaratkan
adanya keterlibatan penuh dan partisipasi aktif dari masyarakatnya. Tanpa
adanya dukungan dan kontribusi yang maksimal dari warga masyarakat terhadap
pemimpinnya, dapat dipastikan pola kepemimpinan yang berjalan adalah bersifat
otoriter dan tiran. Dan ketika pemerintahan dikelola dengan sistem yang tiran
maka dapat dipastikan kemakmuran dan keadilan adalah harga yang mahal dan pada
akhirnya hanya akan mengantarkan masyarakat itu pada kesengsaraan abadi. Dan
pelibatan masyarakat terhadap proses penyelenggaraan negara/pemerintahan ini
harus melibatkan seluruh warga negara tanpa ada diskriminasi dalam berbagai bentuknya,
seperti, Ras, agama, Suku dan terlebih kaitannya dengan gender. Dalam artian
partisipasi politik warga negara tidak didasarkan pada sentimen jenis
kelamin dengan cara mengunggulkan atau
merendahkan jenis kelamin tertentu. Partisipasi politik itu harus selalu
mengikutsertakan semua warga bangsa baik laki-laki maupun perempuan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Penduduk wanita yang jumlahnya 49.9%
(102.847.415) dari total (206.264.595) penduduk Indonesia (Sensus Penduduk
2000) merupakan sumberdaya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif
wanita dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan
pembangunan. Kurang berperannya kaum perempuan, akan memperlambat proses
pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri.
Kenyataannya dalam beberapa aspek
pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena
kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti
peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya
pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang
rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan.
Berbagai upaya pembangunan nasional
yang selama ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik
perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara
bagi perempuan dan laki-laki. Bahkan belum cukup efektif memperkecil
kesenjangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh
manfaat secara optimal belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum
mencapai hasil yang optimal, karena masih belum memanfaatkan kapasitas sumber
daya manusia secara penuh.
Faktor penyebab kesenjangan
gender yaitu Tata nilai sosial budaya masyarakat, umumnya lebih mengutamakan
laki-laki daripada perempuan (ideology patriarki); Peraturan perundang-undangan
masih berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata lain belum
mencerminkan kesetaraan gender; Penafsiran ajaran agama yang kurang
komprehensif atau cenderung tekstual kurang kontekstual, cenderung dipahami
parsial kurang kholistik; Kemampuan, kemauan dan kesiapan perempuan sendiri
untuk merubah keadaan secara konsisten dan konsekwen; Rendahnya pemahaman para
pengambil keputusan di eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti, tujuan,
dan arah pembangunan yang responsif gender.
Adanya kesenjangan pada
kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan menyebabkan perempuan belum dapat
menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial,
ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan pembangunan.
Selain itu rendahnya kualitas
perempuan turut mempengaruhi kualitas generasi penerusnya, mengingat mereka
mempunyai peran reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya
manusia masa depan.
Kondisi perempuan Indonesia
Secara keseluruhan indeks
kualitas hidup manusia digambarkan melalui Indeks Pembangunan Manusia/Human
Development Index (HDI) yang berada pada peringkat ke-96 pada tahun 1995 yang kemudian
menurun ke peringkat 109 pada tahun 1998 dari 174 negara. Tahun 1999 berada pada peringkat 102 dari 162
negara dan tahun 2002, 110 dari 173 negara. Berdasarkan Human Development
Report 2003, HDI Indonesia menempati urutan ke-112 dari 175 negara, dibandingkan
Negara-negara ASEAN lainnya seperti HDI Malaysia, Thailand, Philippina yang
menempati urutan 59, 70 dan 77.
Sedangkan Gender related
Development Index (GDI) berada pada peringkat ke-88 pada tahun 1995, kemudian
menurun ke peringkat 90 (1998) dan peringkat 92 (1999 dari 146 negara).
Kemudian pada tahun 2002 pada peringkat 91 dari 144 negara GDI inipun masih
tertinggal dibandingkan dengan-negara di ASEAN seperti Malaysia, Thailand,
Philippina yang masing-masing berada pada peringkat 54, 60, 63.
Berdasarkan hasil Survey
Penduduk 2000 (BPS) diketahui jumlah penduduk Indonesia sebesar 206.264.595
orang. Jumlah laki-laki sedikit lebih banyak dibandingkan perempuan, (50,1%
diantaranya laki-laki dan 49,9% perempuan). Indeks pembangunan manusia skala
internasional dan nasional dilihat dri tiga aspek yaitu pendidikan, kesehatan
dan ekonomi. Kondisi dan posisi perempuan meliputi 3 (tiga) aspek tersebut di
atas sebagai berikut:
Pendidikan
Di bidang pendidikan, kaum
perempuan masih tertinggal dibandingkan laki-laki. Kondisi ini antara lain
disebabkan adanya pandangan dalam masyarakat yang mengutamakan dan mendahulukan
laki-laki untuk mendapatkan pendidikan daripada perempuan.
Ketertinggalan perempuan dalam
bidang pendidikan tercermin dari presentase perempuan buta huruf (14,54% tahun
2001) lebih besar dibandingkan laki-laki (6,87%), dengan kecenderungan
meningkat selama tahun 1999-2000. Tetapi pada tahun 2002 terjadi penurunan
angka buta huruf yang cukup signifikan. Namun angka buta huruf perempuan tetap
lebih besar dari laki-laki, khususnya perempuan kepala rumah tangga. Angka buta
huruf perempuan pada kelompok 10 tahun ke atas secara nasional (2002) sebesar
9,29% dengan komposisi laki-laki 5,85% dan perempuan 12,69% (Sumber: BPS,
Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2002). Menurut Satatistik Kesejahteraan Rakyat 2003.
Angka buta huruf perempuan 12,28% sedangkan laki-laki 5,84%.
Kesehatan
Menurut Gender Statistics and
indicators 2000 (BPS), kemajuan di bidang kesehatan ditunjukkan dengan
menurunnya angka kematian bayi (dari 49 bayi per 1000 kelahiran pada tahun 1998
menjadi 36 tahun 2000, (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2001).
Menurunnya angka kematian anak serta meningkatnya angka harapan hidup dari 64,8
tahun (1998) menjadi 67,9 tahun (2000), Berdasarkan estimasi parameter
demografi 1998 yang dikeluarkan BPS, angka harapan hidup (eo) pada periode
1998-2000 cenderung meningkat. Usia harapan hidup (life expectancy rate)
perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yaitu 69,7 tahun berbanding 65,9
tahun. (Sumber: BPS, Estimasi Parameter Demografi, 1998).
Dibidang kesehatan, selama
periode 1998-2000 ada penurunan angka kematian bayi, Infant Mortality Rate
(IMR). Namun angka kematian bayi laki-laki lebih tinggi dibandingkan angka
kematian bayi perempuan. Laki-laki 41, perempuan 31, (Sumber: BPS, Statistik
Kesejahteraan Rakyat 1999-2001). Sejalan dengan semakin meningkatnya kondisi
kesehatan masyarakat, angka kematian anak, Child Mortality Rate (CMR) periode
ini juga menunjukkan penurunan, namun demikian angka kematian anak laki-laki
lebih tinggi dibandingkan kematian anak perempuan laki-laki 9,8 sedangkan
perempuan 7,9. (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2001).
Dibidang kesehatan dan status
gizi perempuan masih merupakan masalah utama, yang ditunjukkan dengan masih
tingginya angka kematian ibu (AKI) 390/100.000 (SDKI 1994), 337/100.000 (SDKI
1997), dan menurun 307/100.000 (SDKI 2002).
Ekonomi
Di bidang ekonomi, secara umum
partisipasi perempuan masih rendah, kemampuan perempuan memperoleh peluang
kerja dan berusaha masih rendah, demikian juga dengan akses terhadap sumber
daya ekonomi. Hal ini ditunjukkan dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK) yang masih jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu 45% (2002)
sedangkan laki-laki 75,34%, (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat
1999-2002). Sedangkan ditahun 2003 TPAK laki-laki lebih besar dibanding TPAK
perempuan yakni 76,12% berbanding 44,81%. (BPS, Statistik Kesejahteraan Rakya,
2003).
Faktor Kesenjangan dibidang hukum dan
politik
Faktor penyebab kesenjangan
kondisi dan posisi perempuan dan laki-laki dipengaruhi oleh peraturan
perundang-undangan yang bias gender karena dalam bidang hukum masih banyak
dijumpai substansi, struktur, dan budaya hukum yang diskriminatif gender.
Jumlah peraturan perundang-undangan yang diskrimintaif terhadap perempuan
berjumlah kurang lebih 32 buah. Faktor penyebab kesenjangan gender pada aspek
lain misalnya politik sebagai berikut: hasil Pemilu tahun 1999 yang menyertakan
57% pemilih perempuan hanya terwakili 8,8% dari seluruh anggota DPR, lebih
rendah dari hasil pemilu 1997 yang berjumlah 11,2% dari jumlah pemilih 51%,
(Sumber: Statistik dan Indikator Gender Indonesia 2002). Pemilu 2004 perempuan
hanya terwakili 11%.
Jumlah perempuan yang menjabat
sebagai Hakim Agung dan Hakim Yustisial Non Struktural di Mahkamah Agung juga
menunjukkan penurunan dari 36 pada tahun 1998 menjadi 34 pada tahun 1999, dan
28 pada tahun 2002, (Sumber: Statistik dan Indikator Gender Indonesia
2002-Bab7). Pada tahun 1999 jumlah PNS perempuan adalah 36,9%, laki-laki
sebesar 63,1% dari jumlah seluruh PNS (4.005.861), dan dari jumlah tersebut
hanya 15,2% PNS perempuan yang menduduki jabatan struktural, sedangkan PNS
laki-laki sebesar 84,8%. Sedangkan tahun 2000 terjadi sedikit perubahan dimana
jumlah PNS perempuan adalah 37,6%, laki-laki sebesar 62,4% dari jumlah seluruh
PNS (3.927.146), dan dari jumlah tersebut hanya 15,7% yang menduduki jabatan
struktural, sedangkan PNS laki-laki sebesar 84,3%. (Statitik dan Indikator Gender,
BPS, 2000).
Masalah HAM bagi perempuan
termasuk isu gender yang menuntut perhatian khusus adalah masalah penindasan
dan eksploitasi, kekerasan, dan persamaan hak dalam keluarga, masyarakat, dan
negara. Masalah yang sering muncul adalah perdagangan perempuan, dan pelacuran
paksa, yang umumnya timbul dari berbagai faktor yang saling terkait, antara
lain dampak negatif dari proses urbanisasi, relatif tingginya angka kemiskinan
dan pengangguran, serta rendahnya tingkat pendidikan.
Pengertian Kesetaraan dan Keadilan gender
Kesetaraan gender berarti
kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta
hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan
keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan
tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak
adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Keadilan gender adalah suatu proses dan
perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan
peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan
maupun laki-laki. Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan
tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian
mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan
serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
Memiliki akses dan partisipasi
berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan
memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil
sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk
mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh
manfaat yang sama dari pembangunan.
Pengertian Gender dan seks
Gender adalah perbedaan dan
fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab
laki-laki dan perempuan Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang
berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu.
Seks/kodrat adalah jenis kelamin yang terdiri dari
perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu tidak
dapat ditukar atau diubah. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang
dan berlaku selamanya.
Gender
bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan
dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan
bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan
budaya ditempat mereka berada. Dengan demikian gender dapat dikatakan pembedaan
peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang
dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan
zaman.
Dengan
demikian perbedaan gender dan jenis kelamin (seks) adalah Gender: dapat
berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu, budaya setempat, bukan
merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia. Lain halnya dengan seks, seks
tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa, berlaku
dimana saja, di belahan dunia manapun, dan merupakan kodrat atau ciptaan Tuhan.
Permasalah Ketidakadilan Gender
Ketertinggalan perempuan
mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan ketidak setaraan antara laki-laki
dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari gambaran kondisi
perempuan di Indonesia. Sesungguhnya perbedaan gender dengan pemilahan sifat,
peran, dan posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan
ketidakadilan. Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan
berbagai ketidak adilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum
laki-laki.
Berbagai pembedaan peran,
fungsi, tugas dan tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan
baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dampak suatu peraturan
perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan
karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur masyarakat. Gender
masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat
belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi
dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian
mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi
diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi
terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki.
Faqih dalam Achmad M. menyatakan,
ketidak adilan gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan
laki-laki maupun perempuan sebagai korban dari sistem (Faqih, 1998a; 1997).
Selanjutnya Achmad M. menyatakan, ketidak adilan gender termanifestasikan dalam
berbagai bentuk ketidakadilan, terutama pada perempuan; misalnya marginalisasi,
subordinasi, stereotipe/pelabelan negatif sekaligus perlakuan diskriminatif
(Bhasin, 1996; Mosse, 1996), kekerasan terhadap perempuan (Prasetyo dan
Marzuki, 1997), beban kerja lebih banyak dan panjang (Ihromi, 1990).
Manisfestasi ketidakadilan gender tersebut masing-masing tidak bisa
dipisah-pisahkan, saling terkait dan berpengaruh secara dialektis (Achmad M.
hal. 33, 2001).
Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat
diskriminasi gender
Studi
gender berhasil mengidentifikasi beberapa bentuk ketidakadilan dan diskriminasi
gender, diantaranya adalah :
1. Marginalisasi perempuan sebagai salah satu
bentuk ketidakadilan gender
Proses marginalisasi
(peminggiran/pemiskinan) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam
masyarakat terjadi dalam masyarakat di Negara berkembang seperti penggusuran
dari kampong halaman, eksploitasi. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki
yang disebabkan jenis kelamin merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang
disebabkan gender. Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan
menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti internsifikasi pertanian
yang hanya memfokuskan petani laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari berbagai
jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang
biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki.
Selain itu perkembangan
teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh
perempuan diambil alih oleh mesin yang ummunya dikerjakan oleh tenaga
laki-laki. Beberapa studi dilakukan untuk membahas bagaimana program
pembangunan telah meminggirkan sekaligus memiskinkan perempuan (Shiva, 1997;
Mosse, 1996). Seperti Program revolusi hijau yang memiskinkan perempuan dari
pekerjaan di sawah yang menggunakan ani-ani. Di Jawa misalnya revolusi hijau
memperkenalkan jenis padi unggul yang panennya menggunakan sabit.
Contoh-contoh marginalisasi:
Pemupukan dan pengendalian
hama dengan teknologi baru yang dikerjakan laki-laki; Pemotongan padi dengan
peralatan sabit, mesin yang diasumsikan hanya membutuhkan tenaga dan keterampilan
laki-laki, menggantikan tangan perempuan dengan alat panen ani-ani; Usaha
konveksi lebih suka menyerap tenaga
perempuan; Peluang menjadi pembantu rumah tangga lebih banyak perempuan; Banyak
pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti “guru taman
kanak-kanak” atau “sekretaris” dan “perawat”.
2. Subordinasi
Subordinasi pada dasarnya
adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau
lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan
yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki.
Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran ajaran agama maupun dalam aturan birokrasi
yang meletakan kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki.
Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi
ruang gerak terutama perempuan dalam kehidupan. Sebagai contoh apabila seorang
isteri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar
negeri harus mendapat izin suami, tatapi kalau suami yang akan pergi tidak
perlu izin dari isteri.
3. Pandangan stereotipe
Setereotipe dimaksud adalah
citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan
empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan
ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan pengertian
gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin, (perempuan),
Hal ini mengakibatkan
terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum
perempuan. Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya
melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik atau
kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga
terjadi di tempat kerja dan masyaraklat, bahkan di tingkat pemerintah dan
negara.
Apabila seorang laki-laki
marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung dianggap
emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku
perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi
dan merugikan perempuan. Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga”
merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti berpolitik,
bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nakah utama,
(breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap
sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan.
4. Kekerasan
Berbagai bentuk tidak
kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan, muncul dalam bebagai
bentuk. Kata kekerasan merupakan terjemahkan dari violence, artinya suatu
serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh
karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti
perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik,
seperpti pelecehan seksual sehingga secara emosional terusik.
Pelaku kekerasan
bermacam-macam, ada yang bersifat individu, baik di dalam rumah tangga sendiri maupun
di tempat umum, ada juga di dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja
suami/ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua, anak laki-laki, tetangga,
majikan.
5. Beban Ganda
Bentuk lain dari diskriminasi
dan ketidak adilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah
satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada
umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan
oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir
90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja,
selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah
tangga.
Dalam proses pembangunan,
kenyataannya perempuan sebagai sumber daya insani masih mendapat pembedan
perlakuan, terutama bila bergerak dalam bidang publik. Dirasakan banyak
ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum laki-laki di satu
sisi.
Peran perempuan di domestik dan publik
Patut dicatat apa
yang dinyatakan oleh sekelompok penggiat HAM dan gender ketika melakukan
deklarasi tentang hak-hak keperempuan-an dimana dinyatakan bahwa :
“Women have a vital role to play in the promotion of peace in all
sphares of life, in the family, the community, the nation, and the world. Women
must participate equally with men in the decision making process which help to
promote peace at all the levels “(Deklarasi
Konferensi Mexico, 1975)
Dari sisi lain ada fakta yang
cukup menarik bahwa perempuan memiliki kelebihan /potensi perempuan dalam bidang-bidang
berikut ini :
• Rasa sosial, toleransi, ikatan kelompok
• Jiwa interpreneur (keseimbangan
pendapatan-pengeluaran)
• Perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan dasar
keluarga, terutama bagi anak-anaknya
• Perajut persatuan dan kesatuan hidup masyarakat,
bangsa, dan negara
• Pendidik pertama dan utama bagi generasi penerus
keluarga, bangsa, dan negara
Perjuangan Kesetaraan laki-laki dan
perempuan (internasional)
Deklarasi HAM, PBB (1948)
memberi aspirasi bagi gerakan feminis untuk memperjuangkan hak-hak perempuan
(all human beings are born free and equal in dignity and rights), 1952 hak
politik dan ekonomi perempuan diadopsi PBB.
Pada tahun 1963, gerakan
global emasipasi masuk dalam agenda PBB (ECOSOC) untuk diakomodasi Negara
anggota, Commission on the Status of Women (1967) memberi aspirasi pada
lahirnya PKK.. selanjutnya pada Konferensi di Mexico, 1975 menyetujui program
WID (Women in Development) sebagai strategi meningkatkan peran wanita. Demikian
juga pada Konferensi di Nairobi, 1985 setujui pembentukan UNIFEM lembaga PBB
untuk perempuan dengan program WAD (Women and Development) 1979 CEDAW-PBB,
melalui UU No. 7 tahun 1984, Indonesia meratifikasi CEDAW.
Pertemuan di Vienna, 1990
menyetujui program GAD (Gender and Development) dengan strategi Pengarustuaamaan
Gender, melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990, Indonesia meratifikasi
CRC (Convention Rights of Children).
Konferensi ICPD, Cairo 1994
mengagendakan perlindungan terhadap hak reproduksi perempuan dalam pembangunan
yang berkelanjutan.
Konferensi di Beijing, 1995
merinci 12 keprihatinan terhadap perempuan yang dikenal dengan 12 critical
issues.
Secara Nasional antara lain:
Adanya UUD 1945 yang sudah
empat kali diamandemen, UU No. 25 tahun 2000 tentang Propenas, UU No. 12 tahun 2000
tentang Pemilu
IInstruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
Prinsip dasar membangun kesetaran gender
di Indonesia
• Menghargai pluralistik
• Pendekatan sosio-kultural
• Peningaktan ekonomi dan kesejahteraan rakyat
• Penegakan HAM dan supremasi hukum
• Penghapusan kekerasan dan diskriminasi
• Penyadaran pilar pembangunan
• Pemerintah: sosialisasi dan advokasi
• Masyarkat: sensitisasi dan advokasi
• Dunia usaha, penyadaran dan advokasi
• Penyatuan persepsi, pemahman, dan penyadaran
kepada semua pihak untuk mewujudkan kesetaran gender dan perlindungan anak
dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Upaya-upaya dan usaha yang dilakukan
pemerintah dalam rangka KKG
Upaya
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai visi Kementerian Pemberdayaan
Perempuan RI sebenarnya merupakan bentuk pembaruan pembangunan pemberdayaan
perempuan yang selama tiga dasa warsa telah memberikan manfaat yang cukup
besar. Berbagai peningkatan pemberdayaan perempuan bisa dilihat dengan
meningkatnya kualitas hidup perempuan dari berbagai aspek , meskipun masih
belum optimal.
Untuk
meningkatkan status dan kualitas perempuan juga telah diupayakan namun hasilnya
masih belum memadai, ini terlihat dari kesempatan kerja perempuan belum
membaik, beban kerja masih berat, kedudukan masih rendah. Di lain pihak, pada
saat ini masih banyak kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang belum
peka gender, yang mana belum mempertimbangkan perbedaan pengalaman, aspirasi
dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki serta belum menetapkan kesetaran
dan keadilan gender sebagai sasaran akhir pembangunan.
Penyebabnya antara lain belum
adanya kesadaran gender terutama di kalangan para perencana dan pembuat keputusan;
ketidak lengkapan data dan informasi gender yang dipisahkan menurut jenis
kelamin (terpilah); juga masih belum mapannya hubungan kemitraan antara
pemerintah dengan masyarakat maupun lembaga-lembaga yang memiliki visi
pemberdayaan perempuan yaitu dalam tahap-tahap perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan
Bergesernya
proporsi pekerjaan utama perempuan dari pertanian ke ranah industri,
meningkatnya mobilitas perempuan baik migrasi domestik maupun internasional
serta semakin membaiknya peran perempuan di lingkup keluarga, masyarakat dan
berbangsa serta bernegara merupakan indikator keberhasilan pemberdayaan
perempuan khususnya upaya kesetaraan dan keadilan gender mulai dapat dirasakan.
Meskipun kemajuan perempuan ini hanya bisa dinikmati pada tataran masyarakat
yang sosial ekonominya mapan (menengah ke atas). Sebaliknya pada tingkat sosial
ekonomi menengah ke bawah, masih sering dijumpai ketimpangan antara laki-laki
dan perempuan baik dalam memperoleh peluang, kesempatan dan akses serta kontrol
dalam pembangunan, serta perolehan manfaat atas hasil pembangunan. Hal ini tidak lain karena masalah
struktural utamanya. Selain nilai-nilai budaya patriarkhi yang dilegitimasi
dengan (atas nama) agama dan sistem sosial yang menempatkan perempuan dan
laki-laki dalam kedudukan dan peran yang berbeda dan dibeda-bedakan. (Zaitunah
Subhan, hal. 17-18, 2001)
Dalam
GBHN 1999-2004 menetapkan dua arah kebijakan pemberdayaan perempuan yakni
pertama meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu
memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Kedua meningkatkan
kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan
nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan perempuan dalam
rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga
dan masyarakat.
Dengan demikian pemberdayaan
perempuan dalam rangka mewujudkan KKG merupakan komitmen bangsa Indonesia yang
pelaksanaannya menjadi tanggung jawab seluruh pihak eksekutif, legislatif,
yudikatif, tokoh-tokoh agama dan masyarakat secara keseluruhan. Sesuai dengan
dua arahan kebijakan itu, pemerintah bertanggung jawab untuk merumuskan
kebijakan-kebijakan pemberdayaan perempuan di tingkat nasional maupun daerah,
yang pelaksanaannya dapat memberikan hasil terwujudnya kesetaraan dan keadilan
gender di segala bidang kehidupan dan pembangunan.
Berdasarkan arah kebijakan
yang dimandatkan oleh GBHN 1999-2004 untuk butir pemberdayaan perempuan,
Propenas 2000-2004 telah melakukan mainstreaming kebijakan dan program
pembangunan pemberdayaan perempuan. Selanjutnya Propenas telah dirumusakan
secara lebih rinci setiap tahunnya ke dalam Rencana Pembangunan tahunan
(Repeta), untuk tahun 2001 (Repeta 2001).
Selanjutnya
dalam Rencana Strategi Kementerian Pemberdayaan Perempuan 2001-2004, program
yang disusun terdiri dari program dalam rangka pembangunan pemberdayaan
perempuan, peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak dan upaya
peningkatan kemampuan. Mencakup Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan
Pemberdayaan Perempuan; Program Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan; Program
Peningkatan Peran Masyarakat Pemampuan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender;
Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak; Program Sumber Daya,
Sarana dan Prasarana. Mengingat produk tersebut merupakan undang-undang, maka
untuk mewujudkan kesetaran dan keadilan gender harus menjadi komitmen bersama.
Dalam rangka mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender melaui program yang peka akan permasalahan
gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah bekerjasama dengan UNFPA dalam
melaksanakan serangkaian kegiatan Mainstreaming Gender Issues in Reproductive
Health and Population Policies and Programmes.
Tujuan utama program ini
adalah tercapainya perbaikan status kesehatan reproduksi kaum perempuan dan
laki-laki melalui kebijakan program kesehatan reproduksi dan kependudukan yang
sensitif gender. Hal ini akan dicapai melalui penguatan kapasitas nasional
untuk melakukan pengarusutamaan gender, serta melalui aplikasi konsep gender
dalam formulasi dan pelaksanaan kebijakan dan program untuk kesehatan
reproduksi dan kependudukan.
Upaya mengaktualisasikan dan
memanifestasikan dan mengakselerasi-kan PUG di sektor strategis, propinsi dan
kabupaten/kota, Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga telah melaksanakan
program dan langkah konkrit antara lain:
• Program Pengembangan dan keserasian kebijakan
pemberdayaan perempuan, serta serangkaian koordinasi telah dilakukan dalam
upaya perbaikan undang-undang yang masih bias gender seperti UU No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan dan UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan.
• Program Peningkatan Peranserta masyarakat dan
penguatan kelembagaan PUG dilakukan dengan melalui: sosialisasi, advokasi, dan
pelatihan analisis gender baik di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota;
• Pengembangan modul sosialisasi/advokasi gender;
• Pengembangan alat untuk analisis gender yang
digunakan dalam perencanaan program dan dikenal dengan Gender Analysis Pathway
(GAP); dan Problem Base Analysis (PROBA).
• Pengembanagan Homepage untuk penyediaan data dan
informasi program pembangunan pemberdayaan perempuan, konsep kesetaraan dan
keadilan gender dan jaringan informasi dengan website;
• Penyusunan Profil gender untuk 26 propinsi;
• Fasilitasi bantuan teknis kepada daerah
propinsi, kabupaten dan kota;
• Tersedianya data dan informasi yang terpilah
menurut jenis kelamin secara berkala dan berkesinambungan dari propinsi dan
kabupaten/kota mengenai pengarusutamaan gender dalam pembangunan daerah.
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas
menunjukkan bahwa diskriminasi gender telah melahirkan ketimpangan dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, selain itu
ketimpangan lebih banyak dialami perempuan dari pada laki-laki.
Akibat diskriminasi gender
yang telah berlaku sejak lama, kondisi perempuan di bidang ekonomi, sosial, dan
budaya, politik, hankam dan HAM berada pada posisi yang tidak menguntungkan.
Kondisi yang tidak menguntungkan ini apabila tidak diatasi, maka ketimpangan
atau kesenjangan pada kondisi dan posisi perempuan tetap saja akan terjadi.
Bahwa status perempuan dalam
kehidupan sosial dalam banyak hal masih mengalami diskriminasi haruslah diakui.
Kondisi ini terkait erat dengan masih kuatnya nilai-nilai tradisional terutama
di pedesaan, dimana perempuan kurang memperoleh akses terhadap pendidikan,
pekerjaan, pengambilan keputusan dan aspek lainnya. Keadaan ini menciptakan permasalahan
tersendiri dalam upaya pemberdayaan perempuan, dimana diharapkan perempuan
memiliki peranan yang lebih kuat dalam proses pembangunan. Kurangnya
keikutsertaan perempuan dalam memberikan konstribusi terhadap program
pembangunan menyebabkan kesenjangan yang ada terus saja terjadi.
Daftar Pustaka:
Achmad
Muthali’in, Bias Gender dalam Pendidikan, Surakarta, Muhammadiyah University
Press, 2001.
BPS, United Nations Developmen Fund
for Women. Gender Statistics and Indicators 2000.
BPS, Kementerian Pemberdayaan
Perempuan, JICA dan UNFPA, Buku Referensi Pelatihan: Fakta dan Indikator
Gender, Tingkat Nasional, 4 Propinsi dan 16 Kabupaten/Kota Terpilih, 2003.
BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat,
2003.
Dr. H. Nasaruddin Umar, MA, et all,
Dr. H. Abdul Djamil, MA. (Pengantar), Dra. Hj. Sri Suhandjati Sukri (Editor),
Bias Jender dalam Pemahaman Islam, Jilid I Penerbit IAIN Walisongo dengan Gama
Media, 2002.
Julia Cleves Mosse, Gender dan
Pembangunan, Diterbitkan atas kerjasama RIFKA ANNISA Women’s Crisis Centre
dengan Pustaka Pelajar, 1996.
Kantor Menteri Negara Peranan
Wanita, 1998, Profil Wanita Indonesia.
Kantor Menteri Negara Peranan
Wanita, Pedoman Teknis Perencanaan Pembangunan Berperspektif Gender.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan, Deputi Bidang Kesetaraan Gender bekerjasama dengan Bangun Mitra
Sejati, 2001, Modul Pelatihan, Keadilan dan Kesetaraan Gender untuk BUMN/BUMD
dan Perusahaan Swasata.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan RI, 2002, Panduan Gender dalam Perencanaan Partisipatif.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan RI, 2002, Buku 1, Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender, Edisi ke-2,
Apa Itu Gender.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan RI, 2002, Buku 2, Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender, Edisi ke-2,
Bagaimana Mengatasi Kesenjangan Gender.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan RI, 2002, Buku 3, Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender, Ediisi
ke-2, Perencanaan erperspektif Gender.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan RI, 2002, Buku 4, Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender, Edidisi
ke-2, Pemantauan dan Penilaian.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan,
Bahan Informasi Gender, Modul 1: Apa itu Gender?
UNIFEM and NCRFW, 1994, Gender and
Development Making the Bureaucracy gender-responsive, a sourcebook for
advocates, planners, and implementors, (developed by dr. amaryllis t. tores and
professor rosario s. del rosario with the assistance of professor rosalinda
pineda-ofreneo for Unifem and NCRFW).
UNFPA, Kementerian Pemberdayaan
Perempuan, BKKBN, 2003, Bunga Rampai “Bahan Pembelajaran Pelatihan
Pengarusutamaan Gender dan Program Pembangunan Nasional”.
Zaitunah Subhan, Peningkatan Kesetaraan dan
Keadilan Jender, dalam membangun Good Governance.
0 komentar